Bantah Humas Unhas, Ini Kronologi Pemasangan Poster 'Kampus Rasa Pabrik' hingga Ada Hukuman Skorsing
Jadi ada barang bukti pilox baru. Namun kata Rezki, pilox tersebut tidak pernah digunakan dan justru itu dijadikan prasangka dan legitimasi
Penulis: Munawwarah Ahmad | Editor: Anita Kusuma Wardana
TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR- Skorsing terhadap dua mahasiswa program studi (Prodi) Hubungan Internasional (HI) Universitas Hasanuddin (Unhas),menyita banyak perhatian belakangan ini. Apalagi skorsing tersebut hingga dua semester.
Namun dua cerita berbeda tersaji dari kasus tersebut. Pihak Unhas melalui humasnya menyampaikan, Rezki Ameliyah Arief dan Mohammad Nur Fiqri angkatan 2015, diskorsing lantaran keduanya telah melanggar peraturan kampus.
"Kedua mahasiswa ini diskorsing bukan karena poster "kampus rasa pabrik". Mereka diskorsing karena melanggar tata tertib kehidupan kampus,"kata Humas Unhas, Ishaq Rahman.
Baca: BREAKING NEWS: Skorsing Dua Mahasiswa Unhas Dicabut
Namun lain pengakuan Rezki. Kepada tribun-timur.com, Rezki bercerita tentang kronologi kejadian.
"Jadi kami pada tanggal 18 Januari itu mau menempel poster bertajuk kampus rasa pabrik di sekitaran lingkup Unhas, tujuannya adalah mengekspresikan kegelisahan dan kegalauan kami liat sistem pendidikan di kampus yang nyatanya sudah serasa pabrik. Bukan mengapa penetrasi kapitalisme pasca fordis membuat kampus menjadi bak pabrik untuk memproduksi buruh immaterial yang komoditinya adalah pengetahuan. Namun pas kami mau menempel poster di parkiran baruga, ada skitar 6 satpam yang menyergap dan menyuruh kami ikut ke kantor mereka. Setelah itu kami di wawancarai dan ditanyai dengan nada intimidatif. Begitu terus silih berganti sampai pukul 07.30 wita,"jelas Rezki via Whattsapp.
Lanjut Rezki, pada pukul 07.30 wita ada lagi orang yang terlihat seperti tukang cat yang menanyai Rezki dan Rifqi dengan nada intimidatif dan ucapan yang tak sopan.
"Dia maju memukul wajah Fiqri dengan punggung tangan dan dijewer. Entah motifnya apa dia begitu. Setelah itu kembali orang-orang silih berganti bertanya sampai jam 09.30 wita. Dan pada pukul 10.00 wita, kami ke ruangan pak WR 3. Disitu kami diceramahi dan dituduh melakukan corat-coret padahal pilox yang kami bawa masih baru,"tambah Rezki.
Jadi tuduhan corat-coret tersebut, kata Rezki, hanya atas dasar prasangka dan atas laporan satpam. Hingga pihak kampus menjatuhkan hukuman skorsing 2 semester tertanggal 22 Januari, namun baru diterima Rezki dan Fiqri pada 31 Januari 2018.
Dalam surat skorsing tersebut, keduanya terindikasi mendapatkan pelanggaran sedang akibat tuduhan corat-coret.
"Padahal kami tidak corat-coret namun pada tanggal (18/1/2018) pas ketemu WR 3 sekaligus sidang Komdis dan kami dilarang mengklarifikasi,"tambah Rezki.
Jadi ada barang bukti pilox baru. Namun kata Rezki, pilox tersebut tidak pernah digunakan dan justru itu dijadikan prasangka dan legitimasi atas tuduhan pasal 7 ayat 8.
Rezki pun menyayangkan langkah Unhas memberinya skorsing. Mereka pun melayangkan banding dan memaparkan kronologi yang sebenarnya dan pada akhirnya skorsing keduanya dicabut.
"Jadi hukuman dari sedang dengan sanksi 2 semester dicabut. Andai dari awal disuruh klarifikasi mungkin tidak ada SK tersebut, karena konsekuensi dari adanya SK skorsing itu banyak,"lanjut Rezki.
"Tetap berjuang dan terus berlipat ganda. Panjang umur semangat baik,"pesan Rezki.
Baca: Humas Unhas: Dua Mahasiswa Diskorsing Bukan Karena Poster Tapi Karena Ini
Di akun facebooknya, Humas Unhas, Ishaq Rahman menjelaskan, alasan Unhas menskorsing dua mahasiswanya, ini lengkapnya:
Unhas tidak pernah membatasi kebebasan berekspresi di Kampus. Sebelumnya, kedua mahasiswa ini diskorsing karena dinilai melanggar tata tertib kehidupan kampus, pasal 7 ayat (2), ayat (4) dan ayat (8).
Skorsing tersebut sama sekali tidak berkaitan dengan sikap kritis mereka, tidak berkaitan dengan isi poster yang mereka tempelkan. Jika Anda jalan-jalan di Kampus Unhas, Anda bisa temukan poster-poster lain yang lebih kritis dari yang ditempel Amel dan Fikri.
Kenapa skorsing dijatuhkan?
Amel dan Fikri menempel poster pada pukul 02.00. Ketika diketahui oleh satpam kampus, mereka berusaha melarikan diri. Satpam "menangkap" keduanya setelah saling berkoordinasi antara posko satu dengan posko lainnya.
Tentu saja, satpam mengira keduanya ingin berbuat jahat, mungkin mencuri, atau mungkin merusak, atau mungkin berbuat asusila di kampus. Waktu itu jam 02.00 dini hari. Maka, sanksi serta-merta diberikan.
Sesuai mekanisme, keduanya mengajukan banding. Dalam sidang banding, keduanya terbukti melanggar pasal 7 ayat (2), yaitu melakukan aktivitas di kampus pukul 22.00 - 06.00 tanpa seijin pimpinan universitas, dan juga ayat (4) menempel dan memasang iklan, spanduk, dan semacamnya tanpa ijin. Sementara untuk dugaan pelanggaran pasal 7 ayat (8) melakukan coret-coret, perusakan, sarana kampus terdapat perdebatan tentang pembuktiannya, atau tidak dapat dibuktikan utuh. Kedua mahasiswa tidak mengakuinya.
Kampus Unhas adalah lembaga pendidikan. Berhubung kedua mahasiswa telah mengakui pelanggaran yang dilakukan, menyesali perbuatannya, dan berjanji tidak akan mengulangi lagi, maka Unhas menyatakan mencabut skorsing.
Sebagai Humas Unhas, saya ingin menyampaikan sekali lagi (saya sampaikan disini untuk melengkapi keterangan pers yang sudah saya berikan): bahwa di Unhas tidak ada pembatasan kebebasan berpendapat. Justru kampus sangat mendukung dan memberi ruang bagi lahirnya gagasan-gagasan kritis. Peradaban hanya tumbuh dan berkembang karena dialog, diskusi dan debat. Untuk itu, gagasan kritis dibutuhkan.
Sebagai dosen Amel dan Fikri, akhir-akhir ini kita jarang bertemu. Tapi saya ingin sampaikan, teruslah menulis. Jangan kasus ini menghentikan asumsi kalian bahwa "Kampus Unhas sekarang Rasa Pabrik". Paparkan fakta dan datanya, analisa dengan jernih, simpulkan. Tapi jangan lupa untuk menawarkan solusi. Di luar sana, terlalu banyak orang yang menghujat kegelapan. Saya berharap kalian adalah sosok-sosok yang menyalakan lilin.
Kampus kita memang bukan kampus yang sempurna. Tapi kita sedang dan terus berbenah.(*)