opini
Refleksi Hari Kesehatan Gigi dan Mulut Sedunia
Gigi berlubang sebagai indikator utama menilai kesehatan gigi dan mulut hingga hari ini tetap menjadi momok yang menakutkan.
Oleh: drg Rustan Ambo Asse
Mahasiswa Program Pendidikan Dokter Gigi Spesialis Prostodonsi Universitas Hasanuddin
Jika sekiranya pada saat ini secara serentak dilakukan pemeriksaan gigi dan mulut bagi seluruh rakyat Indonesia, maka barangkali akan didapatkan data yang mengejutkan.
Terutama angka karies (gigi berlubang). Fenomena 10 penyakit terbesar di puskesmas-puskesmas yang secara umum didominasi penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA) yang bertengger di urutan teratas mungkin saja akan tergantikan oleh penyakit karies gigi (gigi berlubang) tersebut.
Gigi berlubang sebagai indikator utama menilai kesehatan gigi dan mulut hingga hari ini tetap menjadi momok yang menakutkan.
Betapa tidak, penjaringan kesehatan yang setiap tahun dilakukan oleh petugas di puskesmas-puskesmas sebagai implementasi program nasional pandataan oleh Kementerian Kesehatan khusus untuk pemeriksaan gigi dan mulut siswa sekolah dasar hanya memberi kesan pengumpulan data semata.
Hingga saat ini belum nampak keseriusan untuk memberikan upaya konkret dalam mencapai masyarakat bebas karies.
Baca juga: Pratu Ansar Gugur di Ambon, Tak Sempat Lihat Calon Bayinya di Takalar
Paradigma Kuratif
Seorang dokter gigi yang bertugas di puskesmas kerap mengutarakan kegelisahan yang sama yaitu pasien datang ke puskesmas dalam kondisi nyeri akut, gusi bengkak bahkan dalam kondisi sudah mengidap kanker mulut yang pada akhirnya mengancam jiwa pasien karena berpotensi mengakibatkan infeksi sistemik (sepsis).
Paradigma pasien yang hanya datang berobat jika terdapat nyeri pada gigi dan mulut, sudah menjadi diskursus pada tingkatan profesi dokter gigi.
Sementara di sisi lain, Kementerian Kesehatan hingga saat ini belum membuka unit khusus untuk upaya promotif dan preventif kesehatan gigi dan mulut masyarakat Indonesia.
Perbandingannya sangat jelas, program promosi kesehatan yang sekarangpun telah diupayakan pemerintah masih belum optimal, sehingga tidak mengherankan jika upaya kesehatan gigi dan mulut jauh terpuruk dan semakin tertinggal.
Bahkan untuk Program Usaha Kesehatan Gigi Sekolah ( UKGS) masih berada dalam naungan sub program Usaha Kesehatan Sekolah ( UKS ).
Hal ini tentu berdampak pada regulasi anggaran , semangat dan skala prioritas dinas kesehatan kabupaten/kota dalam implementasi pencapaian upaya kesehatan gigi dan mulut masyarakat.
Momentum WOHD
FDI World Dental Federation merilis data terbaru bahwa di dunia 60-90 % kerusakan gigi terjadi pada anak-anak dan anak sekolah dan hampir 100% orang dewasa memiliki kerusakan pada giginya.
Sejak 2013 FDI World Dental Federation menetapkan setiap tanggal 20 Maret sebagai Hari Kesehatan Gigi dan Mulut Sedunia, hal ini tentu berdasarkan semangat yang terbangun oleh pemerhati kesehatan gigi dan mulut dunia untuk menciptakan momentum kesadaran yang pada akhirnya dapat memberikan dampak bagi masyarakat.
Tak terkecuali semacam "sentilan" kepada pemerintah agar saatnya memberikan perhatian terhadap masalah kesehatan gigi dan mulut di Indonesia.
Hari ini, 20 Maret 2017, adalah tahun kelima sejak FDI World Dental Federation pada 20 Maret 2013 diluncurkan dan menetapkan tanggal tersebut sebagai hari kesehatan gigi mulut dunia.
Ratusan PDGI cabang di se-antero negeri kembali memantik api semangat untuk mengajak masyarakat menjaga kesehatan gigi dan mulutnya.
Kita hanya berharap bahwa setitik cahaya yang ada disana bisa menjadi pijar cahaya yang lebih besar, yaitu harapan yang terwujud. Semangat PDGI
Pada tanggal 4-6 Mei 2017 mendatang, Kongres Nasional Persatuan Dokter Gigi Indonesia ( PDGI ) akan dilaksanakan di Medan sebagai forum pengambilan keputusan tertinggi bagi profesi dokter gigi Indonesia.
Dalam forum tersebut insan dokter gigi akan memberikan gagasan-gagasannya untuk banyak hal terkait dengan eksistensi organisasi PDGI sendiri, dan juga konsepsi peran serta dokter gigi dalam upaya peningkatan kesehatan gigi dan mulut masyarakat.
PDGI dalam usianya yang semakin matang dengan usia 67 tahun mestinya diikuti oleh perangkat dan sumber daya organisasi yang tidak hanya profesional, tetapi dibutuhkan sebuah dekonstruksi pola pikir yang nantinya akan berkorelasi dengan pola tindakan yang lebih inovatif, lebih berani dan lebih lateral dalam memberikan ide keberpihakan sebuah kebijakan.
Khususnya tentang regulasi profesi dan supremasi hukum terkait pelayanan kesehatan gigi dan mulut.
Masalah yang paling mendasar adalah bagaimana memperjuangkan hak-hak dasar warga negara dalam mendapatkan akses kesehatan gigi dan mulut yang berbasis profesional, sesuai kompetensi dan menempatkan profesi dokter gigi dalam garis terdepan dalam artian seluas-luasnya.
Pelayanan kesehatan gigi sejatinya mesti bertolak dari sebuah sinergisitas dari berbagai stakholder dalam memikirkan dan merumuskan konsep terbaik dalam meningkatkan derajat kesehatan gigi masyarakat.
Seperti apa semangat baru yang diharapkan di PDGI? Menjawab pertanyaan ini tidaklah mudah, para pemikir di PDGI dengan gagasan-gagasan yang ada mungkin harus lebih berani membangun jejaring dalam konteks kebijakan kesehatan nasional.
Atau mungkin juga dibutuhkan eksistensi PDGI dengan Leader yang progresif, muda, militan dan mampu membuat loncatan yang lebih jauh melampui zamannya.
Dinamika organisasi PDGI secara internal mestinya memberikan sebuah energi besar yang secara ekxternal merupakan bargaining position terkait banyak hal yaitu : eksistensi PDGI dan regulasi aspek pelayanan kesehatan gigi dan mulut, eksistensi PDGI dalam ranah kebijakan strategis dalam kaitanya pada implementasi program BPJS, Peran PDGI dalam mencanangkan program kesehatan gigi nasional dan lain sebagaianya.
Apapun itu setidaknya harus dipahami bahwa pemerintah membutuhkan keterlibatan langsung PDGI untuk memberikan input secara holistik terkait Kesehatan Gigi dan Mulut Masyarakat Indonesia. (*)
Catatan: Tulisan ini telah dipublikasikan pula di Rubrik Opini, Tribun Timur edisi cetak Senin, 20 Maret 2017.