Mati Ketawa Ala Caleg, Sarung Langka Diborong, Masyarakat Trauma Terima Serangan Fajar
Mukena dan songkok di Pasar Butung juga mulai langka, tapi warga sudah trauma terima ‘sedekah’ caleg
Diskusi dihadiri pemantau dari Jaringan Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Sulsel terdiri Yasmib, FIK Ornop, LBH Makassar, JPPR, Perludem, Serikat Perempuan Anging Mammiri, Koalisi Perempuan Indonesia, LBH APIK, Forum Pemerhati Masalah Perempuan, dan Lembaga Advokasi dan Pendidikan Anak Lapar (LAPAR)
TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Banyak warga bakal kehabisan sarung baru dalam menyambut Ramadan 1440 H. Terutama sarung berharga ekonomis dan bermerek ternama.
Pasalnya, sarung “murah” merek terkenal itu sudah ludes diborong caleg. Pantauan Tribun Timur di Pasar Butung, Makassar, Rabu (10/4/2019), sejumlah grosir sudah kehabisan stok saryung seharga Rp 60 ribuan per lembar.
Songkok dan mukena juga mulai langka di Pasar Burung. Sementara beberapa warga sudah trauma menerima pemberian caleg. Mereka takut caleg itu atau tim suksesnya tiba-tiba datang lagi setelah pemilu, meminta barang yang sudah diberikan.
Seperti pengalaman warga Parepare, lima tahun lalu. Dia mengaku kehilangan muka ke pelanggannya ketika tiba-tiba utusan caleg datang meminta kompos gas pemberiannya. Padahal kompos gas itu sementara dia pakai di warkop.
BACA SELENGKAPNYA DI TRIBUN TIMUR CETAK EDISI KAMIS, 11 APRIL 2019
Mati Ketawa Ala Caleg
Lima tahun lalu, pada April 2014, puluhan aktivis menggelar diskusi bertajuk Mari Menertawai Pemilu di Redaksi Tribun Timur, Jl Cenderawasih, Makassar, Jumat (25/4/2014).
Ibrata dagelan, pemilu dinilai membuat mereka bisa tertawa. Banyak aksi kocak di dalamnya karena ulah para kontestan. Pemilu pun seperti menjadi pelipur lara, walaupun sebenarnya menjadi lara bagi caleg gagal.
Diskusi dihadiri pemantau dari Jaringan Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Sulsel terdiri Yasmib, FIK Ornop, LBH Makassar, JPPR, Perludem, Serikat Perempuan Anging Mammiri, Koalisi Perempuan Indonesia, LBH APIK, Forum Pemerhati Masalah Perempuan, dan Lembaga Advokasi dan Pendidikan Anak Lapar (LAPAR).
Acara itu memang sengaja diformat untuk menertawai pemilu yang dinilai amat lucu oleh para aktivis. Tema diskusinya pun
"Jadi diskusi ini memang sengaja dibuat untuk menertawai pemilu. Banyak sekali kejadian lucu yang mengundang tawa. Yang kita undang ini pun adalah mereka yang siap berbagi cerita lucu yang bisa kita ketawai bersama," kata Koordinator FIK Ornop Sulsel waktu itu, M Asram Jaya, saat membuka diskusi.
Kini Asram Jaya sudah menjadi komisioner KPU Sulsel. Tentu dia tidak leluasa lagi menertawai pemilu. Malah, bisa jadi Asram yang kini bakal ditertawai oleh rekan aktivisnya.
Beberapa aktivis yang hadir dalam diskusi itu juga sudah menjadi komisioner KPU dan Bawaslu.
Menurut Asram, ketika itu, sejumlah caleg menyatakan bersedia hadir untuk berbagi cerita lucu dan ikut tertawa bersama. "Tapi mungkin para caleg itu merasa belum bersedia menertawai diri sendiri sehingga tiba-tiba ramai-ramai membatalkan hadir," ujar Asram.
Sumber tertawaan pertama diungkap seorang Panitia Pemungutan Suara (PPS) dari Wajo, M Hamzah. Pria ini sengaja dihadirkan untuk menyuguhkan cerita lucunya seputar pemilu.
"Begini ceritanya, empat hari sebelum pencoblosan, kami didatangi utusan .... (sebut nama partai). Mereka minta saksi. Anak-anak tanya, 'Berapa bayarannya?', 'Rp 400 ribu untuk saksi dalam, Rp 100 ribu untuk saksi luar', kata utusan partai itu. Anak-anak pun sepakat dan menyatakan siap jadi saksi," jelas Hamzah.
Sehari sebelum pencoblosan, sekitar pukul 16.00 wita, datang lagi orang mengaku dari partai tersebut membawa mandat saksi. Utusan itu lalu menyerahkan masing-masing Rp 50 ribu ke para saksi.
"Kenapa hanya Rp 50 ribu. Perjanjian kita kan Rp 400 ribu saksi dalam dan Rp 100 ribu saksi luar," kata seorang calon saksi.
"Ini baru panjarnya. Tapi kalau mau tusuk nomor .... (sebut nomor urut partai tersebut), saya tambah Rp 50 ribu lagi," ujar utusan partai.
Para calon saksi pun sepakat menusuk si caleg urut 9, tambahan Rp 50 ribu diserahkan.
Pukuk 07.00 wita, para saksi stand by di TPS masing-masing. Pukul 09.0 wita, sang utusan Golkar datang lagi membawakan uang makan masing-masing Rp 10 ribu per saksi.
"Sekitar jam sembilan malam, utusan partai itu datang lagi. Dia langsung meminta semua uang yang sudah diserahkan," kata Hamzah.
Para saksi protes. "Oh tidak bisa, Pak. Sudah dimakan," ujar para saksi. "Tidak, harus dikembalikan. Ini perintah caleg urut 9. Beliau minta semua uangnya karena tidak ada yang cobloski nomor urut sembilan," kata utusan itu.
Akhirnya, para saksi kocar-kacir cari pinjaman untuk mengembalikan "uang saksi mereka".
"Ha....ha....ha...., jadi sekarang bukan lagi serangan fajar, tapi serangan panjar," kata Wakil Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar ketika itu, Zulkifli Hasanuddin, diikuti gelak tawa para aktivis.
Kini Zulkifli sudah menjadi pengacara profesional dan banyak mendampingi beberapa kandidat kepala daerah dalam Pilkada Serentak 2018 lalu.
Beragam cerita lucu dimunculkan dalam diskusi menjelang pencoblosan Pemilu 2014 silam. Ada yang meminta kembali uang serangan fajarnya, ada yang memblokir jalan, hingga ada pula yang membongkar rumah konstituen.
Gagal terpilih di Makassar, ada caleg meminta kembali ikan dan minyak goreng yang telah dibagikan kepada warga di daerah pemilihannya.
"Kalau naminta, suruh-mi pergi cari ke WC. Minyak goreng bisa-ji dikasi kembali, tapi kalau ikan, bagaimana," ujar Zamzam, pemantau dari FIK Ornop menanggapi laporan pemantau lain, dari Yasmib dan A Muh Hidayat.
Selain meminta "serangan fajarnya" dikembalikan, sang caleg juga mengoceh lantaran merasa dicurangi caleg lainnya. "Suara-ku dicuri. Yang pilih-ka di (pemilu) 2009, pindah-ki ke caleg itu," ujar Hidayat dan disambut lagi tawa.
Peseta diskusi lainnya pun ramai-ramai menimpali. Bukan pencurian suara, namun basis massa direbut caleg lain.
Laporan hasil pemantauan pun isinya hampir seperti lawak. Sepanjang diskusi yang berlangsung sekitar 1,5 jam itu dari awal sampai akhir, peserta tak hentinya tertawa.
Zamzam mengaku mendapati ada warga di TPS, saat penghitungan suara menyamakan caleg
dengan sembako. "Pas dengar caleg disebut namanya, warga langsung bilang, oo itu gula lima kilo, itu sarung," katanya. Sang caleg memang rajin mendatangi daerah pemilihannya. Pada pemilu kali ini, menjadi filantropis dadakan.
Preferensi warga saat pemilu lebih mudah diubah karena uang. Siapa paling banyak serangan fajarnya, itulah pilihan pemilih. Pemilu pun menjadi momentum bagi rakyat pemilih untuk mengeruk uang caleg.
"Di Pangkep, orang bilang, mau-pi pemilu baru datang (ke konstituen). Setelah itu na-tinggalkan-ki. Masa kita mau ditipu. Sekali-kali, kita yang menipu," ujar Asram.
Seorang peserta berkelakar, "Ada juga langsung coblos, dia pilih saja yang cantik." Refleks , sejumlah peserta pun langsung menyebut sejumlah nama caleg yang disebut cantik.(*)