Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

opini

Ketua KPK dan Kasus e-KTP

Nama-nama petinggi oknum anggota DPR atau pun pejabat negara yang diduga terlibat harus segera diproses hukum.

Editor: Jumadi Mappanganro
TRIBUN TIMUR/ABDUL AZIS
Prof Marwan Mas 

Oleh Marwan Mas
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Bosowa, Makassar

Mantan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi (Teropong Senayan, 21/10/2016) pernah menyebut Ketua KPK Agus Rahardjo terlibat dalam skandal proyek pengadaan Kartu Tanda Penduduk Elektronik (e-KTP).

Menurut Gamawan, sebelum menjadi Ketua KPK, Agus Rahardjo menjabat Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah.

Agus disebut-sebut sebagai pejabat negara yang meloloskan proyek e-KTP yang saat ini menjadi perhatian luas masyarakat.

Dugaan korupsi e-KTP tahun anggaran 2011-2012 senilai Rp5,9 triliun itu, kini sudah masuk pemeriksaan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Pengadilan Tipikor), Jakarta.

Tetapi baru dua orang yang dicokok dan ditetapkan terdakwa dari Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian dalam Negari (Kemendagri), yaitu Irman dan Sugoharto.

KPK belum menetapkan tersangka baru, meski publik tahu melibatkan banyak sosok petinggi negera. Pada sidang pertama di Pengadilan Tipikor (9/3/2017), Jaksa Penuntut KPK menyebut 37 orang nama oknum anggota DPR yang diduga menikmati aliran dana proyek e-KTP.

Jangan sampai penyebutan nama itu hanya sekadar upaya “membangun citra” atau ingin menarik dukungan dan simpati publik saja.

BACA juga: Presiden Jokowi Kirim Karangan Bunga ke Tribunnews

Sikap Ketua KPK
Menurut Gamawan Fauzi, pembahasan proyek e-KTP telah dipresentasi di hadapan KPK dan meminta agar mengawasi pelaksanaannya.

KPK saat itu menurut Gamawan, juga meminta agar pelaksanaan proyek juga didampingi oleh LKPP yang saat itu dikepalai Agus Rahardjo.

Kenapa proyek e-KTP menjadi penting? Sebab Pasal 104 UU Nomor 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan, memerintahkan pembentukan Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) paling lambat lima tahun sejak undang-udang itu disahkan.

Artinya, UPTD selaku Instansi Pelaksana harus membuat Nomor Induk Pendudk (NIK) sebagai nomor identitas penduduk yang bersifat khas, tunggal, dan melekat pada seseorang yang terdaftar sebagai penduduk Indonesia yang berskala nasional.

Yang jadi soal, karena sampai saat ini masih terlalu banyak penduduk Indonesia yang belum terdaftar dan memiliki NIK dengan beragam alasan.

Sebut saja, karena alat elektronik rusak, pencetakan dan penerbitan tidak lancar, serta distribusi blangko dokumen KTP terhambat, bahkan blangko KTP habis.

Semua ini terjadi lantaran sejak awal proyek e-KTP cacat hukum karena diduga terjadi “korupsi keroyokan”.

Sekiranya pernyataan mantan Mendagri betul kalau Ketua KPK mengetahui dan terlibat dalam proyek e-KTP yang bermasalah ini, setidaknya ada dua sikap yang perlu dilakukan Ketua KPK.

Pertama, karena Ketua KPK membantah, bahkan menyebut sejak awal proyek itu dinilai akan bermasalah, maka semua nama yang diduga terlibat harus secepatnya diproses hukum.

Siapa pun itu, baik oknum anggota DPR yang disebutkan dalam dakwaan, pengusaha pemenang tender, maupun petinggi negara lainya.

KPK tidak perlu menunggu putusan hakim terlebih dahulu barulah memproses nama-nama yang disebutkan terlibat, seperti yang dilakukan selama ini.

Sebab dikhawatirkan perjalanan kasus ini, baik pada pemeriksaan Pengadilan Tipikor maupun petarungan di ranah politik, akan membuat nyali KPK menciut.

Pengalaman selama ini harus dijadikan pelajaran, saat KPK mengendus nama-nama besar di kekuasaan karena diduga terlibat korupsi, beragam pola dilakukan untuk membungkam pimpinan KPK.

Pimpinan KPK lagi-lagi bisa digiring ke ranah kriminal atau kriminalisasi menurut para pengamat dan teman-teman aktivis antikorupsi.

Masa lalu pimpinan KPK, terutama pimpinan yang punya nyali dan serius ingin membongkar dan mengusut nama-nama besar itu, akan dicari keborokan masa lalunya yang remeh-temeh atau tidak masuk logika publik untuk dipersoalkan.

Tujuannya, hanya sekadar agar pimpinan KPK gentar dan berhenti mengusik nama-nama besar yang diduga kecipratan dana e-KTP.

Pengalaman dua pimpinan KPK Jilid-3, Abraham Samad yang saat itu Ketua KPK, serta Bambang Widjojanto Wakil Ketua KPK diungkap masa lalunya yang justru tidak proporsional karena berani mengusik pejabat tinggi.

Keduanya ditetapkan tersangka sehingga harus “dinonaktifkan” dari jabatannya melalui Keputusan Presiden sesuai Pasal 32 Ayat (2) UU Nomor 30/2002 tentang KP.

Kita tidak ingin peristiwa itu berulang, maka itu, nama-nama petinggi oknum anggota DPR atau pun pejabat negara yang diduga terlibat harus segera diproses atau ditetapkan tersangka.

Kedua, jika Ketua KPK merasa mengetahui dan terlibat dalam proyek e-KTP seperti disebut Gamawan Fauzi, atau setidaknya ada pembiaran sehingga proyek itu terlaksana yang menyebabkan terjadi korupsi yang merugikan keuangan negara, maka sebaiknya “mengundurkan diri” dari jabatannya, atau minimal secara sadar “nonaktif sementara”.

Tujuannya, selain menjaga marwah KPK selaku institusi pemberantas korupsi yang masih dipercaya publik, juga mencegah konflik kepentingan (conflict of Interest). Biar pimpinan KPK yang lain menuntaskan dugaan korupsi e-KTP agar tidak menimbulkan kegaduhan.

Publik berkepentingan menjaga integritas Ketua KPK. Sebab, jika hasil penyidikan yang betul-betul serius dan transparan terhadap semua nama yang disebut dalam dakwaan, tetapi ternyata Ketua KPK tidak terlibat, maka Ketua KPK yang dengan kesadaran sendiri “non-aktif” harus dikembalikan pada jabatannya semula.

Begitulah pola pembetantasan korupsi di KPK yang elegan dan tanpa pandang bulu, agar dapat dijadikan panutan bagi institusi lainnya.

Tidak boleh ada “kompromi” lagi dalam mengungkap kasus mega korupsi yang melibatkan banyak sosok dan menyakiti rasa keadilan masyarakat. Dalam Kode Etik Pimpinan KPK dikenal istilah “zero toleran” yang tidak memberi maaf sekecil apapun jika ada pimpinan dan pegawai KPK yang melanggar Kode Etik.

Hanya dengan cara itu, KPK Jilid-4 bisa menata kembali kepercayaan publik setelah beberapa kasus dugaan korupsi yang disebut BPK ada kerugian keuangan negara, tetapi tidak berani ditindak-lanjuti dengan alasan tidak ada “niat jahat (mens rea). Nah...(*)

Catatan: Tulisan di atas telah terbit di Rubrik Opini halaman 18 Tribun Timur edisi cetak Rabu, 22 Maret 2017

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved