opini
Dilecehkan Ketua DPRD, Dokter Gigi: Apa Salahnya Kami
Pernyataan seorang ketua DPRD bahwa dokter gigi tidak pantas untuk menempati jabatan kepala rumah sakit merupakan pernyataan tendensi
Oleh: Drg Rustan Ambo Asse
Mahasiswa Program Pendidikan Dokter Gigi Spesialis Prostodhonsi Universitas Hasanuddin
PRAHARA kata-kata dari mulut seorang Cornelis Buston, sepertinya hanya menambah deretan catatan sejarah bahwa betapa seorang pejabat publik dengan status sebagai ketua DPRD sekalipun tak juga menjadi jaminan untuk memberikan cerminan kualitas sebagai wakil rakyat.
Di negeri yang permai ini dengan arus globalisasi yang membebaskan barangkali akan terancam kehilangan identitas saling menghormati, tenggang rasa satu sama lain ketika hukum hanya diam dan memberikan respon pembiaran terhadap oknum-oknum pejabat yang kerap mengeluarkan pernyataan pro kontra, tidak bertanggung jawab dan tanpa landasan hukum yang jelas.
Pernyataan Ketua DPRD Jambi, Cornelis Buston, bahwa dokter gigi tidak pantas untuk menempati jabatan kepala rumah sakit merupakan pernyataan tendensius sekaligus merendahkan martabat profesi dokter gigi.

Jika pertunjukan arogansi semacam ini masih tumbuh subur di negeri ini, maka kelak pada masa yang akan datang seorang pejabat publik dapat sewenang-wenang melecehkan profesi apapun tanpa memiliki dasar dan objektivitas terhadap suatu permasalahan.
Somasi PDGI
Somasi yang dilayangkan oleh PB PDGI pada 26 Agustus 2017 yang menuntut Ketua DPRD Jambi meminta maaf dalam kurun waktu 3x24 jam kembali mendapat respon dingin oleh Cornelis Buston (CB).
Logika berfikir yang berbelit-belit dengan sekumpulan retorika itu melahirkan kesimpulan sikap yang depensif tanpa sedikit memiliki kerelaan dan kesadaran fitrawi bahwa siapapun di dunia ini dapat dengan ikhlas meminta maaf jika telah berbuat salah.
Seorang CB mestinya memahami bahwa menyatakan seorang dokter gigi tidak pas menduduki jabatan kepala rumah sakit merupakan argumentasi premature dan overgeneralisasi.
BACA JUGA: Transformasi Kepemimpinan PDGI
Sementara regulasi yang ada menetapkan dan termaktub dalam Undang-Undang RI Nomor 44 tahun 2009 pasal 34 ayat 1 yaitu kepala rumah sakit harus seorang tenaga medis yang mempunyai kemampuan dan keahlian di bidang perumahsakitan.
Peraturan Pemerintah RI Nomor 18 tahun 2016 tentang Perangkat Daerah Pasal 94 ayat (9) menyatakan "Kepala unit pelaksana teknis daerah provinsi yang berbentuk rumah sakit daerah provinsi dijabat oleh dokter atau dokter gigi yang ditetapkan sebagai pejabat fungsional dokter atau dokter gigi dengan diberikan tugas tambahan".
Juga dikuatkan dengan surat edaran oleh komisi akreditasi rumah sakit nomor 861 tahun 2017 poin (1) Rumah sakit dipimpin oleh tenaga medis (dokter/dokter gigi).
Kini penolakan somasi yang dikeluarkan oleh Pengurus Besar Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) akan menjadi pemantik reaksi besar dan massif dari seluruh dokter gigi di Indonesia.

Reaksi tersebut tentu saja bukan hanya pada konteks bagaiamana memahami pola komunikasi pejabat publik dengan penuh tanggung jawab, sehingga aspek interaksi sosial dan supremasi regulasi benar-benar tercapai.
Namun bagaimana menegaskan bahwa setiap penyataan pejabat publik memiliki konsekuensi yang perlu dipertanggungjawabkan dan tidak sekedar menolak secara emosional.