Klakson
Ambisi
Kian dekat pemilihan, ambisi itu kian padat merebak. Seakan tak ada celah untuk kita lari darinya.
Oleh: Abdul Karim
Kita simak ambisi membuncah dimana-mana. Tumpah ruah dengan derasnya. Dan kitapun terpekur, lalu cemas.
Kita cemas sebab orang-orang dengan semangat bergairah berlomba mempertontonkan ambisinya.
Ambisi untuk kekuasaan dan ambisi untuk menyokong para pecinta kekuasaan. Seolah tak ada penghalangnya, tak ada pengendalinya.
Parade pun digelar disetiap sudut. Parade tentang bekal dan cara mewujudkan ambisi itu.
Parade itu berlangsung ditengah atau sudut-sudut kota yang padat, hingga ujung pelosok kampung yang sunyi.
Ada suara yang menggelegar. Ada gambar yang bertaburan dan seolah mencengkram, bahkan menghantui.
Kita seakan tersudut, dan seringkali bersungut-sungut dengan keadaan itu.
Tetapi kita tak mampu mengelak. Sebab ambisi itu datang menyergap setiap jelang pemilihan.
Kian dekat pemilihan, ambisi itu kian padat merebak. Tak ada celah untuk kita lari darinya, bahkan celah seluas lubang tikus sekalipun kita tak temukan.
Kita lalu berhamburan berperan mensukseskan ambisi para pecinta kekuasaan itu. Entah peran kecil, entah peran akbar.
Mula-mula kita dididik untuk fasih mengeja kata “perjuangan”, “demi rakyat”, “demi kesejahteraan” dan sejumlah kata yang menggetarkan jiwa.
Lalu kita dianjur kesana-kemari membujuk keluarga, merayu tetangga, kerabat, dan mengiming-iming sekampung.
Sementara para pecinta kekuasaan kesana-kemari mencari jalan lain untuk tiba dipuncak. Kadangkala jalan yang ditempuh jalur rute pintas dengan senyap.
Tak sudi melewati jalan berbelok-belok rimbun aturan. Di sini, “yang boleh” meleleh, “yang tak boleh” seolah absah, sebab laris diperagakan.