Ulasan Dosen Hukum Unhas, Terkait Pria Asal Gowa Ditangkap Polda Sulsel Gegara Isu Rusuh 22 Mei
Sama dengan lembaga-lembaga survey itu, mereka menganalisa kemenangan dan kekalahan pasangan calon tertentu.
Penulis: Amiruddin | Editor: Hasrul
TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Warga Tompo Balang, Kecamatan Somba Opu, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan (Sulsel), Samiun Ahmad (50), ditangkap Tim Subdit 5 Cyber Crime Ditreskrimsus Polda Sulsel, pada Minggu (28/4/2019) kemarin.
Ia diduga terlibat dalam penyebaran video yang memuat ujaran kebencian dan permusuhan terhadap suku, agama, ras dan antar golongan (SARA).
Video tersebut diunggah dalam akun instagram @reaksirakyat1, pada Jumat (26/4/2019), sekitar pukul 20.00 Wita.
Dalam video tersebut, terlihat seorang pria yang tengah mengendarai mobil, mengatakan skenario terburuk pada 22 Mei mendatang, bakal terjadi huru hara atau kerusuhan.
Pasalnya, kata pria dalam video tersebut, KPU RI bakal mengumumkan hasil Pilpres, yang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan pasangan nomor urut 02, yakni Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno.
Bukan hanya itu, pria yang mengaku youtuber paling tenang dan gembira dalam video tersebut, juga berupaya memprovokasi dan membenturkan TNI-Polri.
Setelah melakukan penyelidikan, personel Subdit 5 Cyber Crime Ditreskrimsus Polda Sulsel mengamankan Samiun di Gowa.
Saat ini ia telah diamankan di Mapolda Sulsel, dan terancam pidana 6 tahun penjara, serta denda maksimal Rp 1 M.
Terkait penangkapan dan penahanan Samiun Ahmad, Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (Unhas), Fajlurrahman Jurdi memberi komentar kepada tribun-timur.com, Senin (29/4/2019) malam.
Berikut ulasan Fajlurrahman Jurdi terkait penangkapan Samiun Ahmad :
Setelah mendengar isi videonya, menurut saya ini hanya peringatan saja, tidak ada provokasi.
Kalau ini dianggap provokasi, menurut saya, terlalu berlebihan. Karena dia hanya mengingatkan kepada publik saja sebenarnya, dan dia menggunakan kata-kata "kemungkinan".
Ini semacam analisis politik, dengan memprediksi apa yang mungkin terjadi. Sama dengan para analis politik yang tampil di TV itu, mereka kadang memprediksi dan mengingatkan sesuatu hal yang akan terjadi.
Jika ada ahli yang bilang itu provokasi, ahlinya pasti salah baca buku, kecuali mungkin dia memuja buku-buku fasis.
Apabila menganggap argumen kayak begini provokasi dan memberikan legitimasi dengan keahliannya, saya bisa bilang dia kemungkinan berpikiran fasis, karena tega melegitimasi tindakan aparat untuk mengurung pikiran dan analisa begini.
Saya di kampus dan di berbagai forum, terbiasa memprediksi segala kemungkinan melalui berbagai analisa, dan analisa seperti ini, biasa. Ini bahan diskursus.
Di video itu, dia katakan “ini hanya analisa”. Orang yang menganalisa, berarti tahu apa yang ia analisa.
Seharusnya bukan ditangkap, tetapi diajak berdiskusi. Jika anda kuat berdebat, buka forum, undang orangnya, lalu undang publik, biarkan publik menguji argumennya dan dia mempertahankan argumennya.
Sama dengan lembaga-lembaga survey itu, mereka menganalisa kemenangan dan kekalahan pasangan calon tertentu.
Kalau cara pandang aparat seperti ini, maka mereka itu provokator juga, karena menimbulkan desas-desus dan huru-hara, bahkan membelah masyarakat dalam dua kutub yang diametral.
Kenapa tidak menunggu saja keputusan KPU yang resmi. Kenapa mereka mesti bikin gaduh. Atau pernyataan kubu Jokowi dan kubu Prabowo yang masing-masing mengklaim kemenangan mereka, mestinya ditangkap semua itu.
Menurut saya, berdasarkan keyakinannya masing-masing, mereka itu menganalisa dan memprediksi kemenangan, karena itulah ruang demokrasi.
Kalau analisa dilarang, ini bukan Negara demokrasi, tapi otoriter. Saya ingatkan, Negara harus membela argumen, bukan memenjarakan argumen, apalagi hanya karena kita sentiment.
Laporan Wartawan Tribun Timur, @amir_eksepsi
Jangan Lupa Subscribe Channel Youtube Tribun Timur:
Follow juga Instagram Tribun Timur: