Memorabilia Yushar Huduri
Pembaca Buku yang Ulet
Almarhum adalah seorang yang ramah. Dia selalu menyapa dengan ‘’Pak Abu’’, meski saya merasa tidak lazim.
Oleh: M Dahlan Abubakar
Wartawan Senior
Saya tidak tahu pasti kapan pertama mengenalnya. Tetapi yang pasti, pada tahun 1999, istri saya memberitahu, kalau dia se-perjalanan ibadah haji dengan almarhum Drs H Yushar Huduri MSi.
Istri saya waktu itu sebagai anggota Tenaga Kesehatan Haji Indonesia (TKHI). Sementara Pak Yus, begitu saya biasa menyapanya, sebagai petugas haji.
Perkenalan ini berlanjut ketika almarhum bergabung sebagai salah seorang Pengurus KONI Sulawesi, tempat saya mengabdikan diri sebagai Ketua Komisi Humas waktu itu.
Hubungan saya dengan Pak Yus kian sering ketika saya bersama Pak Hasyim Sudikio menulis biografi HM Amin Syam di penghujung tahun 2004.
Almarhum adalah seorang yang ramah. Dia selalu menyapa dengan ‘’Pak Abu’’, meski saya merasa tidak lazim.
Innalillah Anggota DPRD Sulsel Yushar Huduri Meninggal Dunia
Memang ada beberapa orang yang menyapa saya dengan panggilan potongan nama orangtua, mengikuti sapaan orang asing atau sebagian orang di Tanah Bugis-Makassar.
Jika Pak Yus menyapa seperti itu, saya cepat merespon. Berbeda dengan di kampus, ada seorang guru besar – kini sudah pensiun – juga menyapa saya dengan ‘’Pak Abu’’.
Saat dia menyapa dari belakang, saya yang hendak masuk lif berpura-pura tidak mendengar, sekadar alasan pembenar tidak terbiasa dengan sapaan itu.
Profesor itu tetap ‘’ngotot’’ memanggil seperti itu hingga menepuk bahu saya dari belakang.
‘’Bagaimana, Pak Abu?,’’ katanya lagi.
‘’Oh..maaf, Prof. Dari tadi rupanya saya yang dipanggil. Saya tidak membalik badan, karena tidak terbiasa disapa dengan nama seperti itu,’’ saya berdalih kemudian menyebut nama sapaan saya.
Yushar Huduri Meninggal, Politisi PPP Sulsel Ini Berduka
Sang Profesor diam saja dan pada pertemuan berikutnya, tetap saja sapaan itu digunakan lagi. Saya terpaksa menyahutnya, ya, takut dikatakan angkuh..
Karena kesibukannya sebagai Kepala Biro Keuangan Kantor Gubernur Sulsel sebelum pensiun, saya jarang mengunjunginya di Kantor Gubernur Sulsel.
Saya baru merasa harus menemuinya, jika ada buku yang baru saya tulis. Pak Yus termasuk pembaca buku keras.
Setiap menemukan buku baru yang menarik di toko buku, saya selalu meneleponnya dan menanyakan apakah sudah memiliki buku itu. Biasa dia menjawab sudah punya.
Kadang juga belum punya dan itu isyarat saya membeli lebih dari satu buku. Tentu buat dia satu eksemplar.
Jika hendak ke kantornya membawa buku ‘’pesanan’’-nya, saya harus bertanya dulu jam berapa lowongnya.
Selain tidak mau menganggu jam kerjanya dan harus juga menyelesaikan pekerjaan di kampus, saya selalu diberi waktu bertandang di atas pukul 17.00.
Sebab, biasa Pak Yus meninggalkan kantor se-usai salat magrib, jika tidak ada yang mendesak.
Oh..ya, pernah sekali waktu, Pak Yus mengirim pesan pendek ke nomor telepon genggam saya. Isinya, sangat menyadarkan saya. Ketika itu ada sedikit misunderstanding di media antara Unhas dengan Pemprov cq. Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKd) Sulsel perihal tes penerimaan calon pegawai negeri sipil.
‘’Kencang begitu, Pak Abu,’’ begitu bunyi sms Pak Yus setelah membaca berita di salah satu harian, hasil wawancara saya (sebagai Kepala Humas Unhas) melalui telepon dengan salah seorang reporternya.
Saat diwawancarai, saya sedang meluncur dari Bandung ke Jakarta di jalan Tol Cipularang, setelah bersama Pak Taufan Pawe SH (sekarang Wali Kota Parapare dan bergelar akademik Dr, MH), menghadiri ujian promosi doktor putri Prof Dr Ir Radi A Gany di Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung.
Pesan pendek itu segera menyadarkan saya segera menghentikan polemik itu.
Pada jam-jam seperti inilah saya banyak berdiskusi dengannya. Agendanya banyak hal. Dalam membicarakan buku, Pak Yus saya rasa sedang melakukan resensi bacaannya di depan lawan bicaranya.
Karena sama-sama sudah membaca, ujung-ujungnya kami memberi simpulan yang sama. Itu tanda buku tersebut sangat mengesankan.
Dia selalu memanfaatkan waktu luangnya untuk membaca. Saya lihat, buku-buku yang hendak dia baca selalu tersusun di depan meja kerjanya.
Jika ada yang belum tuntas dibaca, dia minta driver-nya membawa ke kendaraannya yang selalu parkir di pinggir jalan sebelah utara kamar kerjanya.
Setelah berhenti sebagai Kepala Bagian Keuangan Kantor Gubernur Sulsel, saya kehilangan jejak Pak Yus. Suatu hari saya memberanikan diri meneleponnya. Dengan suara yang terdengar sangat gembira dia menyampaikan kalimat begini.
‘’Pak Abu, datang ki tengok perpustakaanku di Jl. Parangtambung nah... Ada ruko kecil di situ, saya ambil. Di lantai dua, saya jadikan perpustakaan yang terbuka untuk siapa pun yang datang membaca. Tentu tidak boleh bawa pulang. Tolong, jika ada buku yang lebih, saya minta bisa mengisi perpustakaanku,’’ pesannya.
‘’Siaaap.. Siap, Pak Yus. Saya kumpulkan dulu dan akan membawanya,’’ kata saya dengan gembira sambil berjanji kapan waktu bertemu.
Hari Sabtu atau Ahad sore kalau tidak salah, saya menyambanginya di Jl. Parangtambung.
Kebetulan juga perpustakaan Pak Yus situ satu jejer dengan Warkop Om Ben (Bunyamin, eks wartawan Tribun Timur). Saya membawa beberapa buku yang ada di rumah saya dan Pak Yus meminta orang-orangnya di perpustakaan mengaturnya di rak buku yang tampak sangat rapi.
Saya hanya sempat sekali bertemu dengan almarhum se-usai pertemuan di perpustakaannya. Hari itu, saya bersama beberapa orang anggota Pengurus KONI Sulsel mengadakan dengar pendapat dengan salah satu komisi di DPRD Sulsel yang membidangi masalah olahraga.
Pas saya keluar dari lif, Pak Yus juga berdiri di depan tangga berjalan itu.
‘’Oh..Pak Abu,’’ yang ternyata itu sapaan terakhir kali kepada saya, sebelum berita duka merebak di WAG Pengurus KONI Sulsel, Rabu (31/5) pagi.
Inna lillahi wa inna lillahi wainna ilaihi raa jiun…(*)