Lima Kotak Suara Saja Begitu Ribet, Apalagi Jika Pemilu Serentak 2024 Sudah 7 Kotak Suara
Pemilu 2019 ini benar-benar melelahkan, bahkan mematikan. Sudah 139 penyelenggara pemilu meninggal dunia
Pemilu Nasional meliputi Pilpres, Pileg DPR RI, dan DPD RI. Pemilu provinsi meliputi Pilgub dan Pileg DPRD provinsi. Pemilu kabupaten dan kota meliputi Pilkada dan Pileg DPRD kabupaten/kota.
TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Pemilu 2019 ini benar-benar sungguh melelahkan. Bukan hanya tahapan dan masa kampanye yang melelahkan, tapi juga penantian usai pencoblosan.
BACA SELENGKAPNYA DI TRIBUN TIMUR CETAK EDISI KAMIS, 25 APRIL 2019
Hingga sepekan pascapencoblosan, belum ada calon anggota legislatif (caleg) maupun calon anggota senator (cator) yang memastikan diri lolos ke Senayan. Dua kubu pasangan calon presiden-calon wakil presiden juga masih bertarung klaim menang.
Pemilu 2019 ini benar-benar melelahkan, bahkan mematikan. Sudah 139 orang meninggal dunia saat melaksanakan tugas saat pemilu legislatif (pileg) yang diselenggarakan serentak dengan pemilihan presiden (pilpres) 2019.
Selain itu, masih terdapat 459 orang petugas yang jatuh sakit dan harus dirawat di rumah sakit yang tersebar di hampir seluruh provinsi.
Pengaju judicial review pemilu serentak ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2014 lalu, Effendi Gazali, sudah menyatakan menyesal mengajukan judicial review jika hasil UU Pemilunya seperti UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017.
"Kami juga terang-terangan mengimbau agar pemilu kita dikembalikan saja seperti tahun 2014, daripada pemilu serentak 2019 dipaksakan dengan memberlakukan presidential threshold," ujar Effendi Gazali kepada Tribun Network, Selasa (23/4/2019)
Teror Kotak Suara
TPS menjadi teror bagi pemilih dalam Pemilu serentak 2019 ini. Dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, pemilih harus menentukan pilihan terhadap lima item.
Itu baru lima. Pemilu Serentak 2019 pada 17 April 2019 lalu masih menyisakan dua item yang akan dipilih.
Dosen FISIP Unhas, Dr Andi Lukman Irwan, pada Pemilu 2024, warga akan berhadapan dengan 7 kotak suara.
Selain presiden, legisiatif, dan senator, pada pemilu mendatang juga sekaligus akan dipilih gubernur-wakil gubernur serta bupati-wakil bupati/wali kota-wakil wali kota.
“Dalam Pemilu 2024, kota suara akan lebih banyak lagi kotak. Dalam aturan, pemilu 2024, Pilpres, Pileg dan Pilkada bakal berlangsung bersamaan. Sehingga, bisa pemilih akan berhadapan dengan 7 kotak,” jelas Lukman dalam Diskusi Forum Dosen di Gedung Tribun Timur, Jl Cendrawasih 430, Makassar, Senin (22/4/2019) sore.
Berhadapan dengan lima kotak suara saja “sudah menumbahkan” ratusan penyelenggara pemilu.
Menurut Lukman, perlu dipikirkan perbaikan teknis Pemilu 2024.
“Kita menggunakan pola pemilu serentak bertingkat,” tegas Lukman.
Pemilu serentak bertingkat dibagi dalam pemilu nasional, pemilu provinsi, dan pemilu kabupaten/kota.
Pemilu Nasional meliputi Pilpres, Pileg DPR RI, dan DPD RI. Pemilu provinsi meliputi Pilgub dan Pileg DPRD provinsi. Pemilu kabupaten dan kota meliputi Pilkada dan Pileg DPRD kabupaten/kota.
“Ini waktu pemilihannya di hari berbeda selama seminggu,” kata Lukman.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) merekomendasikan pelaksanaan pemilu serentak untuk pesta demokrasi berikutnya dibagi menjadi dua jenis tahapan. Rekomendasi tersebut berdasarkan riset evaluasi penyelenggaraan pemilu 2009 dan 2014.
Hal ini diutarakan oleh Komisioner KPU Hasyim Asy'ari, Selasa (23/4). "Salah satu rekomendasinya adalah Pemilu serentak dua jenis," kata Hasyim.
KPU merekomendasikan pelaksanaan pemilu dibagi menjadi pemilu serentak nasional dan pemilu serentak daerah. Pemilu serentak nasional adalah pemilihan pejabat di tingkat nasional yaitu presiden, DPR dan DPD.
Pemilu serentak daerah memilih pejabat di tingkat daerah yaitu pemilihan kepala daerah gubernur, bupati/walikota, DPRD provinsi atau DPRD kabupaten/kota.
Terkait kerangka waktu rekomendasi tersebut, Hasyim menuturkan perhelatan pemilu tingkat nasional maupun daerah tetap dalam periode lima tahunan. Perbedaannya, pemilu serentak daerah diselenggarakan 2,5 tahun setelah berjalannya pemilu serentak nasional.
"Pemilu daerah lima tahunan diselenggarakan di tengah lima tahunan pemilu nasional. Misalnya pemilu nasional 2019. Dalam 2,5 tahun berikutnya yaitu 2022 pemilu daerah," jelas Hasyim.
Rekomendasi KPU menitikberatkan pada empat poin argumentasi. Poin-poinnya meliputi aspek politik, aspek manajemen penyelenggaraan pemilu, aspek pemilih dan aspek kampanye.
Pertimbangan aspek politik bertujuan agar pembagian ini bisa terjadi konsolidasi yang semakin stabil antarpartai politik. Alasannya, koalisi partai dibangun sejak awal pencalonan.
Pada aspek manajemen penyelenggaraan pemilu, beban penyelenggaraan pemilu, dalam hal ini KPU, akan lebih proporsional dan tidak terjadi penumpukan beban yang berlebih. Ketiga, aspek kepentingan pemilih. KPU berpandangan masyarakat bisa lebih mudah menentukan pilihan karena fokus mereka hanya dihadapkan pada calon pejabat nasional dan daerah di dua pemilu berbeda.
Pertimbangan terakhir ialah aspek kampanye. Pembagian pemilu serentak jadi dua tahapan membuat isu-isu kampanye semakin fokus antara isu nasional dan daerah yang dikampanyekan. Imbasnya adalah tidak terjadi tumpang tindih terkait aspek kampanye.
Pemilu Ribet
Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan sejak awal telah ada kekhawatirkan terkait beban kerja yang sangat berat dari seorang petugas KPPS mengingat pemilu 2019 merupakan pemilu yang paling rumit.
“Itulah yang kita khawatirkan sejak awal. Bahwa ini pemilu yang terumit. Ternyata ada korbannya. Baik di kalangan KPPS juga di kepolisian,” Jusuf Kalla di rumah dinasnya, Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, usai menerima tokoh dan pimpinan ormas Islam, Senin (22/4) malam.
JK meminta pilpres dan pileg penyelenggaraanya dipisah di mana pemilihan calon anggota legislatif digelar tertutup oleh parpol. Masyarakat cukup memilih partai dan partai yang menentukan calegnya sendiri.
“Tentu harus evaluasi yang keras. Salah satu hasil evaluasi dipisahkan antara pilpres dengan pileg itu supaya bebannya jangan terlalu berat. Termasuk caleg-caleg itu tertutup. Pilih partai saja sehingga tidak terjadi keruwetan menghitung,” jelas dia.
Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menilai penyelenggaran pemilihan umum serentak 2019 tidak praktis. Moeldoko menilai penyelenggaraan pemilu 2019 harus dievaluasi.
Pada pemilu 2019 masyarakat kewalahan menggunakan hak suaranya karena jumlah kertas suara yang banyak. Masyarakat harus mencoblos kertas suara pemilihan presiden, DPR, DPD, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota.
Selain itu, waktu penghitungan suara bisa memakan waktu sampai 12 jam. Hal ini membuat sejumlah anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) sakit bahkan meninggal dunia akibat kelelahan.
"Pemilu yang disatukan antara pileg, pilpres, DPD dan DPRD ini sungguh-sungguh ribet. Hal ini perlu dievakuasi kembali," kata Moeldoko saat syukuran kemenangan Jokowi-Maruf di kantor DPP Projo, Pancoran, Jakarta Selatan, Senin (22/4/2019) malam.
Untuk itu, Moeldoko sepakat dengan peryataan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang mengatakan perlunya evalusi penyelenggaraan pemilu serentak setelah ratusan petugas yang terdiri dari petugas KPPS, polisi dan panitia pengawas pemilu (Panwaslu) meninggal dunia.
Meski demikian, Ketua Harian Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Maruf Amin ini menyerahkan sepenuhnya kepada DPR. "Nanti itu tugasnya DPR. Tugas DPR untuk mengevaluasi," jelas Moeldoko.(*)