Opini
Menjadikan Universitas Dapur Pembangunan Daerah
Penulis adalah Guru Besar Komunikasi Pembangunan Universitas Hasanuddin
Oleh: Hafied Cangara
Guru Besar Komunikasi Pembangunan Universitas Hasanuddin
UNTUK pertama kalinya, pelantikan empat bupati dan wakil bupati dilaksanakan di Kampus Universitas Hasanuddin oleh Gubernur Nurdin Abdullah pada 26 September 2018.
Ini bukan karena Gubernur Sulawesi Selatan yang baru terpilih bergelar Professor dan orang kampus, melainkan pemilihan kampus sebagai tempat pelantikan sarat dengan makna.
Prof Nurdin menginginkan agar kepemimpinan daerah harus berbasis ilmu pengetahuan. Kampus gudangnya orang pintar. Pemerintah harus sinergi dengan kampus.
“Jadikan kampus jadi dapur kita,” kata Gubernur Nurdin Abdullah (detiknews, 26 Sept.2018).
Menjadikan kampus sebagai partner sekaligus dapur pengkajian pembangunan daerah bukanlah hal baru dalam hubungan antara universitas dengan pemerintah daerah.
Dalam sejarah pembangun daerah di Indonesia, ketika Pelita I dimulai tahun 1969 Provinsi Sumatra Barat yang dipimpin oleh Prof Dr Harun Zain (kemudian diangkat jadi Menteri Tenaga Kerja) menjadi model pembangunan daerah di Indonesia dengan Universitas Andalas sebagai partnernya.
Demikian juga Provinsi Jawa Barat berpartner dengan ITB, IPB dan Universitas Padjadjaran. Propinsi Bali dengan Universitas Udayana. Provinsi Jawa Tengah dengan Universitas Gadjah Mada, UNS, dan Universitas Diponegoro.
Provinsi Sulawesi Selatan juga ketika dipimpin oleh Prof Dr Ahmad Amiruddin menjadikan Universitas Hasanuddin sebagai partner kerjanya.
Kerja sama antara universitas dan pemerintah daerah bukan saja terjadi di Indonesia. Di berbagai negara maju banyak dilakukan.
Misalnya Lehigh University, Worcester Polytechnic Institute (WPI), Institut Teknologi New Jersey (NJIT), dan Rensselaer Polytechnic Institute (RPI) ikut mengambil bagian dalam bentuk partisipasi aktif dalam pertumbuhan daerah-daerah di Amerika Serikat bagian timur.
Juga Lembah Silikon dan kedekatannya dengan Universitas Stanford dan Universitas California. Sabuk industri di Route 128 di Massachusetts dan kedekatannya dengan MIT, Universitas Cambridge di Inggris. Universitas Western Australia menunjukkan peranan penting universitas dalam pembangunan regional (daerah).
Bahkan Marmara University di Turki lebih jauh telah membentuk Centre for Regional Development (MACRED). Tujuannya adalah mengembangkan kebijakan untuk mengurangi kesenjangan antar daerah untuk memastikan kerjasama antara universitas, industri, organisasi publik dan non-pemerintah, serta mencari peluang dan solusi terhadap tantangan ekonomi, sosial dan lingkungan.
Utamanya di wilayah pedesaan dan daerah terpencil.
Hubungan antara universitas dengan pemerintah daerah/federal/negara bagian dalam suatu mitra kerjasama dimaksudkan agar agar universitas dan pemerintah bersinergi dalam mendorong kemajuan pembangunan di daerah.
Hal ini juga dirasakan oleh pemerintah Indonesia, khususnya pemerintah daerah provinsi sehingga setiap provinsi berusaha melahirkan minimal satu perguruan tinggi seperti Universitas Hasanuddin di Sulawesi Selatan.
Universitas Hasanuddin lahir 10 September 1956, sebagai tuntutan oleh para tokoh masyarakat Sulawesi Selatan (Nuruddin Sahadat, Prof. Drs. G.J. Wolhoff, Mr. Tjia Kok Tjiang, J.E. Tatengkeng Drs. H. La Ode Manarfa, Syamsuddin Daeng Mangawing, Andi Patiwiri dan Sampara Daeng Lili, dll) yang punya visi kedepan, akan pentingnya kehadiran universitas dalam penyediaan sumberdaya manusia, ilmu pengetahuan, dan teknologi yang sangat diperlukan dalam memajukan Provinsi Sulawesi Selatan dan Tenggara pada khususnya, dan Indonesia bagian Timur pada umumnya.
Centre of Innovation
Universitas dalam mengemban tugasnya sebagai instutusi ilmiah memiliki kewajiban untuk menjalankan Tridharma Perguruan Tinggi yakni melaksanakan pengajaran (pendidikan), penelitian dan pengabdian kepada masyarakat.
Kolaborasi antara ketiga dharma ini menunjukkan bahwa pendidikan tinggi selain menghasilkan sumberdaya manusia yang cerdas, juga menjadi pusat riset yang akan melahirkan inovasi (teknologi material, social dan moral) yang akan diabdikan kepada masyarakat sebagai salah satu bentuk university social responsibility.
Dalam konteks ini berbagai kajian ilmiah, di antaranya Universities as engines for regional growth? Using the synthetic control method to analyze the effects of research universities oleh Carl Bonander dkk (2016) menyebutkan bahwa universitas memainkan peran sentral untuk akumulasi pengetahuan, tidak hanya sebagai produsen penelitian dasar, tetapi juga dengan menciptakan modal manusia dalam bentuk tenaga kerja yang sangat terampil.
Universitas lokal dan regional dapat mempengaruhi ekonomi melalui sejumlah mekanisme, yang tidak saling eksklusif. Universitas menyediakan berbagai fungsi dalam proses inovasi.
Mereka membantu menciptakan dan menyebarkan pengetahuan, tidak hanya dengan mengejar penelitian inovatif sendiri, tetapi juga dengan menyebarkan pengetahuan yang diambil dari akumulasi pengetahuan sistematis dan terkodifikasi di dunia.
Universitas juga menjadi pusat pemikiran (centre of idea) dan sebagai tempat pengkajian penyelesaian masalah-masalah, dan bukan sebagai sumber masalah. Karena itu universitas diharapkan bisa memberi pengaruh ke arah kemajuan teknologi.
Drucker dan Goldstein (2007) menyebutnya ada delapan aktivitas yang dapat diperankan universitas dalam pembangunan daerah yaitu (1) penciptaan pengetahuan, (2) penciptaan modal manusia, (3), transfer pengetahuan, (4) inovasi teknologi, (5) investasi soft skill, (6) kepemimpinan regional, (7) produksi pengetahuan infrastruktur.
Provinsi Sulawesi Selatan beruntung memiliki tiga universitas negeri (Universitas Hasanuddin, Universitas Negeri Makassar, dan Universitas Islam Negeri Alauddin) ditambah beberapa universitas swasta besar seperti UMI, Unibos dan Unismuh Makassar yang memiliki sumber daya manusia yang kuat.
Universitas Hasanuddin saja misalnya memiliki tenaga pengajar sekitar 1.700 orang. Sebanyak 1.020 berkualifikasi Doktor (di antaranya 302 berkualifikasi Professor) dengan 400-an lepasan dari universitas ternama di luar negeri.
Jika jumlah doktor yang ada di dua perguruan tinggi negeri ditambah dengan yang ada di perguruan tinggi swasta, maka ada sekitar 3.000-an doktor yang ada di Sulawesi Selatan.
Sebuah aset di bidang sumberdaya manusia yang ‘dimiliki’ pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dengan segala macam keahlian dan keterampilan.
Saya teringat dalam suatu diskusi dengan budayawan Husni Jamaluddin (almarhum). Ia mengatakan, kita tunggu lahirnya Mattulada-Mattulada muda. Lalu saya mengatakan, Mattulada seorang budayawan besar kelahiran Sulawesi, tapi sekarang Mattulada-Mattulada muda telah banyak di Universitas Hasanuddin.
Jangankan menulis tentang Lontara, gelombang laut dan transmissi suara mereka bisa hitung. Letak posisi berkerumumnya ikan di laut mereka bisa tahu. Pertumbuhan sebuah varietas tanaman mereka bisa ukur.
Demikian juga rekayasa di bidang budidaya ternak dan prerikanan, teknologi kedokteran dan farmasi, serta rekayasa di bidang mekanika mesin adalah karya-karya ‘Mattulada baru ‘sekarang tersedia di Kampus Universitas Hasanuddin.
Universitas memiliki banyak hal yang bisa ditawarkan, karena pengetahuan dan sumber daya manusia merupakan pendorong penting kemakmuran, inklusi dan pengembangan territorial regional.
Kontribusi universitas melalui riset di bidang rekayasa dan sosial lebih luas, inovasi lingkungan dan refleksi kritis juga penting pada saat tantangan dan risiko luar biasa yang dihadapi wilayah dan negara.
Kedekatan geografis dan kelekatan adalah keuntungan besar bagi universitas sebagai agen perubahan yang mempromosikan interaksi manusia, mentransfer pengetahuan, dan membangun kepercayaan dan tujuan bersama di antara berbagai aktor dan kepentingan, tulis John Harrison, Department of Geography, Loughborough University, UK dalam Universities, Knowledge and Regional Development, (2017).
Egoisme Birokrasi
Menjadikan universitas sebagai center of innovation dan center of idea untuk mendukung pembangunan regional pada dasarnya sangat beralasan. Bukan saja karena universitas memiliki sumberdaya manusia yang lebih andal, netral, dan objektif, juga universitas memiliki sarana dan prasarana berupa laboratorium dan perpustakaan yang mendukung.
Selain itu, universitas memiliki jaringan antarkampus yang dibina oleh para dosen dengan para pakar asing yang pernah menjadi dosennya di luar negeri serta jaringan antarkementerian yang mereka bina melalui berbagai Puslitbang Kementerian.
Masalahnya, universitas kadang merasa enggan menawarkan diri sehingga lebih terfokus pada bidang pengajaran/pendidikan. Sebaliknya pemerintah daerah yang sejak diberlakukannya otonomi daerah dan mengedepannya dominasi kepentingan politik menghadapi berbagai masalah internal, baik dalam penyediaan sumberdaya (rata-rata baru pada tingkat S2), maupun tantangan birokrasi.
Karena itu perlu dikomunikasikan agar dua kepentingan ini bisa bersinergi dalam menciptakan kesejahteraan masyarakat melalui kebijakan pimpinan daerah yang ditunjang dengan regulasi yang bisa bermanfaat untuk kedua pihak.
Perkembangan tata kelola pemerintahan dengan munculnya berbagai badan dan dinas baru, misalnya Badan Pengendalian Bencana, Dinas Komunikasi dan Informasi, Dinas Tata kelola Air, Badan Pendidikan dan Pelatihan Daerah, Badan Penelitian Daerah menjadi tantangan yang tidak kecil terutama penyediaan sumberdaya yang spesialis dan pengembangan kelembagaan (institutional building) menjadi suatu institusi yang professional.
Belum lagi diperlukannya pengkajian tentang dinas-dinas yang kemungkinannya sudah out of date yang sudah tidak sesuai dengan tuntutan kemajuan dan perkembangan masyarakat kotemporer.
Karena itu ide Gubernur Sulsel yang baru Prof Nurdin Abdullah untuk menjadikan kepemimpinan dan tata kelola pemerintahan berbasis pengetahuan (knowledge based) dengan menempatkan universitas sebagai partner utama dalam pembangunan daerah.
Masalahnya, kasus pengalaman dalam penanganan suatu program yang disenergikan antara dinas dan universitas pernah terjadi ketika kami menjabat sebagai Kepala Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Hasanuddin.
Ketika itu, Menteri yang kebetulan berwawasan akademik menginginkan agar program bisa dijalankan dengan bersinergi universitas agar bisa berbasis knowledge dan pengawasan yang lebih netral. Namun pada tingkat pelaksanaan di saat program dicoba untuk disinergikan, pihak dinas bersekukuh tidak mau dicampuri dalam pelaksanaan proyek tersebut.
Ada pemikiran sempit dalam visi yang sangat pendek (one step ahed) bahwa proyek yang akan dijalankan itu adalah milik kementeriannya dan sekaligus sebagai sumber bagi mereka. Kondisi seperti ini sungguh memprihatinkan dengan tidak melihat visi ke depan bahwa sinergitas antara pembangunan daerah dan universitas lebih jauh pada tataran yang lebih komprehensif.
Kehadiran universitas dalam memberi advokasi dan mendampingi pemerintah daerah dalam pengelolaan potensi sumberdaya ekonomi, diharapkan dapat membuat teroboson dalam bentuk ide-ide cemerlang dan inovasi baru agar birokrasi tidak terseret pada rutinitas.
Tujuan akhirnya yakni diharapkan akan memberi nilai tambah dalam mendatangkan kesejahteraan bagi penduduk setempat, dilain pihak universitas akan menjalankan fungsi kemasyarakatannya sebagai University Social Responsibility (USR) dalam meningkatkan poisisi rangkingnya baik secara nasional maupun internasional.
Hal ini tentu saja bisa dicapai jika tujuan utama kepentingan masyarakat pengguna dan kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dikedepankan daripada kepentingan lainnya. Di sini, universitas dituntut untuk membangun daerah. Sebaliknya pemerintah daerah juga berkewajiban membangun universitasnya. (*)
Catatan: Tulisan di atas telah terbit di halaman Opini Tribun Timur dalam dua tulisan, Selasa (23/10/2018) dan Rabu (24/10/2018)