Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

opini

OPINI Guru SMP Muhammadiyah Belawa: Mendongeng di Era Digital

Seorang Saddam Husein dalam bukunya Man and The City pun menceritakan bagaimana ibunya mendongeng untuknya.

Editor: Jumadi Mappanganro
Dalasari Pera 

Oleh: Dalasari Pera
Guru SMP Muhammadiyah Belawa

Dalam kehidupan sehari-hari, berapa banyak di antara kita yang tanpa sadar menggunakan dongeng sebagai media pembelajaran karakter?

Barangkali banyak orang yang mendongeng karena kesenangan semata, padahal kegiatan ini telah menjadikan kita sebagai seorang investor pendidikan karakter berjangka panjang.

Seorang pendongeng bisa menjadikan Malin Kundang sebagai contoh pentingnya berbakti kepada orang tua atau yang lebih tua, tentang Batu Menangis yang mengajarkan hal yang sama, tentang kebaikan berbuah kebahagiaan dalam dongeng Bawang Merah dan Bawang Putih, dan lain sebagainya.

Sejauh ini, beberapa orang mengaku tumbuh dan dipengaruhi dongeng orang di sekelilingnya. Di antaranya Faisal Oddang (cerpenis), Aan Mansyur (penyair), Mario F. Lawi (penyair), pun HC Andersen (penulis cerita anak terkemuka abad 19) mengaku lahir dari pengaruh dongeng kedua orang tuanya.

Seorang Saddam Husein dalam bukunya Man and The City pun menceritakan bagaimana ibunya mendongeng untuknya.

Dongeng dianggap memiliki kekuatan yang maha dahsyat. David McClelland menyatakan –berdasarkan hasil penelitiannya- bahwa dongeng mengandung the need for achievement yang kemudian dikenal dengan istilah virus “n-Ach”.

BACA JUGA: OPINI Ketua Forum Dai Pangkep: Saatnya Sumbang Umat, Bukan Masjid

BACA JUGA: Opini Kepala SMPN 1 Sengkang: Pendidikan Tanpa Roh

Ia sebutkan virus ini mengandung tiga unsur, yakni 1) optimisme yang tinggi, 2) keberanian untuk mengubah nasib, 3) sikap tidak gampang menyerah.

Ketiganya mampu mendorong anak-anak untuk berbuat lebih baik dan bahkan mampu mengubah sebuah negara dalam 25 tahun ke depannya.

Seiring dengan perkembangan zaman, mendongeng di era digital pada hakikatnya tetaplah menjadi sebuah kebutuhan, karena muatan nilai-nilai moral dan budi pekerti di dalamnya sangat ampuh dan efektif untuk membangun karakter anak-anak tanpa merasa didikte dan dipaksa.

Meski telah memasuki era digital, namun dongeng sesungguhnya tidak pernah ketinggalan zaman.

Dulu dongeng sangat identik dengan tradisi lisan dan tulisan di atas kertas, sedangkan saat ini dongeng telah memasuki zaman gawai.

Orangtua bisa menemukan banyak dongeng dalam bentuk aplikasi dan tontonan di Youtube.

Ceritanya pun tak melulu tentang Cinderella, Maling Kundang, Lebai Malang, dan lain sebagainya. Beberapa waktu yang lalu, Youtube bekerja sama dengan Ayo Dongeng Indonesia menggelar acara #DongengYuk sebagai upaya digitalisasi cerita rakyat Indonesia.

iPusnas bahkan menyediakan banyak dongeng berbentuk e-book gratis.

Di blog serusetiapsaat.com juga tersedia banyak cerita yang sangat menarik untuk didongengkan.

Bukankah ini malah membuat kita jauh lebih mudah untuk mendongeng? Utamanya yang sering beralasan kehabisan/kekurangan buku dan bahan dongeng.

euntungan lainnya, kecenderungan anak untuk menggunakan gawai sebagai alat permainan menjadi berimbang.

Selama ini, banyak orang yang menjadikan gawai sebagai ‘alat penenang’ untuk anak dengan cara menyediakan permainan-permainan di dalamnya.

Akibatnya, banyak anak mengalami kecanduan yang berdampak negatif; obesitas, mata rusak, turunnya kemampuan belajar, dan yang paling utama adalah kecendrungannya untuk menjadi makhluk individualis.

Berbeda jika yang disajikan adalah aplikasi dongeng atau buku cerita, tentu dengan memilih konsep konten yang sesuai dengan umur agar tidak mengganggu nalar berpikirnya serta melakukan pendampingan.

Pada prosesnya, orang tua dan anak tetap bisa melakukan interaksi intrapersonal yang melibatkan sisi emosional keduanya.

Tidaklah benar jika dikatakan bahwa peran orang tua sebagai penutur akan tereduksi jika yang digunakan adalah gawai.

Di sinilah pentingnya peranan orangtua untuk memilih konsep setiap konten pada gawai. Anak pun tidak merasa cepat bosan karena media yang dihadapinya adalah gawai.

Konten menarik dan kebaruan yang ada di dalamnya akan memicu rasa ingin tahu anak. Di sisi lain, mendongeng dengan memanfaatkan gawai secara tidak langsung telah menyelamatkan banyak pohon.

Mendongeng, baik dengan memanfaatkan gawai atau tetap bergaya konvensional, tidak akan mengubah esensi sebuah dongeng, yaitu penanaman nilai-nilai karakter, pengasah imaji dan kepekaan, jembatan komunikasi, pendorong kreatifitas, dan pemantik kegiatan berliterasi.

Yang harus kita lakukan adalah berupaya tidak menggeser dongeng dan menggantikannya dengan permainan digital ataupun dengan tontonan yang tidak layak bagi anak.

Saya tidak mengatakan bahwa itu bukanlah hal baik, permainan digital pun punya sisi positif. Namun, berpeluang mencederai upaya untuk membangun karakter anak, utamanya tanpa pendampingan dan batasan.

Kita tidak perlu bersusah payah melawan arus untuk mempertahankan upaya membangun generasi masa depan.

Sebaliknya, kita harus mengikuti arus dan memanfaatkannya untuk mencapai tujuan, termasuk memanfaatkan teknologi digital. Membangun generasi masa depan memang bukan pekerjaan mudah.

Sediakan semua bahan sebelum bekerja; siapkan sejak dini dongeng bermuatan karakter positif dan mendidik, siagakan orang tua yang telaten dan tekun, sediakan lingkungan masyarakat yang bisa membentuk dunia imajiner dan logikanya secara berimbang sehingga memacu kreatifitas anak. (*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved