Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Komunisme Bangkit?

Alih-alih mengembalikan manusia pada fitrahnya setelah teralienasi oleh kapitalisme, komunisme runtuh bukan karena invasi ideologis

Editor: Imam Wahyudi
net
Lambang PKI 

Oleh: M. Zainal Arifin Ryha

"Apakah generasi muda, para aktivis seperti anda masih tertarik pada ide-ide dan gagasan dari ajaran komunisme?", tanya Jenderal Sayidiman Suryohadiprojo saat saya bertandang ke kantornya di gedung BPPT lt. 21 di bilangan Tamrin Jakarta, pada medio 1995.

Rupanya mantan Gubernur Lemhannas itu lagi galau. Maklum saat itu banyak aktivis mahasiswa gemar memakai kaos bergambar Che Guevara, tokoh marxis Argentina yang jadi simbol revolusi sosial di Kuba. Sebagian lagi -termasuk saya- mengoleksi buku-buku Pramoedya Ananta Toer yang dicap 'kiri' dan terlarang, dengan membelinya secara diam-diam di _black market._

Terhadap pertanyaan itu, saya jelaskan bahwa mana mungkin generasi muda seperti saya masih tertarik mengaji ajaran komunis disaat kasat mata menyaksikan sendiri Uni Soviet dan China, dua negara yang menjadi kiblat komunisme dunia telah mengalami kebangkrutan sistem sosialnya. Pun sebagai penceramah materi-materi ideologi di HMI, saya cukup mahfum bahwa secara konseptual komunisme yang oleh Marx diklaim sebagai varian paling ilmiah dari sosialisme, yang menawarkan janji emansipasi sosial, janji menghadirkan sebuah konstruk sosial yang adil, humanis, tanpa kasta dan penindasan manusia oleh manusia dalam sebuah masyarakat tanpa kelas, adalah utopia.

Alih-alih mengembalikan manusia pada fitrahnya setelah teralienasi oleh kapitalisme, komunisme runtuh bukan karena invasi ideologis atau militer yang bersifat eksternal, tapi lantaran mengalami pembusukan secara sosiologis akibat pranata-pranata sosial yang dibangunnya ditinggal oleh pendukungnya karena bertentangan dengan fitrah manusia itu sendiri. Tegasnya, komunisme sebagai ideologi adalah romantisme masa lalu yang usang. Komunisme sudah jadi rongsokan, epistemologi perjuangan kelasnya yang radikal telah jadi mumi dalam khasanah keilmuan.

Kalau kemudian banyak mahasiswa memakai kaos bergambar Che Guevara, juga mengoleksi buku-buku Pramoedya Ananta Toer, bukan karena tertarik pada ajaran komunis, tetapi lebih menjadikan keduanya sebagai personifikasi dari simbol-simbol perlawanan terhadap sistem politik monolitik saat itu.

Dari perspektif sosiologis, munculnya arus-arus devian terhadap hegemoni ideologi dan politik adalah keniscayaan. Fenomena semacam itu terjadi di berbagai belahan dunia. Di Amerika yang liberal, para ilmuan di Harvard University cenderung kekiri-kirian. Sebaliknya Uni Soviet yang komunis, para ilmuannya cenderung berpikiran liberal sehingga kerab bersebrangan dengan pemerintahnya yang otoriter, menyebabkan mereka melarikan diri dan meminta suaka di Amerika atau Eropa.

Mendengar penjelasan saya, penasehat politik Pak Harto itu, terlihat lega. Selanjutnya kami terlibat diskusi panjang soal-soal ideologi semisal sosialisme dan kapitalisme dalam perspektif Islam, Pancasila sebagai konstanta bangsa dan upaya pengkayaan implementasinya sebagai ideologi terbuka, juga soal pelembagaan demokrasi di Indonesia.

Kelihatannya lewat saya Sang Jenderal ingin menggali pemikiran para aktivis mahasiswa terhadap soal-soal tersebut. Dengan lugas saya paparkan ragam pemikiran yang berkembang dan menjadi mainstream di kalangan mahasiswa saat itu. Tidak ketinggalan sejumlah protes terhadap praktek-praktek politik Orde Baru. Meski beliau seorang militer, elemen utama rezim Orde Baru yang harus dipersepsikan sebagai lawan _vis a vis_ gerakan mahasiswa yang menuntut perubahan, saya tidak ragu sama sekali. Saya mengenal beliau sebagai satu dari sedikit jenderal intelektual yang _civilized_ yang dimiliki ABRI saat itu.

***

Adalah Leny James, perempuan cantik dan cerdas, teman bergaul pemikiran sejak kukiah dulu dan kini mukim di Portland USA, mengirim pesan WhatsApp, menyatakan keheranannya atas maraknya isu komunis di tanah air: "Apa yang terjadi, kanda. Kok heboh banget sih?", tanyanya. "Bukankah era perang dingin sudah tamat. Sejarah telah berakhir dengan kemenangan demokrasi liberal atas totalitarianisme...bahkan Tembok Berlin yang menjadi demarkasi antara demokrasi dengan totalitarianisme telah runtuh. Pakta Warsawa yang jadi simbol agung kedigdayaan komunisme dunia sudah lama bubar", lanjutnya, mengurai tesis Daniel Bell yang diamini Fukuyama dalam bukunya, The End Of History and The Last Man.

Seperti biasa, saya tidak langsung menjawab pertanyaannya. Terlebih dahulu saya mengajaknya mencermati substansi dari isu-isu tersebut. Sebagai misal, stigma komunis dan neolib yang ditimpakan kepada Jokowi pada saat bersamaan. Betapa absurdnya itu.

Bagaimana bisa seseorang menjadi komunis dan neolib pada saat bersamaan. Bukankah komunis dan neolib adalah dua konsepsi yang secara paradigmatik bertentangan dannsaling menegasikan secara teoretik? Seorang komunis sejati tidak bakal mencabut subsidi BBM dan menyerahkannya pada mekanisme pasar. Tidak nanti mengintegrasikan ekonomi nasional kedalam ekonomi pasar global yang kapitalistik dan mengundang borjuasi asing untuk investasi besar-besaran ke tanah air. Tidak akan melakukan privatisasi BUMN dan mengurangi peran negara secara signifikan dalam proses-proses ekonomi. Tidak bakal menempatkan di jajaran kabinetnya para menteri ekonomi yang narasinya hanya berputar-putar pada persoalan _supply and demand,_ tanpa kejelasan upaya sistematis untuk konseptualisasi bagi pelembagaan ekonomi kerakyatan dalam aspek perencanaan oleh negara.

Yang juga menarik untuk dicermati adalah isu bangkitnya komunis disinyalir berkonspirasi dengan kelompok-kelompok non muslim (Kristen), bertujuan untuk memuluskan agenda deislamisasi di Indonesia. Agaknya para propagandis itu tidak paham anatomi komunisme, persilangannya dengan Kristen dan perjumpaannya dengan Islam dalam konteks sejarah pergerakan kemerdekaan Indonesia.

Agak sulit membayangkan jika tiba-tiba komunis berkolaborasi dengan Kristen. Berbagai konten yang memuat isu itu saya simak dengan cermat untuk coba memahami analisis dan argumen yang mendasari konpirasi itu jika memang terjadi, tapi tidak menemukannya.

Masalahnya karena dalam pandangan kaum marxian, Kristen (Katolikisme) adalah 'candu' yang harus disingkirkan. Itu sebabnya Gustavo Gutierrez, seorang marxian yang sejatinya pendeta dan dosen seminari, ketika merumuskan Teologi Pembebasan-nya di Amerika Latin, terlebih dahulu harus menyingkirkan doktrin-doktrin gereja yang dipandang tidak bersimpati kepada orang miskin dan kaum tertindas. Sementara Protestanisme (calvinisme) ditentang karena merupakan basis etik kapitalisme.

Yang juga luput dalam opini-opini 'liar' itu adalah kealpaaan untuk memahami konteks sejarah perjumpaan Islam-komunis, di era pra kemerdekaan, sebagaimana yang terjadi di Syarikat Islam (merah) pimpinan tokoh-tokoh berlatar santri seperti Semaun, Alimin, Haji Misbach dan lain-lain, yang bersimpang jalan dengan Syarikat Islam pusat pimpinan Tjokroaminoto & H. Agus Salim karena dipandang terlalu moderat dalam perjuangan melawan Belanda. Sebuah penggalan sejarah yang merefleksikan pelembagaan 'kolaborasi' Islam-marxisme di Indonesia, terlepas dari perdebatan siapa memanfaatkan siapa. Dan apakah perjumpaan itu merupakan bentuk akomodasi yang bersifat organik dalam kerangka ideologi pergerakan kebangsaan atau sekedar semacam 'perjumpaan di jalan' yang bersifat taktis bagi perjuangan kemerdekaan Indonesia melawan kolonialisme dan imperialisme asing, sebagai akibat ekspansi kapitalisme. Sebuah penggalan sejarah yang harus dibaca berdasarkan konteks kesejarahan yang melingkupinya. Tidak bisa dibaca secara hitam-putih, layaknya menonton penjahat vs jagoan dalam film-film India. Pun kisah berbagai pemberontakan para buruh pra kemerdekaan yang kemudian dicap sebagai pemberontakan komunis, sebagaimana yang terjadi di Silungkang, Banten, Minang dan lain-lain, ternyata diinisiasi dan dipimpin para santri dan kiyai.

Halaman
123
Sumber: Tribun Timur
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved