opini
Ini Keuntungan dari Bonus Demografi dan Revitalisasi Program Keluarga Berencana
Bonus demografi adalah keuntungan yang bisa dinikmati suatu negara sebagai akibat dari besarnya proporsi penduduk produktif (usia 15-64 tahun)
Oleh: Sudirman Nasir
Dosen/Peneliti di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hanasanuddin.
Bonus demografi dan program Keluarga Berencana (KB) adalah dua hal yang saling terkait. Penguatan program KB akan mendorong optimalisasi keuntungan bonus demograsi. Banyak ahli memperkirakan Indonesia berpeluang menikmati bonus demografi ini selama sekitar 24 tahun yakni antara tahun 2012 sampai 2035.
Bonus demografi adalah keuntungan yang bisa dinikmati suatu negara sebagai akibat dari besarnya proporsi penduduk produktif (rentang usia 15-64 tahun) dalam evolusi kependudukan yang dialaminya.
Jumlah penduduk produktif itu lebih besar dibandingkan jumlah penduduk berusia di bawah 15 tahun atau di atas 65 tahun, penduduk yang umumnya belum atau tidak lagi produktif.
Dengan demikian jumlah orang-orang yang harus ditanggung secara ekonomi menjadi lebih sedikit sehingga potensil meningkatkan produktifitas nasional yang pada gilirannya akan mendorong tingkat kesejahteraan masyarakat.
Namun bonus demografi akan sulit dioptimalkan di Indonesia bila laju pertumbuhan penduduk dan kualitas sumber daya manusia kita masih seperti kondisi saat ini.
Pencapaian bonus demografi memang mutlak membutuhkan revitalisasi program Keluarga Berencana. Program ini adalah investasi strategis jangka menengah dan jangka panjang serta akan memberi manfaat besar bagi terbentuknya generasi muda yang berkualitas.
Karena itu sosialisasi penggunaan alat kontrasepsi jangka panjang, pemasangan alat kontrasepsi bagi kalangan usia subur menjadi sangat penting.
Ini mengingat pertumbuhan penduduk Indonesia yang masih tinggi yakni mencapai 1,32 persen yang menunjukkan masih perlunyabanyak langkah nyata menyukseskan program Keluarga Berencana. Indonesia jelas menghadapi tantangan sangat berat jika laju pertumbuhan penduduk di atas tidak dikendalikan.
Selain itu, angka kesuburan total (jumlah rata-rata anak yang dilahirkan perempuan dalam usia subur, dalam rentang umur 15-49 tahun) kita masih tinggi yaitu 2,6, stagnan sejak tahun 2011.
Dengan laju pertumbuhan penduduk dan angka kesuburan total seperti itu maka diperkirakan jumlah penduduk Indonesia akan mencapai 321 juta jiwa pada tahun 2025 yang akan membebani perekonomian negara dan juga menimbulkan dampak buruk bagi keluarga dan individu (khususnya kalangan perempuan).
Data 2015 menyebutkan pula bahwa dari 67 juta keluarga, 46 juta diantaranya adalah pasangan usia subur yang berati ada 46 juta keluarga yang harus dilayani baik untuk program Keluarga Berencanan maupun pembangunan keluarga.
Memberikan layanan Keluarga Berencana terhadap pasangan usia subur sebanyak itu tentu bukan masalah gampang.
Seiring dengan pertambahan jumlah penduduk Indonesia yang kini hampir menyentuh angka 250 juta sementera jumlah PLKB (penyuluh lapangan keluarga berencana) kita malah berkurang jauh menjadi hanya sekitar 15 ribu orang saat ini.
Apalagi karena lebih satu dasawarsa kebijakan desentralisasi yang telah melemahkan kewenangan BKKBN sementara sebagian besar pemerintah daerah belum memprioritaskan program Keluarga Berencana.
Akibat stagnasi program Keluarga Berencana di atas maka banyak dampak negatif yang kita alami seperti angka kematian ibu (AKI) yang masih tinggi yaitu 359 orang per 100.000 kelahiran hidup, salah satu yang tertinggi di Asia Tenggara.
Target Millenium Development Goals (MDGs) yang berakhir tahun 2015 lalu untuk menurunkan angka kematian tersebut tidak tercapai.
Perempuan yang hamil di usia dini (kurang dari 19 tahun), memiliki jarak melahirkan yang terlalu dekat, memiliki jumlah anak yang lebih dari dua orang atau hamil dan melahirkan di umur lebih dari 35 tahun memiliki risiko lebih besar untuk mengalami kesakitan, komplikasi dan kematian terkait dengan kehamilan dan persalinan.
Pertumbuhan ekonomi
Banyak penelitian memperlihatkan bahwa pengendalian dan pengaturan jarak antar kelahiran bukan saja memungkinkan keluarga meningkatkan kualitas hidup keluarga, memungkinkan keluarga menabung untuk pendidikan dan kesejahteraan keluarga, tetapi juga berperan mendorong pertumbuhan ekonomi.
Dengan jumlah anak yang lebih sedikit, pendidikan dan kesehatan generasi mendatang akan menjadi lebih baik yang pada akhirnya membuat kualita sumber daya manusia meningkat.
Jose G Rimon II dari “Bill & Melinda Gates Insititute for Population and Reproductive Health, Johns Hopkins Bloomberg School of Public Health”, misalnya menyatakan bahwa sepertiga pertumbuhan ekonomi negara-negara di kawasan Asia Tenggara adalah sumbangan program KB.
Ia menyebut pula hasil penelitian yang menunjukkan bahwa investasi pada program KB sebesar 1 dollar AS akan menghasilkan 120 dollar AS. Mulai terlihatnya komitmen pemerintah untuk merevitalisasi program KB adalah sesuatu yang menggembirakan.
Inisitiaf pemerintah seperti terlihat pada inisiatif BKKBN mendorong setiap kabupaten/kota di Indonesia memiliki satu Kampung KB adalah langkah penting.
Namun untuk lebih optimal lagi, terutama dalam konteks desentralisasi saat ini, pemerintah pusat dan masyarakat luas (termasuk media massa, tokoh-tokoh masyarakat dan tokoh-tokoh agama) harus mengadvokasi pemerintah daerah hingga di tingkat pemerintah desa (termasuk dalam konteks kita di Sulawesi Selatan) untuk lebih memprioritaskan program strategis ini.(*)