Jadi Promotor di Unhas, Prof Irawan Yusuf Angkat Bicara Soal Metode 'Cuci Otak' dr Terawan
Mantan Dekan Fakultas Kedokteran Unhas tersebut merupakan promotor dr Terawan saat menyelesaikan pendidikan jenjang doktornya di Unhas
Penulis: Darul Amri Lobubun | Editor: Anita Kusuma Wardana
Prosedur DSA menggunakan kontras untuk memperjelas gambaran pembuluh darah.
Saat prosedur ini dilakukan, pasien diberikan obat heparin untuk mencegah pembekuan darah selama prosedur.
Melalui DSA, kelainan pembuluh darah di otak bisa diketahui.
Setelah itu, pasien akan diberi terapi atau pengobatan yang sesuai dengan kelainannya.
Menurut Hasan, penggunaan dasar DSA sebagai alat terapi stroke harus dibuktikan terlebih dahulu secara ilmiah.
“Dari segi etika kedokteran, tidak dibenarkan (penggunaannya tanpa pembuktian ilmiah).
Kode etik kita sangat berat karena berhubungan dengan kesehatan manusia. Untuk penelitian harus dicoba dulu pada hewan.
Pokoknya sangat ketat karena taruhannya nyawa,” ujar Hasan.
Dokter Spesialis Saraf Fritz Sumantri Usman menambahkan, DSA sudah digunakan sejak lama sebagai alat diagnostik.
Dunia internasional pun hingga saat ini hanya menyetujui DSA sebagai alat diagnostik, bukan untuk pencegahan maupun pengobatan.
Keamanan Selain itu, Fritz juga menjelaskan DSA tidak bisa dilakukan pada sembarangan orang.
"DSA bisa dilakukan apabila sudah terkena serangan stroke berulang. Atau serangan stroke dengan faktor risiko tertentu, seperti kencing manis, jantung, hipertensi, hingga stroke di usia muda," ujar Fritz.
"DSA itu alat diagnosis gold standar untuk membidik kelainan pembuluh darah di otak," lanjut Fritz.
Sebelum DSA, biasanya telah dilakukan pengecekan dengan MRI atau CT
Fritz menambahkan, DSA tidak bisa dilakukan kepada seseorang yang tidak sakit.
Para dokter saraf tidak menyarankan pasien mengikuti terapi cuci otak yang metode dasarnya menggunakan DSA tersebut untuk mencegah terkena stroke atau menyembuhkan.