INACA Sepakat Turunkan Harga Tiket Pesawat, Masyarakat Masih Mengeluh, Lion Air Buka Suara
Mahalnya harga tiket pesawat sejumlah rute penerbangan masih dikeluhkan mahal oleh masyarakat.
TRIBUN-TIMUR.COM- Mahalnya harga tiket pesawat sejumlah rute penerbangan masih dikeluhkan mahal oleh masyarakat.
Padahal pada Januari 2019, Indonesia National Air Carriers Association (INACA) sepakat menurunkan harga tiket.
Seluruh maskapai nasional yang tergabung dalam Indonesia National Air Carrier Association (INACA) telah menurunkan tarif tiket penerbangan sejak Jumat 11 Januari 2019.
Baca: Tiket Pesawat Mahal, Bandara Mulai Sepi, Kemenhub Beberkan Penyebabnya, Sebut Harga Masih Wajar
Baca: Kisah Nur Khalim, Guru Honorer yang Dilecehkan Murid-muridnya, 6 Tahun Mengabdi Digaji Rp 450 Ribu
Baca: Jika Lulus PPPK 2019 Ini Jumlah Gaji Diterima, Daftar di sscasn.bkn.go.id Sekarang Ini 3 Formasi
"Di tengah kesulitan para maskapai kami tetap paham dan mengerti akan kebutuhan masyarakat dan kami memastikan komitmen memperkuat akses masyarakat terhadap layanan penerbangan nasional serta keberlangsungan industri penerbangan nasional tetap terjaga," kata Ari Askhara melalui rilisnya, Minggu (13/1/2019).
"Seluruh anggota INACA, serta seluruh jajaran terkait pemangku kepentingan layanan penerbangan nasional seperti pengelola bandara, badan navigasi, hingga pemangku kepentingan lainnya telah melaksanakan pembahasan intensif terkait penurunan struktur biaya pendukung layanan kebandara udara dan navigasi agar dapat selaras dengan mekanisme pasar industri penerbangan dan daya beli masyarakat," lanjutnya.
Lion Air Buka Suara
Perusahaan penerbangan Lion Air mengungkapan bahwa saat ini masih terjadi situasi musim sepi penumpang pesawat.
"Untuk persentase jumlah penumpang kami belum bisa berikan," ujar Corporate Communications Strategic of Lion Air Danang Mandala Prihantoro kepada Kompas.com, Jakarta, Senin (11/2/2019).

Meski begitu Danang mengatakan, tiket pesawat yang dijual oleh Lion Air tetap dalam koridor yang diperbolehkan oleh regulator, yakni Kementerian Perhubungan.
"Untuk harga tiket yang kami jual, masih sesuai koridor di bawah tarif batas atas," kata dia.
Kemenhub Ungkap Penyebab Tiket Masih Mahal
Kementerian Perhubungan (Kemenhub) pun menilai ada sejumlah sebab hingga kini harga tiket pesawat masih mahal.
Baca: TERPOPULER-Pilhan Ustaz Yusuf Mansur, Pendaftaran PPPK, Skripsi #2019GantiPresiden, dan Rocky Gerung
Baca: Login ssp3k.bkn.go.id, Tata Cara dan Alur Pendaftaran PPPK/P3K 2019, Lokasi dan Bocoran Materi Tes
Baca: Lowongan Kerja PLN, Lulusan S1/D4 dan D3, Daftar secara Online di Link Resmi ini, Waktu Cuma 4 Hari
Salah satunya karena siklus tahunan yang sedang terjadi.
Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan (Kemenhub) Polana B Pramesti mengatakan, saat ini sedang terjadi fase musim sepi atau low season.
Ini biasanya terjadi dari Januari dan Februari. Oleh karena itu, banyak maskapai penerbangan yang memanfaatkan dan memaksimal tarif tiket sesuai tarif batas atas.
"Karena airline juga butuh 'hidup' dan itu salah satu sebabnya kenapa (tiket masih mahal). Sebenarnya tidak terlalu tinggi, masih batas wajar," kata Pramesti di Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang Banten, Minggu (10/2/2019).
Pramesti menjelaskan, meskipun harga tiket pesawat masih dianggap mahal, namun yang jelas besarnya masih sesuai dengan paraturan pemerintah, yakni berdasarkan ketentuan PM 14 Tahun 2016 tentang Mekanisme Perhitungan Formula Perhitungan dan Penetapan Tarif Batas Atas dan Batas Bawah Penumpang Pelayanan Kelas Ekonomi Angkut Udara Niaga Berjadwal dalam Negeri.
Sehingga masyarakat tidak perlu khawatir terkait hal ini.

"Kalau harga tiket selama ini tidak ada melanggar, masih sesuai dengan PM 14 Tahun 2016," ujarnya. Mengenai sepinya penumpang pesawat, Pramesti menyebutkan hal itu biasa.
Kondisi seperti ini berlangsung setiap tahun di Tanah Air dan negara lain. Secara perlahan, kondisinya akan berubah dan membaik.
"Kalau penurunan hampir setiap tahun, di dalam penerbangan itu terutama di Indonesia (pada) Januari dan Februari memang low season. Itu hampir siklus tahunan, nanti Maret mulai meningkat," sambungya.
Beberapa waktu lalu, mahalnya tiket pesawat menjadi sorotan publik. Apalagi kemudian muncul kebijakan pengenaan bagasi berbayar, meskipun sejumlah maskapai membatalkannya.
Tiket pesawat yang mahal diduga menjadi penyebab utama lesu atau sepinya pengguna moda trasnportasi akhir-akhir ini.
Bandara Sultan Hasanuddin Sepi
Dampak kenaikan harga tiket pesawat domestik disusul bagasi berbayar semakin nyata.
Bandara Sultan Hasanuddin Makassar di Mandai, Maros, semakin sepi.
AirNav Cabang Utama Makassar Air Traffic Service Center ( MATSC) mencatat, lalu lintas pesawat di SHIAM sejak serangan “wabah tiket", Desember 2018, berdampak pada menurunnya intensitas take off dan landing pesawat.
“Penurunannya di angka 15 persen. Angka pastinya berapa, nanti kita sampaikan. Namun kenaikan tarif pesawat menjadi penyebab utama,” kata GM AirNav Cabang Utama Makassar Air Traffic Service Center ( MATSC), Novy Pantaryanto, saat bertandang di redaksi Tribun Timur, Jl Cenderawasih nomor 430, Makassar, Sabtu (9/2/2019) petang.

Menurutnya, aktivitas pesawat pada Januari 2019 bila dibandingkan dengan bulan yang sama tahun lalu terjadi penurunan double digit.
Bahkan, bila dibandingkan rerata aktivitas pesawat per hari di 2018 dengan aktivtas pada Sabtu (9/2/2019) sangat jauh penurunannya.
“Sabtu ini hanya 270 pesawat, padahal di 2018 rerata per hari bisa 300-350 pesawat. Itu di SHIAM, pun di Bandara Seokarno-Hatta yang biasanya rerata per hari 1.200 pesawat, kini di bawah 1.000 pesawat,” kata Novy Pantaryanto.
Menurutnya, kondisi itu berdampak sistematik.
Jika tidak segera ditemukan jalan keluar, maka industri penerbangan terancam “gulung tikar”.
Seperti di Sulsel, kata Novy Pantaryanto, saat tarif pesawat naik, membuat alternatif tranportasi yakni Kapal Pelni laris manis.

“Belum lama ini saya ketemu dengan GM Pelni di bandara. Katanya lagi panen pas tarif pesawat naik. Nah, kita tunggu saja apakah pihak maskapai yang menurunkan harganya, atau banyak pesawat yang terparkir karena keterisiannya sangat minim,” jelas Novy Pantaryanto.
Ini beralasan, kata Novy Pantaryanto, mengingat cost yang dikeluarkan maskapai untuk sekali terbang tidak sedikit.
Mulai dari bahan bakar, pajak manifest, biaya airport, pembayaran pilot dan pramugari.
“Biaya bahan bakar 50 persen dari biaya operasional. Makanya, beberapa pesawat dari maskapai menggabungkan penumpang dengan tujuan yang sama di waktu tertentu. Agar keterisian pesawat bisa mengcover biaya sekali jalan,” katanya.
Bila dilihat dari aktivitas pesawat di SHIAM, tentunya beberapa pesawat tidak beroperasi maksimal.
“Yah maksimal 12 jam perjalan per pesawat atau 6 kali terbang. Tarif naik, ada yang 4 jam saja beroperasi,” katanya.
Ia pun menghawatirkan, bila ini berlanjut, ada pesawat yang terparkir.
“Peristiwa ini memang berpegaruh pada pendapatan Airnav, tetapi mempermudah kami dalam mengaturnya,” katanya.
Selain itu, revenue atau pendapatan AirNav Cabang Utama MATSC didominasi dari penerbangan luar negeri.
“Sekitar 70 persen revenue kami dari pesawat luar negeri. Sisanya dari penerbangan domestik. Padahal. pengaturannya lebih banyak penerbangan domestik, namun inilah tugas dan bakti kami kepada negara,” jelas Novy Pantaryanto.
(Kompas.com/Tribun Timur)
Jangan Lupa Subscribe Channel Youtube Tribun Timur :
Follow juga akun instagram tribun-timur.com: