OPINI
OPINI - Rektor UIN Alauddin Diseret ke Kasus Romy?
terpilihnya Prof Andi Faisal sebagai Rektor UIN Alauddin waktu itu tak lepas dari kekuatan yang terbangun bersama Prof Musafir, Prof A Qadir dkk
Oleh:
Muhammad Yahya
(Dosen UIN Alauddin)
Berita penangkapan Ketua Umum PPP Romahurmuziy (Romy) yang mengaitkan UIN Alauddin Makassar menjadi headline Tribun Timur edisi Kamis, 21 Maret 2019. Judul yang dibold membuat banyak kalangan bertanya, namun tak jelas apa yang dimaksud mengguncang UINAM.
Singkatan UIN Alauddin menjadi UINAM tak populer di kalangan sivitas akademika UIN Alauddin Makassar, namun tulisan di harian ini memaksa sebagian kalangan untuk mengetahui kalau itu adalah UIN Alauddin Makassar.
Tulisan ini kemudian seakan menjastipikasi akan adanya indikasi kalau rektor yang sekarang terlibat dalam tawar menawar jabatan. Namun sampai di akhir berita di harian ini tak jelas keguncangan yang dimaksud.
Diakhir pemberitaan tersebut mengutip sepenggal uraian mantan Ketua MK RI Prof Mahfud MD saat tampil di ILC tvOne edisi 19-20 Maret 2019 lalu bahwa Faisal Bakti sebagai calon rektor terpilih di UIN Alauddin Makassar tahun 2014 tidak dilantik (oleh Menteri Agama) karena tidak bisa membayar Rp 5 miliar.
Baca: Ricuh! Simulasi Pengamanan TPS di Polres Jeneponto
Memang di dalam acara ILC, Mahfud sempat menyebut Faisal Bakti saat itu tidak dilantik oleh karena pihak Kementerian Agama membuat aturan yang dapat menjegal Andi Faisal Bakti sampai Andi Faisal gagal dilantik sebagai Rektor UIN Alauddin saat itu.
Menurut Mahfud, Faisal Bakti tak menerima pembatalan pelantikannya dengan mengadukan keberatan ke PTUN dan hasilnya pengadilan memenangkan Andi Faisal dengan putusan yang sudah inkracht.
Namun Faisal Bakti tetap tidak dilantik.
Sedikit ditambahkan bahwa pemilihan ulang Rektor dilakukan atas perintah Menteri Agama terhadap pgs rektor yang ditunjuk.
Karena masa periode Prof A Qadir Gassing sebagai Rektor UIN Alauddin Makassar saat itu sudah berakhir 7 Agustus 2014 sedang rektor terpilih (A Faisal Bakti) gagal dilantik maka untuk mengisi kekosongan jabatan rektor, Menteri Agama mengutus Prof Ahmad Thib Raya ke UIN Alauddin Makassar sebagai pelaksana tugas rektor waktu itu.
Walaupun jika merujuk pada Peraturan Menteri Agama No. 11 Tahun 2014 pada pasal 11 yang menyebutkan “apabila masa jabatan rektor atau ketua berakhir dan rektor atau ketua yang baru belum dilantik, menteri menetapkan perpanjangan masa jabatan rektor atau ketua sampai dengan dilantiknya rektor atau ketua baru.”
Namun kenyataannya menteri mengirim Pgs Rektor UIN Alauddin Makassar.
Baca: Kapolda Sulsel Sebut Ada Tiga Tindak Pidana Dapat Menghambat Proses Pemilu 2019
Dengan adanya Pgs Rektor Prof Qadir sebagai rektor waktu itu tidak terlalu mempersoalkan walau dianggapnya saat itu terjadi pelanggaran PMA No 11 tersebut.
Pgs rektor tersebut salah satu tugasnya diberi kewenangan membentuk panitia pemilihan rektor di UIN Alauddin Makassar yang disebut Panitia Seleksi Calon Rektor (PSCR).
Sedikit koreksi terhadap pemberitaan bahwa seakan batalnya Andi Faisal Bakti sebagai rektor lantas kemudian yang dilantik Prof Musafir sebagai rektor saat itu.
Perlu diketahui bahwa terpilihnya Prof Andi Faisal sebagai Rektor UIN Alauddin waktu itu tak lepas dari kekuatan yang terbangun bersama Prof Musafir, Prof A Qadir (rektor lama) dkk.
Adapun Prof Musafir dilantik sebagai rektor terpilih di UIN Alauddin Makassar merupakan rektor hasil pemilihan ulang setelah pelaksana tugas rektor membentuk panitia seleksi ulang calon rektor.
Baca: Ini 5 Titik Rawan Kemacetan di Wilayah Biringkanaya Makassar
Kekeliruan berita ini yang harus diluruskan. Sebab dilantiknya Prof Musafir saat itu telah melewati proses yuridis formal yakni pemilihan ulang yang syah.
Pada saat Rektor UIN Alauddin Makassar yang sekarang ini dilantik belum belum berlaku PMA No 68 tahun 2015.
Sebagaimana diketahui PMA no 68 ini memberi kewenangan yang luas terhadap Menteri Agama dalam penentuan rektor sebagaimana pasal 6, 7 dan 8, yang intinya setelah seleksi ditingkat universitas, maka nenteri selanjutnya membentuk komisi seleksi calon rektor, sehingga masih sangat kecil kemungkinan adanya tawar manawar keterpilihan rektor baru di tingkat pusat. (*)
Catatan: Tulisan ini telah dipublikasikan juga di Tribun Timur edisi print, Jumat 22 Maret 2019