KLAKSON
Buruh Bangunan Ini Bakal Golput pada Pemilu 2019, Alasannya Klasik
apatisme politik lahir dari rahim ketidakkaruan politik. Para pelaku politik tak karuan mengurus politik.
Apatisme
Oleh: Abdul Karim
Peneliti Akar Foundation Sulsel
SEORANG buruh bangunan dekat rumah saya mengungkap rencananya tak akan ikut memberi hak suara pada Pemilu 17 April nanti.
Alasannya klasik, tetapi pelik bahwa pemilu tak pernah memberi efek apa-apa pada nasibnya.
“Dulu saya mencoblos saat pemilu, tetapi sama sekali tak ada pengaruhnya dalam hidup saya. Hingga kini, saya tetaplah buruh bangunan dengan kondisi hidup kadang mencemaskan”, katanya lirih.
Inilah bibit apatisme politik. Barangkali apatisme politik lahir dari rahim ketidakkaruan politik. Para pelaku politik tak karuan mengurus politik.
Lalu politik tak pernah tercurah kebawah berkahnya. Kesejahteraan warga hanya tuntas dibicarakan, tak bertunas pada kenyataan. Kepercayaan warga pada event-event politik luntur olehnya.
Pada taraf itu, begitu rumit menyerukan warga memilih. KPU-lah tertantang, ditarget menaikkan partisipasi warga untuk memilih ditengah menyeruaknya krisis kepercayaan warga pada orang-orang yang pernah dipilih.
Baca: VIDEO: Toko Petasan di Wonomulyo Polman Terbakar
Traumatisme pemilu melanda warga. Apatisme politik tumbuh menjadi buah yang tak diharap.
Apatisme politik di mana-mana tak menguntungkan. Sebab apatisme politik dapat mengakibatkan kian terbengkalainya agenda-agenda konsolidasi demokrasi.
Seperti pemberdayaan pranata dan institusi demokrasi semacam partai politik, lembaga perwakilan rakyat (legislatif); penciptaan good governance dan pemberantasan korupsi; penguatan kultur politik demokratis, civic culture (budaya kewargaan) dan civility (keadaban), serta penegakan hukum.
Bila agenda-agenda itu terbengkalai, maka konsolidasi demokrasi di negeri ini berjalan tanpa titik finish yang pasti.
Sebaliknya, yang terus berlanjut adalah kerancuan, anomali, dan kekisruhan politik tanpa ujung. Di bawah, rakyat saling membenci.
Mengapa apatisme subur? Pertama-tama karena politik dimaknai sebagai kerja privat, manfaatnya untuk diri sendiri.
Baca: OPINI - Bahasa Bugis yang Terancam Hilang
Mereka lupa bahwa politik adalah tugas mahajana. Sebagai tugas, politik memikul tanggungjawab, memanggul amanah. Politik tak lahir dari tanggungjawab yang tandus.