Hasil Debat Cawapres-Kritik Sandiaga Uno untuk Pemerintah, dari Ujian Nasional hingga BPJS Kesehatan
calon wakil presiden nomor urut 02, Sandiaga Uni melontarkan sejumlah kritikan terhadap pemerintah.
TRIBUN-TIMUR.COM-Dalam Debat Pilpres 2019 putaran ketiga atau Debat Cawapres 2019, calon wakil presiden nomor urut 02, Sandiaga Uni melontarkan sejumlah kritikan terhadap pemerintah.
Dalam bidang pendidikan, Sandiaga Uno menilai sistem ujian nasional yang saat ini diterapkan merupakan sebuah pemborosan anggaran.
Selain itu, sistem ujian nasional berpotensi menimbulkan ketidakadilan terhadap siswa karena kualitas pendidikan di berbagai daerah belum merata.
Baca: Hasil Debat Cawapres-Mengenal Penyakit Stunting, Bagaimana Solusi dari Maruf Amin dan Sandiaga Uno?
Baca: Kabar Gembira! Kenaikan Gaji PNS 2019 Dibayar Bulan Depan, Gaji 13 & 14 Juga, Berikut Rinciannya
Baca: 2 Tokoh Sulsel Dampingi Sandiaga Salahuddin Uno, Siapa Dia?
Hal itulah yang menjadi alasan Sandiaga ingin menghentikan sistem ujian nasional, seperti diungkapkannya saat debat ketiga Pilpres 2019, di Hotel Sultan, Jakarta, Minggu (17/3/2019).

"UN kami akan hapus. Itu salah satu bagian dari pemborosan dan tidak berkeadilan, karena sistem pendidikan kita tidak sama di setiap wilayah," ujar Sandiaga saat ditemui seusai debat.
Meski demikian, Sandiaga tidak menyebutkan secara spesifik berapa besar pemborosan anggaran dengan adanya penerapan sistem ujian nasional. Ia hanya mengungkapkan, besarnya pemborosan dapat dihitung dan besarannya cukup signifikan.
"Kita bisa hitung dan cukup signifikan," kata dia.
Alih-alih menerapkan ujian nasional, Sandiaga lebih memilih untuk menerapkan sistem penelusuran minat dan bakat.
Menurut dia, sistem tersebut lebih cocok dan lebih aplikatif saat ini.
"Nanti akan kami ganti dengan penelusuran minat dan bakat. Itu lebih cocok dan lebih aplikatif pada saat sekarang," kata Sandiaga.
Selain itu, lanjut Sandiaga, pihaknya juga akan menerapkan konsep sekolah link and match. Artinya, penyedia lapangan kerja dan pencipta lapangan kerja tersambung dengan sistem pendidikan.
"Kami juga memiliki konsep sekolah link and match di mana kita hadirkan penyedia lapangan kerja dan pencipta lapangan kerja tersambung dengan sistem pendidikan," ujar mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta itu.
BPJS Kesehatan
Sementara dalam bidang kesehatan, Sandiaga Uno mengkritik soal sistem BPJS Kesehatan.
Sandiaga Uno menyebut bahwa pengelolaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan masih belum maksimal.
Bahkan, Sandiaga menyebut bahwa masih banyak peserta BPJS Kesehatan yang belum dijamin pengobatannya.
Salah satunya ditemui Sandiaga saat berada di Sragen, Jawa Tengah.
Baca: Hasil Debat Cawapres-Mengenal Penyakit Stunting, Bagaimana Solusi dari Maruf Amin dan Sandiaga Uno?
Baca: Kabar Gembira! Kenaikan Gaji PNS 2019 Dibayar Bulan Depan, Gaji 13 & 14 Juga, Berikut Rinciannya
Baca: 2 Tokoh Sulsel Dampingi Sandiaga Salahuddin Uno, Siapa Dia?

Benarkah pernyataan Sandiaga tersebut?
Sebelumnya, Sandiaga Uno pernah menggugah video di akun Facebook, tepatnya pada Minggu (30/12/2018).
Saat itu dia bertemu seorang Ibu bernama Liswati. Dalam video itu, Liswati yang merupakan penderita kanker payudara mengungkapkan bahwa obatnya tak di-cover oleh BPJS Kesehatan.
"Saya adalah pasien kanker payudara yang tidak di-cover oleh pemerintah obatnya," kata Liswati.
Lihat videonya dalam tautan ini.
Hingga saat ini Kompas.com belum mengetahui secara detail mengenai obat apa yang dibutuhkan.
Liswati memang tak menjelaskan detail mengenai obat apa yang dibutuhkan dan kondisinya saat pengobatannya tak di-cover BPJS Kesehatan.
Namun, dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 328/Menkes/SK/IX/2013 yang mengatur tentang formularium nasional, disebutkan sejumlah obat yang dapat digunakan untuk mengatasi kanker payudara.
Adapun, BPJS Kesehatan memang menggunakan formularium nasional untuk menanggung pengobatan pasien yang jadi pesertanya.
Hal ini telah diatur dalam Peraturan Menteri Keseharan Republik Indonesia Nomor 54 tahun 2018.
Dalam formularium nasional disebutkan bahwa obat yang dapat diberikan untuk penyakit kanker payudara antara lain anastrozol; eksemestan; goserelin asetat; letrozol; leuprorelin asetat; temoksifen; lapatinib; siklofosfamid; dan trastuzumab.
Beberapa waktu yang lalu, juga terdapat kisah mengenai kisah seorang warga bernama Edy Haryadi yang menggugat BPJS kesehatan dan Presiden Joko Widodo karena istrinya Juniarti dihentikan obatnya.
Gugatan muncul karena tak ada kesepakatan antara manajemen BPJS Kesehatan dengan pihak Edy Haryadi terkait penghentian penjaminan obat trastuzumab untuk kanker tersebut.
Namun, beberapa waktu kemudian Edy Haryadi telah mencapai kesepakatan dengan BPJS Kesehatan.
Setelah mengajukan gugatan dan menjalani mediasi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, akhirnya Juniarti bisa mendapat obat trastuzumab yang dibutuhkan.
"Bagi saya dan istri, kemenangan kami adalah kemenangan semua penderita HER2 positif di mana pun dia berada."
"Dan ini pelajaran keras bagi direksi BPJS agar jangan mengurangi manfaat bagi peserta BPJS, juga agar jangan bermain-main dengan nyawa manusia," kata Edy ketika dihubungi, Jumat (28/9/2018).
Tanggapan BPJS Kesehatan
Kompas.com telah meminta konfirmasi kepada BPJS Kesehatan terkait pernyataan Sandiaga.
Kepala Humas BPJS Kesehatan M Iqbal Anas Ma'ruf mengatakan bahwa kemungkinan pasien yang dimaksud Sandiaga adalah Niswatin, dan bukan Liswati.
Hal ini diketahui Iqbal dari komentar kakak Niswatin di unggahan Sandiaga Uno.
Iqbal melanjutkan, BPJS Kesehatan tak menghentikan pengobatan untuk Niswatin.
Dia mengakui bahwa pengobatan sempat ditunda.
"Sempat di-hold, ketika ada rekomendasi oleh dewan pertimbangan klinik," kata Iqbal, Minggu malam.
Menurut Iqbal, dua obat yang dibutuhkan Niswatin, yaitu herceptin atau trastuzumab, telah ditanggung oleh BPJS Kesehatan, sama seperti kasus yang dihadapi Juniarti dan Edy Haryadi.
"Sesuai Permenkes Nomor 22 Tahun 2018," ujar Iqbal.
(Kompas.com/Tribun Wow).
Jangan Lupa Subscribe Channel Youtube Tribun Timur :
Jangan Lupa Follow akun Instagram Tribun Timur: