CITIZEN REPORT
Menengok Belanda yang Bolehkan Narkotika dan Lokalisasi Prostitusi Jadi Obyek Wisata
Di rumah-rumah bordil di sana, pengunjung bisa leluasa melihat etalase dengan perempuan nyaris telanjang menjadi pajangan.
Penulis: CitizenReporter | Editor: Jumadi Mappanganro
Menengok Belanda yang Bolehkan Narkotika dan Lokalisasi Prostitusi Jadi Obyek Wisata
Rara Balasong
Warga Asal Sulawesi Selatan
Melaporkan dari Amsterdam
NEGARA tanpa narkotika dan prostitusi adalah suatu yang tidak mungkin. Menolerir penggunaan narkotika dan prostitusi oleh negara Belanda dianggap lebih realistis untuk menekan tingkat kriminalitas dan mewujudkan masyarakat yang lebih aman.
Kenyataannya kerugian akibat penggunaan narkotika memang menurun.
Penggunaan narkotika menurut golongannya terbagi dua: obat (narkotika) ringan seperti hasis, ganja dan pil penenang dalam dosis tertentu ditolerir oleh Pemerintah Belanda.
Sedang penggunaan obat-obat keras seperti heroin, kokain, amfetamin, diatur menurut undang-undang setempat.
Kita kembali pada toleransi terhadap obat-obatan ringan yang dijual bebas di Belanda.
Pemakaiannya untuk rekreasi dan kesenangan dibatasi hingga 5 gram. Dijual di kedai kopi khusus bernama Coffeeshop yang biasanya ditandai dengan bendera warna-warni.
Ganja dan hasis biasanya dijual seharga antara 5-12 € tergantung kadar campurannya.
Walau dilegalisasi pemakaiannya, budidaya ganja dan tumbuhan dasar narkotika ringan tidak diperbolehkan. Hal yang cukup kontroversi.
Mahasiswa Unhas Sukses Diversivikasi Biji Kakao, Jadi Kosmetik Lip Balm
None Jenguk Ilham Arief Sirajuddin di Lapas, Apa yang Dibahas?
Bagaimana dengan prostitusi?
Menyusuri kanal di sepanjang Red Light District (RLD) cukup menjengahkan bagiku.
Di samping bau pesing dan lembab yang cukup kental, pemandangan dari etalase dan transaksi yang terjadi secara terbuka adalah cukup menggelikan sekaligus merisihkan
Sejak tahun 1988, Belanda melegalkan prostitusi sebagai sebuah profesi.
Industri seks ini resmi dan dilindungi oleh pemerintah setempat.

Penyedia jasa seks wajib bayar pajak dan jika terjadi sesuatu terkait 'kesehatan'nya selama bekerja, dokter akan didatangkan, selain dia sendiri wajib mengecek kebersihan 'diri'nya.
Prostitusi di Belanda memiiki asosiasi yang dilindungi oleh undang-undang sehingga upaya untuk memajukan prostitusi tidak bisa dicegah.
Salah satu contohnya adalah menjadikan kawasan Red Light Distrik sebagai objek pariwisata.
Di Amsterdam sendiri, seperti saya sebut di atas, kawasan Red Light District (RLD) terletak di pusat kota.
Ketika hari mulai gelap, lampu-lampu merah menyala dari rumah-rumah bordil dan lampu-lampu jalan di kawasan ini.
Kepala Bappeda Izin Pindah ke Jakarta, Nurdin Abdullah: Semakin Banyak Semakin Baik
Jubir Wapres Dukung Paket Ilham Najamuddin-Zaenal Dalle di Pilkada Maros
Bagian kota itu merah dan di situlah kita melihat etalase dengan perempuan nyaris telanjang menjadi pajangan.
Mereka berdandan cantik dengan baju se-erotis mungkin untuk merangsang pengunjung memakai jasa mereka.
Mereka memajang diri untuk dipilih dan digunakan jasanya dalam bidang seks tentunya.
Lantas mengapa dinamakan RLD?
Menurut cerita pengemudi kapal rekreasi kanal yang saya gunakan, akibat seks, banyak orang yang terkena penyakit sipilis atau raja singa.
Kulit bangsa Belanda yang putih akan memerah akibat penyakit tersebut.
Mereka menemukan solusi bahwa di bawah temaram cahaya lampu merah, penyakit mereka tak terlihat.
Jadi penggunaan cahaya lampu berwarna merah dulunya adalah trik pengelabuan agar seorang penderita penyakit sipilis tidak terdeteksi oleh lawan pelaku seksnya.
Namun cerita ini hanya 'konon'...
Masih banyak cerita tentang Belanda seperti, mengapa kota tua dengan apartemen seharga jutaan euro itu tidak dihuni oleh pembelinya.
Cerita tentang mengapa pintu terlalu rendah atau jendela yang terlalu kecil yang saya dapatkan dari kapal kecil yang membawa saya mengitari Amsterdam melalui kanal.
Namun waktu saya terbatas kali ini.
Memperlajari sejarah sebuah bangsa, tidaklah sia-sia.
Aapalagi bangsa tersebut telah 'menikmati' pula sekitar 350 tahun kekayaan bangsa kita. (*)