OPINI
OPINI - Pemilu yang Pilu, Tinjauan Filosofi
Penulis adalah Mahasiswi Pascasarjana UINAM & Koordinator Rumah Kajian Filsafat Makassar
Oleh :
Siti Indah Khanazahrah
Mahasiswi Pascasarjana UINAM & Koordinator Rumah Kajian Filsafat Makassar
Idealnya, sistem demokrasi yang dianut suatu negara melingkupi kemerdekaan pengetahuan dan kesetaraan antar manusia selaku subyek hukum yang berharkat dan bermartabat sama.
Sistem demokrasi diharapkan memberi ruang seluas-luasnya untuk semua menerima hak dan kewajiban setara dalam bermasyarakat, beragama, berbangsa dan bernegara.
Pun demokrasi merupakan sistem yang berkeadilan, menolak keberpihakan dan jauh dari dikotomisasi serta manipulasi antar masyarakat dalam seluruh bidang kehidupan.
Demokrasi dalam maknanya yang umum yaitu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat ketika diperankan seperti misal Indonesia yang berpenduduk besar, tentu saja membutuhkan parlemen yang menjadi perwakilan rakyat mengawal seluruh kinerja pemerintahan untuk memastikan kinerja yang ada benar-benar bersifat demokratis.
Dalam hal ini merupakan kemutlakan nilai-nilai moral tertentu dalam aktualisasi sistem, seperti amanah, transparansi dan kejujuran, keadilan, keterwakilan, serta mengedepankan kepentingan kolektif di atas kepentingan individu maupun golongan dalam masyarakat.
Baca: SMK 3 Gowa Hadirkan Alat Deteksi Tsunami di Makassar, Segini Dana Habis
Namun demikian gugatan filosofi kemudian muncul, apakah Indonesia mampu menegakkan demokrasi yang berbasis sistem nilai itu.
Apa saja prasyarat yang diperlukan untuk tegaknya sistem nilai demikian. Sebenarnya dalam sejarah keberadaan demokrasi tidaklah terbebas dari perdebatan.
Di masa Yunani kuno yang menggunakan demokrasi sebagai sistem pemerintahannya, bahkan para filsuf berbeda-beda menakar hakikat demokrasi sampai batas-batas penerapannya.
Plato dan Aristoteles sebagai filsuf ternama Yunani pada masanya termasuk yang menolak sistem
demokrasi itu.
Plato dengan idealitas dunia idenya menolak demokrasi dengan alasan kemutlakan seorang pemimpin hidup demi dan untuk kebaikan.
Sedangkan bagi Plato hal tersebut hanya bisa dilakukan oleh seorang filsuf maka pimpinan haruslah seorang filsuf.
Kritik lain menyebutkan demokrasi berpotensi pembiaran kekacauan atas nama kebebasan berpendapat terutama ketika diterapkan oleh negara-negara terbelakang secara kualifikasi pengetahuan.
Baca: Alumni STKS Bandung Angkatan 2011 Buka Puasa Bersama di Hotel SwissBell
Indonesia tentu saja masuk dalam kategori terbelakang ini. Namun dalam perkembangannya hingga kini demokrasi telah menjadi sistem yang paling dominan dianut.
Terlepas dari seluruh perdebatan yang ada, sistem ini mampu menjadi semacam paradigma
politik mainstream.
Sebagai negara yang terlanjur menganut sistem demokrasi, Indonesia sepatutnya konsisten pada aturan yang telah ditentukan.
Keberadaan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 beserta seluruh aturan hukum dibawahnya, seharusnya menjadi pijakan fundamental dan bukan selamanya teori belaka.
Termasuk diantaranya penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) seharusnya tegak di atas nilai-nilai universal demokrasi.
Indonesia dengan kapasitasnya sebagai negara berkembang tidaklah dipungkiri dari tahun pertama 1995 silam hingga tahun-tahun berikutnya menorehkan banyak kekurangan dalam prosesi pemilu.
Olehnya membutuhkan kesadaran kolektif terus melakukan berbagai perbaikan meski harus menemui perdebatan-perdebatan pelik sesama warga negara.
Baca: Buka Puasa Bersama, Indonesia Marketing Assosiation Santuni Anak Yatim
Pemilu serentak tahun 2019 baru saja berlalu diselenggarakan dan tidak sedikit meninggalkan catatan hitam yang menambah deretan panjang ‘PR’ kita.
Jika pemilu-pemilu sebelumnya diselenggarakan tidak secara serentak (pemilu presiden dan legislatif), ini untuk kali pertama pemilu diselenggarakan serentak.
Pemilu kali ini lebih banyak menyita fokus publik terutama terhadap pilpres yang notabene ditunggangi polarisasi dua kubu yang saling berlawanan.
Berbagai asumsi muncul yang dikategori sebagai identitas dua kubu seperti misal kubu nasionalis dan religius, PKI dan radikalisme, Islam nasional dan trans-nasional semakin mencuri atensi publik.
Catatan hitam lainnya yang membuktikan ketidakdewasaan sistem di Indonesia sebagaimana dilansir banyak media adalah korban jiwa petugas KPPS hingga 554 orang disamping petugas yang sakit mencapai 3.700 an orang.
Puncaknya ketika hasil rekapitulasi suara kandidat pilpres terpilih digugat oleh kubu yang kalah dengan terjun aksi atas nama people power yang memicu kericuhan bahkan korban jiwa sekali lagi.
Politik uang di jajaran pileg dan pilpres tak perlu dinyaringkan, seisi tanah air sudah khatam.
Baca: IAC Pangkep Bagi-bagi 100 Paket Pabbuka di Jl Poros Sultan Hasanuddin
Yang tidak kalah memilukan adalah ketika publik diperhadapkan dengan beberapa tokoh bangsa yang seharusnya tampil menengahi, menyejukkan situasi yang kacau justru terkesan apatis bahkan sebagian ibarat memancing di air keruh.
Sebenarnya demokrasi tidaklah seburuk yang disangkakan mereka yang menolaknya. Sebagaimana sistem politik lainnya yang memuat sisi baik dan buruk, demokrasi pun demikian.
Suatu sistem tidaklah tegak dengan sendirinya, melainkan sejumlah variable harus menjadi penopangnya untuk dapat berfungsi maksimal.
Saya meyakini sistem demokrasi akan lebih baik jika diterapkan oleh negeri yang rakyatnya merata berpengetahuan, sehingga tidak bias ketika diperhadapkan dengan hukum sekaligus HAM secara bersamaan yang memang dikandung demokrasi.
Indonesia dengan sistem demokrasi yang masih labil membutuhkan lebih banyak pendewasaan kedepan salah satunya regulasi sistem.
Banyak hal mendasar dalam sistem demokrasi Indonesia yang belum disentuh atau bahkan belum terpikir sama sekali akibat politik kekuasaan yang menjerat.
Sebut saja misalnya tingkat kecerdasan dan kesejahteraan masyarakat dan subyek hukum dan peradilan yang baik.
Baca: FKIP Unibos Luncurkan Online Journal
Masyarakat yang tuntas dalam kecerdasan, kesejahteraan dan subyek hukum dan peradilan tentu saja akan mempengaruhi prosesi pemilu dan demokrasi secara keseluruhan menjadi lebih baik.
Inilah yang seharusnya dimiliki setiap negara untuk menuju negara yang benar-benar demokratis.
Tanpa pertimbangan-pertimbangan ini, demokrasi yang diterapkan akan berakibat fatal pada negara atau bahkan berujung menjadi santapan kapitalisme.
Catatan: tulisan ini telah terbit di Tribun Timur edisi cetak, Senin (27/05/2019)