Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

opini

Pilkada dan Kepalsuan Berdemokrasi

Di Sulsel, pilkada tampak sebagai agenda elite politik. Kita kering argumentasi menyebutnya sebagai agenda publik.

Editor: Jumadi Mappanganro
zoom-inlihat foto Pilkada dan Kepalsuan Berdemokrasi
dok. tribun
Direktur Eksekutif Lembaga Advokasi & Pendidikan Anak Rakyat (LAPAR) Sulsel

Anehnya, “manuver” seakan sebuah metode politik yang dianggap wajar, pantas. Inilah tugas berat pilkada dan demokrasi; menegakkan kebenaran secara etik-moral ditengah kerumunan penyimpangan perilaku politik.

Apa akibatnya? Di lapis bawah masyarakat mengerang kepedihan, sengsara, dan terlunta-lunta hidupnya pasca pilkada ditunaikan.

Kesejahteraan tak kunjung merambat naik. Mengapa begitu?

Sebab struktur APBD daerah umumnya cenderung membengkak pada sisi pegeluaran rutin pejabat dan birokrasi ketimbang pada sisi pengeluaran pembangunan untuk kesejahteraan rakyat.

Biaya renovasi toilet kepala daerah diutamakan dibanding pembangunan Puskesmas di kawasan pedesaan.

Biaya pengadaan kendaraan baru—dengan argumen untuk pelayanan—atau biaya pergantian meja, kursi dan alat kantor lainnya yang sesungguhnya masih layak, didahulukan dibanding pengadaan air untuk pertanian.

Pokok kata, APBD sebagai anggaran pembangunan gemuk ke atas, kurus ke bawah, ke masyarakat yang telah memberi hak pilihnya saat pilkada.

Kepalsuan-kepalsuan seperti itu sebaiknya diakhiri agar masyarakat dilapis bawah merasakan makna positif dari pilkada.

Para elit mesti berfikir baik—benar, bahwa mereka ada karena masyarakat, mereka dipilih karena demokrasi. Karena itu, tak sewajarnya demokrasi diapresiasi dengan berbagai kepalsuan. (*)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved