Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

7 Fakta Tentang Abu Hamzah, Ke 1, 2 & 4 Menyedihkan dan Lucu, yang 9 Mencengangkan

Ayahnya meninggal dunia ketika usia Hamzah masih 9 tahun. Ia pun dibesarkan oleh saudara ayahnya.

Penulis: Muhammad Fadhly Ali | Editor: AS Kambie
TRIBUN TIMUR/MUHAMMAD ABDIWAN
Bos AbuTours, Muhammad Hamzah 

Hamzah bangkrut. Coto Makassar yang dia rintis tutup.
"Saya dan istri pun berniat hijrah. Jakarta menjadi pelabuhan saya. Meski saya tidak tahu bakal tinggal dimana di sana. Namun keyakinan untuk berhijrah pun saya lakukan bersama istri dan anak saya yang pertama berusia 12 hari," katanya.

Tekad Hamzah sudah bulat. Uang Rp 1,3 dia gunakan membeli dua tiket kapal laut, Rp 500 ribu. Sisanya dipakai untuk sewa kontrakan dan makan nantinya di ibu kota negara.

"Dua hari dua malam kami di kapal. Hanya makan dan minum pembagian dari kapal untuk kelas ekonomi," ujar lelaki yang tidak tamat di jurusan Teknik Mesin UNM itu.

Singkat cerita, ia dan istri sampai di pelabuhan Tanjung Priok. Ketika turun, keduanya bingung mau ke mana.
"Alhamdulillah, pas turun dari kapal, saya dan istri duduk sebentar di terminal penumpang. Tiba-tiba saya ingat teman sekolah di SMA Tamalate di Makassar, namanya Alfian yang berprofesi sebagai juru parkir," jelas Hamzah.

Hamzah menelepon Alfian. Syukur ada respons. "Halo Alfian di manako, Kawan? Waduh adaka di Jakarta ini, samaka istriku, mauka ke tempatmu nah. Sekalian saya cari-cari kerjaan di sana," kata Hamzah menirukan perbicangannya via handphone kala itu.

Alfian pun mengajak ke rumahnya yang berada di daerah Pasar Ikan Morangke. Hal lucu, ketika ia melewati kanal menuju rumah temannya dengan kendaraan bajai super ribut.

"Ta'bangai itu istriku pas lewat kanal, duh rantasanya di sana, baunya lagi. Istiriku bilang, ini mi Jakarta ayah? Ka lebih bagus di Makassar meki," ujarnya dengan logat Makassar kental.

Sesampai di rumah Alfian, ia inap di rumah yang ukurannya kecil. Cukup untuk lima orang saja. Namun, temannya itu mempersilakan Hamzah, istri, dan bayinya tinggal.

Muh Hamzah Mamba hanya sepekan jual ikan di Muara Angke, Jakarta, 2007. Bukan“bau pesing” membuat Hamzah “angkat basket” dari bekas perkampungan yang didirikan Arung Palakka dan pasukan Bugis dari Kerajaan Gowa itu.

Hamzah, yang baru sepekan hijrah ke Jakarta dari Makassar setelah jualan Coto Makassar, tidak tahan jual ikan karena tak tega berebut pelanggan. Hati kecilnya tak terima jika hanya gegara uang Rp 50 ribu saja saja seperti harus merelakan nyawa memperebutkan pembeli.

"Saat itu saya menjual es teler kembali. Hahaha back to es teler lagi deh. Luar biasa perjuangan kala itu, bayangkan saya jualan dari Morangke ke Masjid Istiqlal. Saya dorong itu gerobak. Namun Alhamdulillah omzet bisa Rp 100 ribu per hari," jelas Hamzah.

Namun hidup dengan uang segitu di Jakarta cuma cukup makan dan biaya kontrakan. Apalagi ia merasa tidak enak dengan temannya yang rumahnya dihinggapi.

"Enam bulan saya jualan es teler dengan gerobak. Namun tidak sengaja saya lewat di markas TNI AL Marinir Cilandak. Saya bertemu keluarga yang seperti saudara kandung saya sendiri," ujar anak tunggal itu.

Hamzah panggil dia kakak, anggota TNI berpangkat Kopral merasa tersentuh melihat kerjaannya kala itu. Ia pun memberi jalan keluar, dengan meminjamkannya modal sekitar Rp 10 juta.

"Alhamdulillah kakak saya itu memberi modal untuk berjualan di dekat markas TNI. Lebar lokasinya 3 meter kali 3 meter. Tidak susah lagi saya mendorong gerobak. Usahanya tetap es teler," beber anak yatim piatu diusia 9 tahun itu.
Ia pun pamit dengan Alfian sahabatnya. Dan mencari kontrakan di dekat lokasi usahanya.

Halaman
1234
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved