Kolom Andi Suruji: Duka Palu dan Lara Kemanusiaan
Hingga Ahad petang, Badan Nasional Penanggulangan Bencara BNPB telah merilis angka 832 jiwa melayang.
Derita warga Palu dan Donggala seketika terasa getarannya di seantero dunia. Ia mengoyak relung-relung perasaan manusia dan rasa kemanusiaan. Tak pandang bangsa, suku, ras, agama dan ideologi. Simpati dan berduka.
Simpati dan duka lara itu juga lirih terdengar di warung kopi pinggir jalan hingga suara penentu kebijakan dunia di dalam gedung Sidang Umum Perserikatan Bangsa-bangsa di New York, Amerika Serikat.
Sekjen PBB Antonio Gutteres menyampaikan simpati dan duka cita untuk Palu. Perwakilan negara-negara sahabat pun mengutarakan hal serupa, seperti Konferensi Negara-negara Islam (OKI) yang juga menggelar pertemuan di sela-sela waktu penyelenggaraan SU PBB.
Rasa "kemanusiaan yang adil dan beradab" sebagaimana bunyi Sila Kedua Pancasila, Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia, pun menembus grup-grup whatsapp.
"Tidaklah adil dan tidak beradab apabila kita terus membahas isu politik di grup ini. Stop dululah. Mari kita fokus berbagi informasi kemanusiaan yang beradab dari saudara-saudara kita yang sedang berduka di Palu dan Donggala," imbau salah seorang anggota WAG politik.
Kita masih Indonesia. Kita masih punya rasa kemanusiaan. Perbedaan tercampakkan oleh masih tebalnya perikemanusiaan kita. Dunia saja bersimpati.
Tidak bisa membantu secara langsung, setidaknya kita berbagi informasi baik dan benar. Berdoa buat mereka kiranya diberi kekuatan memikul derita dan duka laranya, pun sudah cukup.
Rasa dan perasaan kemanusiaan itu pulalah yang menggerakkan berbagai organisasi kemasyarakatan dan kemanusiaan, serta komunitas untuk mengulurkan bantuan. Bahkan mereka langsung bergerak menuju Palu dan Donggala dengan segala tekad.
Kita berharap dan mengimbau, pengiriman relawan hendaknya hanya mereka yang betul-betul memiliki keahlian menangani kedaruratan. Modal dan semangat saja tidak cukup. Apalagi hanya dengan peralatan dan perlengkapan serta perbekalan seadanya.
Jangan sampai mereka tiba di daerah bencana justru menambah kerunyaman penanganan korban. Darurat, serba terbatas, situasi dan kondisi medan serta korban yang serba kacau, adalah persoalan berat yang membutuhkan penanganan cekatan.

Andi Suruji, Pemimpin Umum Tribun Timur
*Tulisan ini dimuat Edisi Cetak, Senin 1 Oktober 2018