Guru Besar Unhas ini akan Jadi Penentu Sengketa Pilpres 2019 di Mahkamah Konstitusi, Ini Profilnya
Profil Guru Besar Unhas, Prof Dr Aswanto SH MSi DFM menjadi salah satu hakim konstitusi yang akan menentukan hasil sengkete Pilpres 2019
TRIBUN-TIMUR.COM- Sidang perdana Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) di Mahkamah Konstitusi (MK) digelar Jumat (14/6/2019) kemarin.
Pada 17 hingga 21 Juni 2019 MK akan melanjutkan sidang dengan agenda pemeriksaan pembuktian.
Pada 24 sampai 27 Juni 2019 diagendakan sidang terakhir dan rapat musyawarah hakim.
Ada sembilan hakim MK yang akan menjadi penentu apakah gugatan kubu Prabowo Subianto-Sandiaga Uno diterima dan dikabulkan.
Baca: 15 Poin Tuntutan Kubu Prabowo-Sandi di MK, Mahfud MD Beri Kabar Buruk, Bukti dari KPU Tak Diperiksa
Baca: Beda Pendapat Mahfud MD dengan Refly Harun soal Gugatan BPN Prabowo-Sandi di Mahkamah Konstitusi
Baca: Tak Hadir di Mahkamah Konstitusi, Di Mana Prabowo saat Sidang Sengketa Pilpres 2019 Berlangsung?
Dari sembilan hakim MK, salah satunya merupakan guru besar Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin (Unhas), Makassar.
Dia adalah Prof Dr Aswanto SH MSi DFM. Mantan Dekan Fakultas Hukum Unhas tersebut menjabat sebagai Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi sejak 2 April 2018.

Dikutip dari website mkri.id, Aswanto telah menjadi hakim di Mahkamah Konstitusi sejak tahun 2014 setelah diusulkan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Sebelum menjadi hakim di Mahkamah Konstitusi, Aswanto memegang jabatan sebagai Dekan Fakultas Hukum Unhas.
Guru besar Ilmu Pidana Universitas Hasanuddin ini terbilang sering bersentuhan dengan MK.
Ia kerap diminta menjadi pembicara dalam kegiatan MK, salah satunya menjadi narasumber dalam pendidikan dan pelatihan perselisihan hasil pemilihan umum untuk partai politik peserta pemilu yang diselenggarakan di Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi, Cisarua, Bogor.
Ia juga dipercaya MK menjadi satu dari tiga anggota panitia seleksi Dewan Etik MK bersama Laica Marzuki dan Slamet Effendi Yusuf, Aswanto ikut memilih tiga nama anggota Dewan Etik MK yang kini telah resmi bertugas.
Selain itu, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin sebagai perguruan tinggi yang dipimpinnya juga bekerjasama dengan MK untuk sejumlah kegiatan, salah satunya persidangan jarak jauh dengan menggunakan video conference.
Selain itu, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin sebagai perguruan tinggi yang dipimpinnya juga bekerjasama dengan MK untuk sejumlah kegiatan, salah satunya persidangan jarak jauh dengan menggunakan video conference.
Kendati begitu, Aswanto mengaku tidak pernah terpikir untuk menjadi hakim konstitusi.

Pengabdiannya menjadi dosen untuk S1 sampai S3 di Universitas Hasanuddin dan sejumlah kegiatan lain di luar kampus telah menghujani pria asal Palopo Sulawesi Selatan ini dengan berbagai kesibukan.
Hingga prahara Oktober terjadi, ketika Mantan Ketua MK Akil Mochtar diciduk oleh Komisi Pemberantasan Korupsi untuk kasus suap sejumlah sengketa Pemilukada, Aswanto dan rekan-rekannya berpikir hakim pengganti Akil harus yang memiliki integritas. Hal tersebut, dinilai rekan dan koleganya dimiliki oleh Aswanto.
“Teman-teman mengatakan kalau selama ini kita berteriak-teriak di luar untuk menegakkan keadilan, mungkin sudah waktunya untuk ikut masuk ke dalam sistem. Itu yang membuat saya berpikir ya sudah, saya coba masuk,” kenangnya.
Perjalanan dengan Rintangan
Jalan yang harus dilalui Aswanto untuk menjadi hakim konstitusi terbilang tidak mulus. Ia mesti menghadapi berbagai rintangan.
Sosoknya yang tegas ketika memimpin fakultas, membuatnya tidak disukai sejumlah pihak, termasuk koleganya sendiri.
Saat mencalonkan diri, muncul sebuah tulisan opini yang menyatakan penolakan terhadap Aswanto. Bukan hanya dirinya, penulis juga membawa keluarga Aswanto.
Saat seleksi di DPR, Dewan Pakar yang menyeleksinya pun turut mempertanyakan kebenaran tulisan tersebut pada Aswanto.
Namun, karena tulisan yang dimuat di media online tersebut fitnah, ia menanggapi santai hal tersebut.
Ayah dua anak ini bahkan meminta pada Komisi III DPR agar dipersilakan untuk mengucapkan sumpah bahwa tulisan itu tidak benar.
“Waktu itu saya minta ke teman-teman Komisi III untuk klarifikasi di bawah sumpah agar tahu kebenarannya karena memang ada beberapa yang hampir benar. Misal, saya orang pidana yang mengajukan diri menjadi hakim konstitusi, itu benar. Tapi disertasi saya tentang hak asasi manusia dan saya berpengalaman menjadi Ketua Panwaslu Sulawesi Selatan,” ungkapnya.
Latar belakang pendidikan Aswanto yang merupakan ahli hukum pidana pun sempat dipertanyakan. Pasalnya, hakim konstitusi erat kaitannya dengan hukum tata negara dan hukum administrasi negara. Lagi-lagi Aswanto dapat mengatasi hal tersebut.
Diakuinya, latar belakang pendidikannya memang ‘gado-gado’. Selepas meraih gelar sarjana hukum pidana di Universitas Hasanuddin, ia melanjutkan pogram pascasarjana Ilmu Ketahanan Nasional, Universitas Gadjah Mada. Gelar doktor diraihnya di Fakultas Ilmu Hukum, Universitas Airlangga. Namun, disertasi yang ditulisnya terkait dengan hak asasi manusia.
“Kalau bicara HAM, cantolannya kan di konstitusi. Selain itu, saya juga punya pengalaman empiris sebagai ketua panwas, tentu itu ada kaitannya soal pemilu.Orang memang mengatakan MK lebih kepada persoalan ketatanegaraan, tapi kan tidak melulu selalu berkaitan dengan hukum administrasi negara dan hukum tata negara. Persoalan ketatanegaraan ini mencakup seluruh aspek dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,” jelas dosen yang berkomitmen terus mengajar ini.
Biodata:
Nama: Prof. Dr. Aswanto, S.H., M.Si.,DFM.
Tempat, tanggal lahir : Palopo, 17 Juli 1964
Jabatan: Hakim Konstitusi
Keluarga:
Istri:
Novita Trisyana
Anak:
Rathni Rizky Putri Novian (Alm)
Muhammad Noval
Pendidikan:
Sekolah Dasar Negeri Komba Kecamatan Larompong (1975)
Sekolah Menengah Pertama Negeri Larompong tahun (1979)
Sekolah Menengah Atas Negeri II Makassar (1982)
S-1 Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar (1986)
S-2 Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (1992)
S-3 Universitas Airlangga, Surabaya tahun (1999)
Diploma in Forensic Medicine and Human Rights, Institute of Groningen State University, Netherland (2002).
Karier:
Staf pengajar pada Fakultas Hukum Unhas
Anggota Tim Pengembangan Unhas (2000-2001 dan 2003-2004)
Tim Sosialisasi Hak Asasi Manusia pada Kanwil Kehakiman dan HAM Sulawesi Selatan (2002)
Pengajar Program S2 Ilmu Hukum, UMI, UKIP, S2 Hukum Kepolisian
Tim Sosialisasi HAM bagi Anggota Polri Se-Indonesia (2001-2002)
Ketua Panitia Pengawas Pemilu Provinsi Sulawesi Selatan (Pemilu 2004)
Koordinator Litbang Perludem Pusat (2005)
Anggota Forum Peningkatan Pembinaan Demokratisasi Penegakan Hukum dan HAM (2006)
Tenaga Ahli Pimpinan DPRD Provinsi Sulawesi Barat (2007)
Tim Ahli Penyusun Naskah Akademik dalam Rangka Pembentukan Ombudsman Daerah untuk Sektor Swasta di Makassar (2007)
Dewan Kehormatan Komisi Pemilihan Umum Provinsi Sulawesi Selatan (2007)
Ketua Ombudsman Makassar (2008-2010)
Ketua Dewan Kehormatan KPU Provinsi Sulawesi Barat (2008-2009)
Dekan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (2010-2014)
Ketua Tim Seleksi Rekruitmen Panwas Pilgub Sulawesi Selatan (2012)
Tenaga Ahli Rekruitmen Komisioner Ombudsman Makassar (2013)
Tim Seleksi Dewan Etik Mahkamah Konstitusi (2013)
Hakim Konstitusi 2014-2019.
(Tribun Timur)
Langganan Berita Pilihan
tribun-timur.comdi Whatsapp
Via Tautan Ini http://bit.ly/watribuntimur
Dapatkan news video terbaru di kanal YouTube Tribun Timur:
Follow juga akun Instagram tribun-timur.com: