Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

OPINI: 3 Hal yang Mencemaskan Demokrasi Lokal, yang Pertama Disebut Fatal!

Penggunaan identitas keagaaman dalam praktik politik dan pemerintahan tentulah sangat keji. Kesucian agama dimanfaatkan untuk kepentingan pragmatis.

Editor: AS Kambie
zoom-inlihat foto OPINI: 3 Hal yang Mencemaskan Demokrasi Lokal, yang Pertama Disebut Fatal!
dok. tribun
Direktur Eksekutif Lembaga Advokasi & Pendidikan Anak Rakyat (LAPAR) Sulsel

Oleh: Abdul Karim
Direktur Lembaga Advokasi dan Pendidikan Anak Rakyat (LAPAR) Sulsel

TRIBUN-TIMUR,COM, MAKASSAR - Sedikitnya tiga alasan mengapa demokrasi lokal di Sulsel mencemaskan.

Pertama, politik identitas keagamaan cenderung muncul lagi diatas panggung politik lokal kita. Dipicu oleh momentum pilkada DKI Jakarta tahun lalu. Politik identitas itu mengalir jauh hingga ke tanah Sulawesi Selatan ini.

Penggunaan identitas keagaaman dalam praktik politik dan pemerintahan tentulah sangat keji. Sebab kesucian agama dimanfaatkan untuk kepentingan pragmatisme politik. Ketika gerakan 212 dihelat di Jakarta tahun lalu, gerakan itu dihelat pula di Sulawesi Selatan. Bahkan sebagian masyarakat Sulsel turut pula ambil peran dalam gerakan 212 di Jakarta.

Gema gerakan 212 tahun lalu sangat membekas di Sulawesi Selatan. Gerakan itu menggoyang sebagian masyarakat Sulsel untuk turut berpartisipasi menggelar gerakan serupa di kota Makassar. Partisipannya, tidak saja kalangan masyarakat bawah.

Sebagian pula adalah kalangan politisi, akademisi, mahasiswa, dan pejabat pemerintahan.
Politik identitas yang dibungkus aksi solidaritas itu tampil dengan mengatasnamakan ‘ummat’ dengan janji pahala.

Fatalnya, gerakan itu cenderung bersikap ‘anti’ pada yang lain. Agama dijadikan alat strategis untuk mengutuk, menghardik bahkan menyingkirkan yang lain demi dukungan politik yang diimpikan. Tentu kondisi itu sangat membahaykan bagi upaya penciptaan demokratisasi yang berkualitas.

Kedua, fenomena parpol yang gagal mengemban misi demokratisasi. Sepanjang 2017 ini kita saksikan bagaimana politik dijalankan semena-mena. Disebut semena-mena sebab tindakan politik dilakukan dengan melabrak norma-etik. Kita tangkap makna ini setahun penuh.

Rakyat dimobilisasi mendukung kandidat tertentu dengan membangun penajaman kompetisi dukungan tanpa memberi didikan tentang perbedaan dukungan politik sebagai sesuatu yang sehat dialam demokrasi.

Dalam pemberian dukungan kandidat pilkada, parpol tampak mengalami perubahan. Tetapi sayangnya perubahan-perubahan itu tak mengarah pada penguatan demokratisasi, melainkan hanya lebih sebagai aksi meraih simpati publik atau justeru hanya melahirkan kebingungan publik, hingga akhirnya tertutup ruang bagi publik untuk memberi penilaian pada bakal calon kandidat pilkada yang diusung parpol.

Kita bisa saksikan itu misalnya dalam test and propert test bakal calon kandidat pilkada yang dilakukan parpol. Hampir semua parpol melakukan agenda itu. Tetapi agenda itu tertutup bagi publik, sehingga dapat disimpulkan agenda itu bukan sebagai cara parpol untuk menjaring calon pemimpin.

Bisa pula kita simak misal lain. Melambannya parpol dalam memberi dukungan politik pada bakal calon kandidat pilkada bukanlah upaya yang baik untuk membangun kecerdasan politik warga. Sebab, berkonsekwensi pada durasi waktu yang pendek bagi publik untuk menilai bakal kandidat yang diusung parpol dalam pilkada diujung waktu.

Di ruang lain, kita simak rakyat sebenarnya mengalami krisis ketidakpercayaan pada lembaga-lembaga demokrasi formal seperti pemerintah, DPRD, dan parpol. Mereka lebih memilih ormas atau NGO sebagai tempat mengadukan segala jenis persoalannya. Dengan kondisi ini, kita dapat menyebut bahwa terjadi "depemerintahisasi--deparlamentisasi--deparpolisasi" pada rakyat.

Sebab, aneka persoalan yang mereka hadapi seharusnya diadukan dan disolusikan kepada dan oleh lembaga-lembaga demokrasi itu (pemerintah, DPRD, parpol).

Ketiga, kerapuhan masyarakat sipil. Kontrol masyarakat sipil pada penyelenggaraan pemerintahan di tingkat lokal terlihat rapuh sepanjang 2017 ini. Tentu realitas ini sangat mencemaskan kita dalam upaya penguatan demokratisasi.

Halaman
12
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved