Abu Umar Al-Qassam, Korban Gempa Palu yang Pilih Jadi Relawan SAR Wahdah Islamiyah
Abu Umar yang tinggal di Jalan Labu, sebelah Perumahan Balaroa, Palu, merasakan gempa bumi berskala
Penulis: CitizenReporter | Editor: Edi Sumardi
Rustam Hafid
Relawan Media Wahdah Peduli
Melaporkan dari Palu, Sulawesi Tengah
NESTAPA gempa bumi yang bergelombang bersusul di Kota Palu, Sulawesi Tengah dan sekitarnya meninggalkan kekalutan dalam hati sanubari para korban.
Kesempitan hidup hingga trauma berkelanjutan adalah keniscayaan, bersama hilangnya tanah, tahta dan harta yang membungkus buaian bumi ketika mengguncang hebat.
Namun di antaranya, terdapat sebuah kisah heroik dari sesosok manusia biasa yang berupaya menjadi manusia super di mayapada.
Namanya adalah Abu Umar Al-Qassam, korban gempa Palu yang menjubahi waktunya sebagai relawan Search and Rescue (SAR) Wahdah Islamiyah.
Ketika Bumi Mengguncang
Hari itu adalah hari Jumat (28/9/2018), ketika seluruh kaum Muslimin menjadikannya sebagai hari raya.
Tepat pukul 15.00 Wita, Abu Umar yang tinggal di Jalan Labu, sebelah Perumahan Balaroa, Palu, merasakan gempa bumi berskala 4,5 SR, bersama warga Palu lainnya.
Saat itu ia menceritakan, bersama keluarga sedang bersantai karena mengira hanya gempa biasa.
Menjelang waktu magrib, dia menyebutkan, ketika adzan berkumandang, dia telah bersiap menunaikan shalat magrib di masjid terdekat, tiba-tiba terjadi guncangan yang sangat dahsyat.
BMKG menyebutnya 7,7 SR.
Kala itu, ia tengah berada dalam kamar bersama 4 anaknya.
"Istri saya saat itu sedang privat di luar bersama dua anak saya. Ketika tanah berguncang hebat, saya keluar menyelamatkan anak saya, sulit sekali, ketika hendak berdiri malah tubuh terjatuh kembali," katanya mengungkapkan.
Abu Umar menambahkan, tubuhnya sempat terhantam pintu kamar saat hendak keluar menyelamatkan anak-anaknya, hingga berusaha keras dan akhirnya berhasil keluar.
Barang-barang rumah dijumpainya dalam posisi berantakan, namun beliau hanya berfokus pada anak-anaknya.
Ia pun mendekap erat anaknya hingga keluar rumah saat guncangan semakin hebat.
"Dinding sebelah kanan rumah saya rubuh, yang menyebabkan tidak bisa lagi untuk ditinggali," ujarnya.
Beberapa detik setelah gempa terjadi, Abu Umar melanjutkan, tiba-tiba tanah naik, jatuh, dan keluar air dari dalam Bumi.
Awalnya berupa lumpur dan banjir, satu jam kemudian berganti menjadi air jernih yang menggenang daratan.
Ketika itu, ia berpikir harus ke mana sebab rumah sudah tidak dapat ditinggali lagi.
Ia pun pada malam itu tidur di teras rumah milik orang lain, hingga pagi menjelang.
"Malam itu saya tidak bisa tidur nyenyak karena gempa susulan yang terus menderu menggetarkan tanah," tuturnya mengenang.
Tutur dia melanjutkan, "Esok paginya saya berinisiatif untuk mencari tempat mengungsi dan alhamdulillah bertemu salah seorang teman yang kemudian mengajak saya menuju Posko Induk Wahdah Islamiyah (WI) di Kabupaten Sigi, tepatnya di Sekolah Dasar Islam Terpadu (SD IT) Qurrota A'yun."
Relawan Memanggil
Pagi itu, Sabtu (29/9/2018), ia berinisiatif untuk tinggal di posko pengungsian WI karena rumahnya yang sudah hancur lebur.
Ketika itu, ada teman yang mengajaknya mengangkat jenazah untuk dikebumikan.
Jenazah itu adalah ibu dari sang teman yang mengajaknya tersebut.
Meninggal dunia akibat terseret gelombang tsunami.
"Setelah menguburkan, saya mencoba untuk berjalan menuju perumahan di Balaroa. Sesampai di sana, ternyata belum ada seorang pun yang berani naik ke lokasi. Saya memberanikan diri jalan hingga ke pertengahan dan merasakan tanah masih terus bergerak, sedikit menggunung. Ketika saya berjalan menyusuri puing-puing rumah yang hancur, tanah juga terus bergerak," tuturnya.
Jelang sore, ia menuju ke bawah untuk kembali ke posko pengungsian.
Di bawah tumpukan puing bangunan perumahan, warga memandangi rumahnya hancur lebur, menatapnya sendiri berdiri di tengah puing-puing.
Warga yang hadir salah satunya dari tim relawan Wahdah Islamiyah memintanya untuk menuntun menyusur lokasi.
"Sesampai di atas, saya menunjukkan bagaimana kondisi rumah-rumah dan jalanan. Bersama kami menyaksikan jenazah bergelimpangan," katanya.
Saat itu, lanjut Abu Umar, belum ada kegiatan evakuasi karena semua yang menyaksikan hanya datang menangis dan belum mampu berbuat apa-apa.
"Dan saat itulah teman-teman mengajak saya bergabung di tim relawan Wahdah Peduli dan mempercayakan saya menjadi koordinator lapangan sementara untuk saat itu," katanya pungkas.
Jiwa Sosial Memanggil
Ketika Abu Umar ditanya mengenai alasannya bergabung menjadi anggota tim SAR, sementara dirinya adalah korbamn, ia menjawab, bergabung menjadi relawan adalah cara untuk menghilangkan trauma atas hilangnya rumah dan semua pernak-pernik kehidupannya.
"Sampai saat ini, saya masih terfokuskan untuk menyelesaikan amanah yang diberikan oleh lembaga dakwah ini, yakni sebagai koordinator lapangan relawan," katanya mengungkapkan.
Adapun keluarga, kata dia, difokuskan untuk tertampung di posko pengungsian WI.
Setidaknya di posko pengungsian, menurutnya, kebutuhan keluarganya terpenuhi.
Hikmah Menjadi Relawan
Pria kelahiran Palu 39 tahun yang lalu ini menyebutkan, ketika mengevakuasi mayat pertama, terbesit dalam hatinya kesyukuran yang sangat besar kepada Allah ta'ala, sebab keluarganya diberikan keselamatan.
"Ketika saya melihat mayat-mayat bergelimpangan, saya bersyukur karena keluarga saya selamat semuanya. Sedang mereka, rumah hancur, keluarga hilang, bahkan ada tetangga saya yang mengalami gangguan jiwa saat ini karena kehilangan anak dan istri," tuturnya haru.
Rahasia Ketegaran Abu Umar
Bergabung menjadi relawan SAR memang menjadi pilihan jiwa Abu Umar.
Ia mengakui jiwa sosial itu telah tumbuh sejak lama, sebagaimana yang terbetik dalam hatinya sesaat setelah gempa, adalah satu, ingin membantu sesama Muslim.
Beliau terus memotivasi keluarga untuk merelakannya karena tidak bisa tinggal lebih lama bersama istri dan anak di posko pengungsian.
"Saya katakan kepada istri, 'Umi, yang penting Umi selamat, anak-anak selamat, kebutuhan terjamin di posko pengungsian. Saya fokus dari pagi sampai malam untuk membantu orang lain," ujarnya.
Padatnya waktu menjadi relawan membuat Abu Umar hanya memiliki waktu yang sedikit untuk berkumpul bersama keluarga.
Aktivitas sebagai relawan dijalaninya hingga malam menghampiri.
Waktu berkumpul bersama anak dan istri hanya mampu ia sisihkan setelah jam istrahat malam tiba hingga subuh hari.
Ayah dari 6 anak ini berkata, istrinya pernah mengajaknya untuk pulang kampung, menyelamatkan diri menuju daerah yang lebih aman.
Ketika itu ia berpikir dan jiwa sosialnya muncul.
Ia pun menjelaskan kepada istri bahwa ia tidak akan pulang selama saudara-saudaranya di lokasi terdampak gempa terbantu dan terpenuhi kebutuhannya.
"Bahkan saya tegaskan ke istri, saya tidak akan berhenti menjadi relawan sampai pengungsi terakhir adalah keluarga kita," ujarnya.
Pahlawan SAR Lintas Medan
Sudah berhari-hari Abu Umar menjalankan aktivitasnya sebagai relawan SAR.
Banyak mayat yang diangkutnya bersama tim.
Tumpukan puing-puing bangunan dan terjalnya longsoran tanah telah didakinya.
Bau menyengat mayat tak membuatnya mundur.
Serusak apapun mayat yang terjumpa tak menyurutkan semangatnya sebagai relawan SAR.
Abu Umar Al-Qassam memiliki seorang istri bernama Zaitun.
Enam anaknya, yakni Zaiturrahmah, Mujahid Al-Hafizh, Muhammad Mursyid Arif, Umar Al-Qassam, Umar Abdul Aziz, dan Hafizhah Humairah.(*)