opini
Pilkada dan Kepalsuan Berdemokrasi
Di Sulsel, pilkada tampak sebagai agenda elite politik. Kita kering argumentasi menyebutnya sebagai agenda publik.
Anehnya, “manuver” seakan sebuah metode politik yang dianggap wajar, pantas. Inilah tugas berat pilkada dan demokrasi; menegakkan kebenaran secara etik-moral ditengah kerumunan penyimpangan perilaku politik.
Apa akibatnya? Di lapis bawah masyarakat mengerang kepedihan, sengsara, dan terlunta-lunta hidupnya pasca pilkada ditunaikan.
Kesejahteraan tak kunjung merambat naik. Mengapa begitu?
Sebab struktur APBD daerah umumnya cenderung membengkak pada sisi pegeluaran rutin pejabat dan birokrasi ketimbang pada sisi pengeluaran pembangunan untuk kesejahteraan rakyat.
Biaya renovasi toilet kepala daerah diutamakan dibanding pembangunan Puskesmas di kawasan pedesaan.
Biaya pengadaan kendaraan baru—dengan argumen untuk pelayanan—atau biaya pergantian meja, kursi dan alat kantor lainnya yang sesungguhnya masih layak, didahulukan dibanding pengadaan air untuk pertanian.
Pokok kata, APBD sebagai anggaran pembangunan gemuk ke atas, kurus ke bawah, ke masyarakat yang telah memberi hak pilihnya saat pilkada.
Kepalsuan-kepalsuan seperti itu sebaiknya diakhiri agar masyarakat dilapis bawah merasakan makna positif dari pilkada.
Para elit mesti berfikir baik—benar, bahwa mereka ada karena masyarakat, mereka dipilih karena demokrasi. Karena itu, tak sewajarnya demokrasi diapresiasi dengan berbagai kepalsuan. (*)