Refleksi Ramadan
REFLEKSI RAMADAN (15): Dulu Hanya NU-Muhammadiyah, Kini Kontestasi Pengurus Masjid Semakin Banyak
Yang lebih mengkhawatirkan, proses ideologisasi kepengurusan masjid pun sudah mulai terjadi di lingkungan sekolah-sekolah menengah.
Oleh
Wahyuddin Halim
Antropolog Agama UINAM
TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Di Indonesia, kepengurusan masjid menjadi salah satu arena kontestasi dan pintu masuk berbagai ideologi keagamaan ke masyarakat.
Dahulu, masjid-masjid umumnya dapat diidentifikasi hanya dengan dua jenis praktik keislaman: tradisional dan reformis, misalnya, NU dan Muhammadiyah.
Di masjid yang satu berdoa qunut, punya dua azan Jumat, Salat Tarawih dua puluh rakaat dan seterusnya. Yang lainnya, tanpa doa qunut, satu azan Jumat, Salat Tarawih delapan dan seterusnya.
Kini, lebih banyak lagi variasi ritual ditemukan di masjid-masjid. Ini seiring semakin banyaknya organisasi keagamaan baru yang berupaya menanamkan pengaruhnya lewat masjid atau musala.
Sejumlah masjid awalnya dikelola ormas Islam tradisional atau reformis. Belakangan, diambil alih ormas-ormas yang baru muncul.
Ada yang prosesnya secara gradual, yaitu lewat mekanisme musyawarah para jamaah. Ada juga lewat penyediaan imam rawatib, disusul tampilnya dai-dai dari kelompok keagamaan baru. Akhirnya, semua pengurus masjid awal tergantikan sama sekali.
Di masjid atau musala sejumlah perguruan tinggi, kedua proses pengambilalihan personalia kepengurusan juga terjadi.
Saya ingat kasus di satu musala kampus di Makassar. Awalnya, para pengurus terdiri atas mahasiswa lintas afiliasi keagamaan. Karena wawasan keagamaan mereka terbuka, maka kajian-kajian Islam dalam berbagai aspeknya di musala itu cukup aktif. Khatib dan pembicara dari berbagai latar belakang keilmuan dan paham keagamaan.
Belakangan, lewat mekanisme demokratis, kelompok mahasiswa berpaham keislaman konservatif menguasai struktur kepengurusan musala.
Akhirnya, baik praktik ritual keagamaan maupun kajian-kajiannya diwarnai hanya oleh satu jenis paham atau ideologi keagamaan. Pembicara dalam kajian-kajian mereka hanya dari kelompok mereka.
Anehnya, para jamaah musala, yang umumnya mahasiswa dari fakultas-fakultas disiplin keilmuan umum, tidak pernah memprotes proses senyap perubahan struktur kepengurusan tersebut.
Malahan, mereka kemudian tanpa sadar kepincut dan mengikuti paham yang secara sistematis, terstruktur dan masif disebarkan lewat kegiatan-kegiatan pengajian dan kajian di musala tersebut.
Ringkasnya, lewat kepengurusan masjid, sejumlah kelompok keagamaan baru yang lebih militan berupaya memperkenalkan dan menyebarkan paham atau ideologi keislaman mereka.
Selain peran di atas, pengurus masjid juga sebenarnya menentukan kualitas praktik ritual dan dakwah Islam di masjid mereka. Pengurus dengan standar dan selera keagamaan ‘rendah’ akan menghasilkan praktik ibadah dan penyelenggaraan dakwah berkualitas rendah pula di masjid mereka.