Rindu Mendalam Orang Aborigin kepada Pelaut Makassar
Seruan riang meluncur dari bibirnya ketika seorang teman perempuan bernama Dian menuturkan bahwa dirinya adalah orang Makassar.
“Awalnya memang teripang, tetapi bagi suku asli, kunjungannya (pelaut dari Makassar) tentu lebih penting dari perdagangan biasa. Beras (di nusantara) tidak terlalu mahal waktu itu, tidak dianggap penting, tetapi bagi suku asli, beras sangat penting sekali. Jadi untuk mereka, perdagangan dengan orang dari Indonesia jauh lebih penting karena (mereka butuh) beras, pisau, logam, tembakau,” ucapnya saat ditemui di Monash University.
Suku Yolngu sangat bergairah dengan kerja sama ini karena mereka mendapatkan beras dan mengenal logam untuk pertama kalinya.
Sebelumnya, segala alat kerja suku Yolngu terbuat dari batu. Mereka juga diajari oleh pelaut dari Makassar untuk membuat lipa-lipa.
Tak hanya saling menguntungkan dari segi ekonomi, pertukaran budaya juga terjadi.
Pengaruh terhadap bahasa membuat sejumlah kosa kata suku Yolngu mirip dengan kata dalam bahasa Indonesia, seperti rrothi yang berarti roti, Balanda dari kata Belanda merujuk kepada orang kulit putih, prau yang berasal dari kata perahu dan rupiah dari kata rupiah untuk merujuk pada uang di kehidupan suku Yolngu.
“Itu semacam sampan yang digunakan penduduk asli, tapi dulu itu tidak ada teknologi semacam itu. mereka belajar dari orang Indonesia, Jadi ini buktinya bahwa pengaruhnya cukup dalam karena biasanya agak sulit untuk belajar teknologi baru dengan mengunakan alat,” tutur Paul.
Richard Ian Trudgen, pendiri dan pimpinan Aboriginal Resource Development Services (ARDS), juga mengatakan bahwa pengenalan benda tajam berbahan logam dalam kehidupan penduduk Yolngu memberikan manfaat signifikan dalam kehidupan mereka.
Namun, lanjutnya, hubungan dagang yang baik dan langgeng sangat dipengaruhi oleh sikap para pelaut Makassar yang dinilai menghormati kebudayaan lokal penduduk asli Australia.
“Ketika Makassar datang dan pergi selama beberapa abad, mereka menghormati kekuasaan suku Yolngu, para pelaut Makassar hanya berada di sekitar pantai setelah berlabuh. Di tempat ini mereka menunggu para juragan Yolngu untuk bernegosiasi dalam hubungan dagang mereka. Hanya ada beberapa saja ketidaksepakatan yang kemudian menjadi perkelahian dalam hubungan dagang selama berabad-abad,” ucap penulis buku “Why Warriors Lie Down and Die” ini.
Sikap ini sukses mengambil hati masyarakat Yolngu hingga hubungan dagang terus berlangsung.
Richard mencatat, pendekatan ini tidak dilakukan oleh bangsa Eropa ketika datang.
Semua kenangan manis itu hilang seketika karena pelaut dari Makassar tak pernah datang lagi di awal abad 19.
Mereka tak pernah muncul lagi setelah pemerintah Australia mewajibkan setiap pelaut untuk memiliki izin dan membayar semacam pajak jika hendak memancing atau memanen teripang di kawasan Australia.
***
Duduk di sebuah kursi di atas pasir putih di tepi laut di belakang rumahnya, Gayili dengan berani mengungkapkan keinginannya untuk menerima sesuatu dari Dian. Dia berharap diberikan sejumlah koin.
"Bolehkah saya meminta koin rupiah? Saya ingin membuatnya menjadi seperti kalung yang akan saya berikan ke cucu saya. Jadi ketika saya sudah tidak ada nanti, mereka bisa ingat cerita bahwa saya pernah bertemu dengan orang Indonesia, tempat orang Makassar berasal," tutur Gayili.
Matanya kembali berbinar ketika menerima sejumlah koin Rp 1.000 dan Rp 500 lalu berkali-kali mengucapkan terima kasih.
Di Pantai Wurrwurrwuy atau Macassans Beach di Garanhan, salah satu tempat di mana para pelaut Makassar kerap berlabuh dan berkemah dahulu, Dianne Biritjalawuy Gondarra dari klan Golumala mengungkapkan kerinduannya pada hubungan baik yang pernah dijalin nenek moyangnya dengan para pelaut dari Makassar.
“Semuanya kolaps. Orang-orang tidak memiliki motivasi untuk hdup. Semuanya diambil dari mereka, penghidupan sehari-hari. Kami ingin memulai hubungan itu lagi, mulai berdagang dan bersahabat kembali seperti dahulu,” pinta Dianne diiringi suara debur ombak dari Laut Arafura di belakangnya.(caroline damanik)