opini
Pilkada dan Kepalsuan Berdemokrasi
Di Sulsel, pilkada tampak sebagai agenda elite politik. Kita kering argumentasi menyebutnya sebagai agenda publik.
Oleh: Abdul Karim
Direktur Eksekutif LAPAR Sulsel
TAHAPAN pilkada serentak 2018 dalam beberapa pekan terakhir kita simak telah berjalan. KPU Sulsel dan Bawaslu Sulsel mulai bekerja untuk itu. Terutama sosialisasi, gencar dilaksanakan di ruang-ruang publik.
Sementara jauh sebelum itu, kita saksikan sejumlah aktor politik gencar pula di lapangan.
Tentu kita semua setuju pilkada serentak ini adalah sebuah upaya demokratis dalam rekruitmen kepemimpinan dilevel lokal. Ia juga merupakan kiat untuk menjamin berlangsungnya sirkulasi kekuasaan diaras lokal secara demokratis.
Yang tak kalah pentingnya, pilkada adalah rangkaian cara konstitusional bagi masyarakat untuk mencari pemimpin berkualitas, dalam arti memiliki mutu integritas dan moralitas yang layak, dan memiliki mutu kompetensi SDM yang pantas.
Dengan demikian, pilkada adalah agenda masyarakat, panggung bagi masyarakat. Masyarakat adalah pemilik panggung itu. Mereka boleh saja mementaskan berbagai hal tentang pilkada diatas panggung itu sepanjang relevan dengan konstitusi.
Dengan kata lain, otoritas masyarakat dalam pilkada tidaklah kerdil. Soalnya kemudian, apakah pilkada kini seperti itu?
Di Sulsel, pilkada tampak sebagai agenda elite politik. Kita kering argumentasi menyebutnya sebagai agenda publik.
Durasi pilkada yang demikian panjangnya, justeru dimonopoli oleh elit. Otoritas masyarakat hanya sehari saja, saat pemungutan suara.
Pilkada telah diringkus oleh elit, diapresiasi dengan rupa-rupa, namun sempit ruang bagi masyarakat.
Laksana pasar, pilkada sepi pembeli, namun ramai penjual dengan riuh-rendah masing-masing.
Fatalnya, dalam situasi seperti itu berbagai laku para aktor politik yang sesungguhnya tak lebih sekedar artifisial saja, dan kontra produktif dengan nilai substansi demokrasi. Ironisnya, laku itu seringnyapun jauh dari aspek moralitas-akhlak yang baik.
Pada pemasangan alat peraga seperti baliho misalnya, kejujuran kian tak terpancar pada gambar terang itu. Baliho-baliho itu laksana perang kebohongan.
Di sini, kebohongan menjadi laku berjamaah. Mereka tak jujur dari awal. Menyebar baliho dengan bunyi yang sesungguhnya kontras dengan kenyataan dirinya selama ini.
Kita simak di baliho-baliho itu, ada yang menuliskan tema-tema seperti; “hendak memperjuangkan rakyat”, “mensejahterahkan rakyat”, “mengusung kemanusiaan”, “pembaharuan”, dan bunyi-bunyi perubahan lainnnya.
Padahal, sepak terjang mereka selama ini tak demikian adanya. Sepak terjangnya selama ini sama sekali tak mencerminkan bunyi kalimat di balihonya.