5 Kesalahan Persepsi soal Kepemilikan e-KTP bagi WNA hingga Disebut Berpotensi Ancam Pemilu 2019
Beberapa waktu lalu, Warga Negara Asing diketahui memiliki Kartu Tanda Penduduk Elektronik atau e-KTP.
Informasi soal ini mereka setelah beredar foto KTP elektronik atau e-KTP seorang Warga Negara Asing ( WNA) asal China berinisial GC.
Dari foto yang beredar, KTP-el GC tercantum dengan NIK 320*************. Dalam foto itu, GC disebut tinggal di Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat.
Lima Faktor Kepemilikan e-KTP bagi WNA Jadi Isu Besar
Direktur Perludem Titi Anggraeni mengatakan ada lima faktor kepemilikan KTP elektronik bagi warga negara asing (WNA) menjadi isu besar yang mudah membentuk persepsi publik.
Faktor utamanya, pemahaman awam publik secara sederhana berpikir bahwa KTP elektronik adalah bentuk identitas khusus bagi warga negara Indonesia.
Jadi, publik masih menganggap seseorang yang memegang identitas tersebut, pasti berkewarganegaraan Indonesia.
"Ini karena isu itu tidak jadi perhatian. Banyak kita yang baru tahu bahwa WNA itu punya KTP elektronik," kata Titi dalam diskusi Polemik bertajuk E-KTP, WNA dan Kita di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (2/3/2019).
Poin ketiga, lanjut Titi, kompetisi Pemilu 2019 begitu kompetitif karena Pilpres hanya menghadirkan dua calon, sedangkan Pileg ada Parliamentary Threshold atau ambang batas parlemen sebesar 4 persen. Sehingga setiap suara sangat berarti bagi para partai politik
Lalu dalam Pasal 348 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 menjelaskan, hanya pemilik KTP elektronik yang bisa menggunakan hak pilihnya 17 april nanti. KTP elektronik menjadi satu-satunya syarat bisa menggunakan hak pilih.
Poin terakhir yang menyebabkan isu KTP elektronik kepunyaan WNA jadi besar dan tuai polemik ialah karena isu tersebut memang begitu mudah dimainkan oleh mereka yang punya kepentingan.
Apalagi, dalam isu itu menyangkut dua hal sensitif secara emosional bagi para masyarakat Indonesia, yaitu asing (kewarganegaraan) dan aseng (ras).
Dewasa ini, dua hal tersebut cukup mudah menjadi senjata memprovokasi para pemilih. Tujuannya, mendelegitimasi salah satu pihak peserta pemilu dan secara bersamaan menaikkan elektabilitas mereka yang menggunakannya.
"Isu ini memang mudah digoreng, ada asing dan aseng pula. Secara emosional mudah memprovokasi pemilih Indonesia. Karena masyarakat mudah diprovokasi terhadap isu asing dan ras," ungkap Titi.
Untuk itu Titi menyarankan kepada pemerintah dan penyelenggara negara untuk segera merebut narasi publik soal KTP elektronik bagi WNA ini, supaya tidak berkembang lebih jauh lagi.
"Narasi publik harus direbut agar tidak kadung menyebar. Sebab kalau tidak diluruskan, ini berpengaruh pada Pemilu 2019," pungkasnya.