OPINI
Opini Syamsuddin Radjab: Jusuf Kalla, Otoritarianisme vs Kepastian Hukum
Penulis adalah staf Pengajar HTN UIN Alauddin Makassar dan Direktur Eksekutif Jenggala Center.
Bentuk pemerintahan otoritarianisme menurut Juan Linz (Richard Shorten, 2012: 256) setidaknya harus memenuhi empat kriteria, yaitu: pertama, keterbatasan akses publik dan kontrol terhadap parpol.
Kedua, legitimasi kekuasaan berdasarkan konsensus rezim. Ketiga, mobilisasi massa dan penindasan lawan politik.
Keempat, dominasi kekuasaan eksekutif (executive heavy) dan regulasi bersifat karet dengan tafsir menurut selera rezim.
Keempat kriteria di atas saat ini sangat mustahil kembali kita alami dengan perubahan fundamental sistem ketatanegaraan setelah amandemen UUDN RI 1945 pada 1999-2002.
Prinsip check and balances antar lembaga negara, penghapusan dwi fungsi ABRI sebagai alat rezim kekuasaan, dan partisipasi luas masyarakat serta perlindungan HAM menjadi indikator kuat tumbuhnya iklim demokrasi yang kian kokoh.
Enam tuntutan agenda reformasi hanya pemberantasan kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) yang terseok-seok jalan penuntasannya karena penyelenggara negara masih dirasuki mentalitas rakus bin serakah.
Revolusi mental ala Jokowi-JK sudah tepat namun dibutuhkan keseriusan dalam pengejawantahannya agar tidak hanya slogan tapi juga perbuatan.
Yang tidak disadari para pengkritik JK adalah bahwa JK dalam kedudukannya sebagai pihak terkait maupun kemungkinan jabatan (lagi) yang dinginkan hanya wakil Presiden dan bukan Presiden.
Kedudukan sebagai wakil Presiden hanya membantu Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan.
Dalam kedudukan itu, bayangan akan bersikap otoriter jauh dari realitas politik bahkan mustahil terwujud, sepanjang Presiden masih ada dan menjalankan kekuasaan itu sesuai dengan sumpah/janji jabatan dan peraturan perundang-undangan.
Tugas dan wewenang Wakil Presiden sangat terbatas tergantung perintah Presiden.
Dalam ketentuan Pasal 4 sampai Pasal 16 UUDN RI 1945 Jabatan wakil Presiden hanya disebutkan saat menjelaskan kedudukannya dengan frasa “dibantu oleh satu orang wakil Presiden”,
Sarat pencalonan, pengajuan pasangan calon, masa jabatan dan pemberhentian jabatan.
Baca juga: Foto-foto Kondisi Korban Gempa Lombok, Banyak yang Masih Menunggu Pertolongan Medis
Baca juga: PPLH Puntondo, Surga Tersembunyi di Teluk Laikang Takalar
Tidak salah, jika ada pandangan yang menyatakan bahwa jabatan wakil Presiden tidak perlu diberikan batasan waktu karena kedudukan dan fungsinya hanya sebagai pembantu Presiden dalam menjalankan kewajibannya sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan negara.
Jadi jangan paranoid jabatan Wakil Presiden akan bertindak laiknya Presiden seperti pada masa pemerintahan rezim Soeharto.
Kepastian Hukum