Mampukah Nurdin Abdullah Jadi Pemimpin Sulsel?
Saya menyaksikan Prof Amirudin 10 tahun di Unhas dan 10 tahun di kantor gubernur. Amirudin tidak pernah memarahi anak buah di depan anak buah lainnya.
Pemimpin yang tidak menghargai hak dasar manusia yg dipimpinnya, kata Koentjoroningrat di buku Mentalitas Pembagunan, tidak bisa disebut pemimpin. Orang seperti itu tidak layak menjadi pemimpin di masyarakat yang berkebudayaan kental seperti masyarakat Indonesia.
Kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di Indonesia ini, sangat menghargai dan menjunjung tinggi kerangka dasar kemanusiaan itu.
Tanpa penghargaan pengakuan kemanusiaan, kita tidak bisa dikatakan berbudaya atau berperadaban, kata Koentjoroningrat sang antropolog. Bagaimama mungkin orang tak berbudaya atau beradab, menjadi seorang pemimpin.
Nurdin Abdullah dengan bantuan para staf ahli, sesungguhnya bisa meneladani para Gubernur Sulsel pendahulunya , tentang adab memperlakukan anak buah. Semisal Prof Ahmad Amiruddin. Nurdin Abdullah sendiri telah berjanji akan menjadi penerusnya.
“Saya akan jadi The Next Amirudin,” kata Nurdin Abdullah di berbagai forum di Sulsel.
Saya menyaksikan kepemimpinan Prof Amirudin selama 10 tahun di Unhas dan 10 tahun di Kantor Gubernur Sulsel. Amirudin tidak pernah memarahi anak buah di depan anak buahnya yang lain. Prof Amirudin tidak pernah mencopot satupun anak buahnya, apalagi mencopotnya dengan tuduhan yg tidak punya bukti.
Demikian halnya Gubernur Sulsel setelah Amiruddin, Zainal Basri Palaguna. Palaguna tak pernah memarahi anak buah di depan orang lain yg tidak ada hubungan dengan kesalahan yang dilakukan anak buah yang sedang dimarahinya itu.
Palaguna hanya memanggil anak buah yang diketauinya berbuat kesalahan, untuk segera menghadap. penanggungjawab pekerjaan seperti Kabiro dan Kadis di mana sang anak buah melakukan kesalahan.
Anak buah Palaguna itu, biasanya cepat menyadari apa kesalahannya. Selang sehari dua hari kemudian, anak buah tersebut menghadap Palaguna, mengakui kesalahannya dan siap memperbaikinya jika diberi kesempatan. Si anak buah akan meminta maaf dan berjanji tidak akan mengulangi kesalahan serupa.
Sedikit berbeda adalah Amin Syam, Gubernur Sulsel setelah Palaguna. Jikalau ada anak buah melakukan kesalahan, Amin Syam hanya menyebutkan ke anak buahnya, jika si bawahan ada kesalahan.
Setelah itu, Amin Syam enggan berkomunikasi dengan bawahannya itu. Komunikasi takkan terjalin sampai si bawahan menemukan sendiri, apa kesalahannya. Lalu bawahan tersebut datang menemui Amin, melapor jika telah mengetahu apa kesalahannya. Si bawahan mengaku sudah memperbaiki, dan tentu saja meminta maaf pada Amin Syam.
Gubernur pengganti Amin, Syahrul Yasin Limpo (SYL) punya karakter yang hampir sama. SYL akan merangkul bahu anak buahnya, lalu berkata, “Awwa bela, bikingko sEng kesalahan. Perbaiki na. Ada ji pasti maafku bos, kalau bisa ji kesalahanmu diberi maaf.”
Gubernur Sulsel dari Amirudin hingga SYL, belum pernah ada yang mengumumkan ke publik, jika usai mencopot para bawahannya; Kasubag, Kabiro, dan Kadis.
Apalagi mengatakan, "Saya mencopot pejabat si A atau si B dengan tidak hormat,"
Kuatnya Tekanan
Mengapa Nurdin Abdullah tak mampu medeladani pendahulunya, dari Prof Amirudin sampe Syahrul Yasin Limpo dalam mengelola birokrat bawahannya?
Hal itu tak lain karena Nurdin Abdullah tidak mampu melawan tekanan dari kekuatan oligarki lokal. Tekanan itu tak hanya datang secara terus menerus dari kelompok tertentu. Karena itu, sangat bisa diyakini Nurdin Abdullah tidak akan pernah mampu melawan tekanan dari dua kelompok oligarki itu.
Nurdin Abdullah tidak punya kekuatan modal material atau ekonomi dan modal politik untuk melakukan perlawanan. Modal pencitraan, yang merupakan satu-satunya satu-satunya milik Nurdin Abdullah, tak dapat digunakan melawan tekanan dua kelompok itu.