Sengketa Pilwali Makassar
Kasasi Ditolak MA, ini 5 Hal yang Harus Dilakukan KPU Makassar
Keputusan MA ini sekaligus menguatkan keputusan hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Makassar (PT TUN) Maret lalu.
TRIBUN-TIMUR.COM - "Amar Putusan No 250 K/TUN/PILK ADA/2018 Dengan Pemohon KPU Kota Makassar dan Termohon 1. MUNAFRI ARIFUDDIN, SH., 2. Drg. A. RACHMATIKA DEWI YUSTITIA IQBAL dinyatakan ditolak," demikian petikan putusan Mahkamah Agung atas kasasi yang diajukan KPU Makassar terkait pembatalan pencalonan Wali kota Makassar Danny Pomanto-Indira Mulyasari.
Keputusan MA ini sekaligus menguatkan keputusan hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Makassar (PT TUN) Maret lalu.
Dengan demikian berdasarkan putusan PT TUN, KPU Makassar selaku penyelenggara Pilwali harus menjalankan terkhusus mendiskualifikasi pasangan Mochammad Ramdhan Pomanto-Indira Mulyasari (DIAmi) sebagai Calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota.
Dalam pembacaan putusan PT TUN terdapat lima poin utama yang harus dijalankan KPU Makassar.
Yakni mengabulkan gugatan penggugat Appi-Cicu.
Menyatakan pembatalan keputusan KPU terkait penetapan pasangan calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Danny Pomanto dan Indira Mulyasari.
Memerintahkan tergugat mencabut keputusan, penetapan pasangan calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota.
Meminta tergugat menerbitkan keputusan pembaruan yang hanya menetapkan Appi-Cicu sebagai pasangan Calon tunggal dan terakhir membebani biaya oerkara kepada tergugat sebesar Rp 319 ribu.
Ini Pasal Penyebab Danny-Indira Didiskualifikasi
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang pemilihan gubernur, bupati, dan walikota menjadi Undang-Undang menjadi mimpi buruk calon wali kota Makassar petahana, Danny Pomanto dan pasangannya Indira Mulyasari.
Atas dasar UU ini pasangan Danny-Indira (Diami) dinyatakan harus didiskualifikasi dari Pemilihan Wali Kota (pilwali).
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN) memerintahkan KPU Makassar mencoret pasangan Diami lantaran dianggap terbukti secara sah dan meyakinkan menyalahi pasal 71 ayat 3.
“Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota dilarang menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon baik di daerah sendiri maupun di daerah lain dalam waktu 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan penetapan pasangan calon terpilih,” demikian bunyi ayat dalam pasal tersebut.
Gugatan yang diajukan tim hukum Appi Cicu setidaknya menyoroti 3 kebijakan Danny sebagai petahana yang dianggap bertentangan dengan pasal itu.
Ketiga kebijkan itu yakni pembangian handphone kepada RT/RW, pengangkatan tenaga kontrak dan penggunaan tagline 2x+baik.
Seperti diketahui Danny membagikan 5.971 Smartphone untuk Ketua RT/RW akhir Desember 2017 lalu.
"Sebenarnya smartphone itu sudah ada sejak Juni 2017. Tapi pembagiannya baru direalisasikan bulan ini (Desember 2017) karena kita melengkapi nomor handphone dan menyiapkan anggaran untuk biaya komunikasi," kata Danny waktu itu.
Begitupun dengan pengangkatan Pegawai Kontrak Kerja Waktu Terbatas (PKKWT) dilakukan Danny Desember 2017 lalu.
Sementara itu, tentang penggunaan tagline Makassar 2X+Baik yang merupakan tagline pemerintah Kota.
Kasus di Boalemo, Gorontalo
Keputusan pencoretan petahana dari kontestasi pilkada ini bukan pertama kalinya.
Pada Pilkada 2017 lalu, Mahkamah Agung memerintahkan pencoretan pasangan inkumben Rum Pagau dan H. Lahmuddin Hambali di Pilkada Bupati Boalemo Provinsi Gorontalo.
Keputusan Mahkamah Agung itu dikeluarkan setelah adanya kasasi dari pasangandari salah satu paslon.
Padahal sebelumnya PT TUN Makassar menolak gugatan Paslon tersebut.
MA menilai Rum Pagau yang mengeluarkan tiga keputusan penggantian pejabat kurang-lebih sebulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon.
Jika Danny terjerat ayat 3, Rum Pagau justru terjerat ayat 2.
Berikut bunyi lengkap pasal 71 UU No 10 tahun 2016 yang terdiri dari 6 ayat:
Pasal 71
(1) Pejabat negara, pejabat daerah, pejabat aparatur sipil negara, anggota TNI/POLRI, dan Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah dilarang membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon.
(2) Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota dilarang melakukan penggantian pejabat 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan kecuali mendapat persetujuan tertulis dari Menteri.
(3) Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota dilarang menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon baik di daerah sendiri maupun di daerah lain dalam waktu 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan penetapan pasangan calon terpilih.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) berlaku juga untuk penjabat Gubernur atau Penjabat Bupati/Walikota.
(5) Dalam hal Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota selaku petahana melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), petahana tersebut dikenai sanksi pembatalan sebagai calon oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota.
(6) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) yang bukan petahana diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.