Ini Kisah Wanita Lanjut Usia Pembuat Nisan di Takalar
Nursiah adalah satu-satunya lansia wanita pengerajin pot dan nisan berbahan semen di sepanjang jalan Poros Takalar-Jeneponto.
Penulis: Muh Syahrul Padli | Editor: Imam Wahyudi
TRIBUNTAKALAR.COM, MANGARABOMBANG - Membuat barang kreasi berbahan semen membutuhkan tenaga yang besar.
Tak mengherankan pekerjaan ini didominasi laki-laki.
Kebanyakan orang akan menganggap wanita tidak cocok untuk pekerjaan ini.
Namun salah satu wanita bernama Nursiah di usianya yang menginjak 76 tahun mematahkan anggapan ini.
Nursiah adalah satu-satunya lansia wanita pengerajin pot dan nisan berbahan semen di sepanjang jalan Poros Takalar-Jeneponto.
Nursiah bersama suami dan anak bungsunya tinggal di rumah sederhana yang terletak di pinggir jalan Poros Takalar-Jeneponto, Kelurahan Mangadu, Kecamatan Mangarabombang, Kabupaten Takalar.
Rumahnya sudah miring. Atapnya bocor dan ditambal sana-sini.
Nursiah tinggal berpindah-pindah. Tanah di mana rumahnya berdiri sekarang adalah milik seorang tokoh masyarakat yang berbaik hati mengizinkannya menetap di sana sementara waktu.
Sudah sembilan tahun Nursiah menetap dan menggeluti usaha membuat pot dan nisan di rumahnya sekarang
Nursiah menggantikan suaminya, Azis Wahab (77) yang tak mampu lagi bekerja akibat kendala fisik.
Seluruh pengetahuan pembuatan pot dan nisan ia pelajari langsung dari suaminya. Mulai dari takaran semen, pasir dan air sampai pencetakan dan pengecatan.
Meski tak memberikan keuntungan pasti, ia masih tetap berharap dapat hidup dari pot berbagai bentuk dan ukuran serta nisan yang ia buat.
"Saya sudah bertahun-tahun jadi pembuat pot dan nisan. Sekarang saya dan anak bungsu saya yang harus bekerja. Suami saya, Azis Wahab fisiknya sudah tak mampu mengaduk campuran pasir dan semen. Kadang, anak-anak saya yang telah berkeluarga juga sesekali membantu jika mereka ada waktu," tutur Nursiah kepada TribunTakalar.com, Rabu (3/4/2019) sore.
"Ini pekerjaan berat. Tapi mau diapa. Kami tak punya pilihan lain. Lagipula, bisa dikatakan pekerjaan ini yang dulu sampai sekarang menghidupi saya dan anak-anak," tambahnya.
Nursiah mengaku merasa sudah beruntung jika mendapat pembeli empat sampai lima per hari.
"Pembeli tidak tentu. Kadang empat hari baru ada yang laku. Kadang satu Minggu tidak laku satu pun. Prinsip saya, biar saja keuntungan tak seberapa yang penting laku," jelasnya.
Nursiah kemudian menunjuk beberapa harga barang kreasi buatannya. Pot ukuran sedang harganya 65.000, ukuran paling kecil 30.000 rupiah.
"Kalau nisan harganya sedikit lebih mahal dari harga pot karena perlu besi untuk rangkanya," jelas Nursiah.
Nursiah mengaku telah mendapat perhatian dari pemerintah setempat. Namun untuk bantuan bedah rumah, ia tak masuk kategori penerima karena lahan tempat tinggalnya milik orang lain.
Meski demikian, beras untuk keluarga prasejahtera telah ia dapat. Walau ia tetap harus pintar-pintar mengakalinya agar cukup menopang kebutuhannya.
"Kalau kebetulan tidak dapat pembeli pot atau nisan, terpaksa kami memetik kangkung lalu dijadikan lauk. Kalau beras yang tinggal sedikit, kami bikin bubur agar cukup," tambah Nursiah.
Dengan segala keterbatasan, Nursiah dan keluarganya berharap tetap dapat hidup melalui usaha sendiri.
"Bisa dibilang, kami hidup dengan mengolah semen dan pasir. Kami selalu berusaha bersyukur atas apa yang kami punya," tutup Nursiah.
Laporan Wartawan TribunTakalar.com, @syahrul_padli