Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Fenomena Golput (Golongan Penerima Uang Tunai)

Lahirnya golongan penerima uang tunai sebenarnya tidak lepas dari anggapan bahwa para calon kepala daerah nantinya tidak bisa melakukan perubahan

Editor: Aldy

Hasil penelitian IDEC pada October 2015 di beberapa daerah yang akan melaksanakan pilkada serentak di Sulawesi menunjukkan telah terjadinya kecenderungan perubahan besar pola perilaku pemilih. Antusiasme pemilih untuk terlibat pada pemilu menjadi lebih berkurang. Kalaupun terlibat maka pola hubungan yang terjadi tampaknya selalu terkait dengan transaksi-transaksi yang bersifat materi.
Banyak pemilih yang menjawab bahwa alasan mereka datang ke tempat-tempat kampanye hanya karena berharap mendapat kaos gratis, nasi bungkus, dan juga bekal uang transportasi. Selain itu mereka juga menganggap bahwa politik uang adalah hal yang wajar dan bisa diterima dalam pilkada.
Golongan penerima uang tunai (golput) tersebut berpandangan bahwa memilih pada pilkada adalah keputusan politik pribadi mereka yang tidak bisa dicampuri dan bisa mereka tentukan sendiri. Karena pilihan mereka bersifat personal maka para kandidat yang berharap dipilih pun harus melakukan pendekatan secara personal dengan membayar pilihan mereka.
Lahirnya golongan penerima uang tunai ini sebenarnya tidak lepas dari anggapan mereka bahwa para calon kepala daerah yang dipilih natinya tidak akan bisa melakukan perubahan-perubahan dan membawa kehidupan mereka menjadi lebih baik. Pemenang pilkada pasti akan mendapat keuntungan berlimpah dan itu hanya akan dinikmatinya bersama dengan orang-orang terdekatnya saja tanpa pernah lagi memikirkan rakyat.
Akhirnya golongan ini pun memunculkan pandangan bahwa kalau para pemenang pilkada akan memperoleh keutungan berlimpah, mengapa para pemilih tidak? Memperoleh uang transportasi, nasi bungkus, dan kaus ketika menghadiri kampanye merupakan kompensasi yang harus mereka nikmati sebagai harga dari suara mereka yang harus dibayar oleh kandidat.
Selain itu, momen kampanye juga dimanfaatkan betul oleh pemilih untuk melakukan politik transaksional dengan kandidat. Kandidat dipaksa untuk memenuhi tuntutan mereka untuk memperoleh bantuan langsung berupa pembangunan jembatan, perbaikan jalan, sumbangan pembangunan tempat ibadah, perbaikan drainase, pengadaan lampu jalan sampai penyediaan fasilitas olah raga.
Ketika permintaan itu tidak direspon maka jangan harap bias memperoleh simpati dari pemilih. Dan ketika jelang hari pemilihan golongan ini bersiap membuka pintu rumahnya lebar-lebar pada malam dan subuh hari menunggu kedatangan amplop yang akan dibagikan dengan sukarela oleh para kandidat untuk membeli suara mereka.
Pemicu lain yang memberi andil besar pada kehadiran golongan penerima uang tunai ini sebenarnya juga karena rendahnya kualitas kesejahteraan masyarakat di daerah. Kualitas pelayanan publik yang buruk, serta pembangunan ekonomi yang statis, menjadi sebuah kondisi rill yang selama ini mesti di tanggung oleh masyarakat.
Pelayanan kesehatan yang buruk, akses terhadap pendidikan yang sulit, Tingginya angka kemiskinan, lapangan pekerjaan yang terbatas, infrastruktur yang tak memadai, dan menumpuknya pengangguran, di tambah lagi dengan pelayanan birokrasi yang tidak ramah, semakin memperburuk kondisi di daerah dan menyuburkan anggapan di kalangan masyarakat bahwa pemilu atau pilkada tidak akan merubah hidup mereka.
Ironi Demokrasi
Golongan penerima uang tunai adalah sebuah cerita satir bagi kehidupan demokrasi yang coba kita tapaki bersama. Fenomena ini seperti gambaran Anthony Giddens tentang ‘ironi demokrasi’ bahwa di balik keinginan menggebu untuk berdemokrasi selalu ada fenomena kekecewaan terhadap proses demokrasi.
Keberadaan ‘golput’ yang dari pilkada ke pilkada semakin berlipat ganda jumlahnya sebenarnya adalah tamparan keras tentang bobroknya penyelenggaraan kekuasaan selama ini. mereka tidak pernah mendapatkan pelayanan yang maksimal sebagai warga Negara. Mereka terbiasa disuguhi kisah tentang anggaran negara yang disalahgunakan untuk kepentingan pribadi para penguasa.
Masyarakat sudah sangat paham bahwa banyak sekali program yang harusnya mereka nikmati tapi ternyata hanya dinikmati oleh orang-orang yang dekat dengan kekuasaan. Golongan ini tahu betul bahwa APBN atau APBD sudah mengalokasikan banyak dana untuk pengentasan kemiskinan, penyediaan fasilitas umum dan perbaikan kualitas kesahatan masyarakat tapi itu tidak pernah dinikmati karena habis disunat kiri kanan oleh mereka yang pegang kebijakan. Mereka tahu bahwa hanya ketika jelang pemilihan/saat kampanye mereka diajak berdialog, dikunjungi dan coba didengarkan. Akhirnya hanya pada masa kampanyelah mereka menggugat hak nya dengan cara memaksa para kandidat untuk membayar mahal suara mereka lewat proses elektoral yang sangat transaksional.
Sudah dipahami bersama bahwa proses elektoral yang dilaksanakan di Indonesia sangat diwarnai oleh kekuatan uang. Di hampir semua pemilihan kepala daerah maupun pemilihan legislatif dan presiden, sejumlah praktek-praktek money politics dan vote buying selalu hadir. Proses politik elektoral untuk mendapatkan suara dukungan pemilih sungguh mahal, sehingga tidak jarang seorang kandidat bias mengeluarkan puluhan milyar rupiah. Belum lagi persoalan akuntabilitas, transparansi, sampai dengan pola relasi kepala daerah dan pelaku bisnis yang menggurita, kompetisi yang tidak menjunjung tinggi semangat fairness dan moral politik yang sehat, etika dan aturan main yang terlalu sering dilanggar atau sengaja di lakukan dengan tujuan utama adalah keluar sebagai pemenang pilkada, telah menghilangkan esensi pesta rakyat yang sesungguhnya.
Disconnect Electoral
Dampaknya tentu dapat ditebak, yaitu kekuasaan politik yang harusnya menjadi ajang untuk membawa masyarakat menuju kehidupan yang lebih baik telah menjadi arena untuk mengembalikan modal uang dan menambah tabungan untuk pertarungan politik berikutnya atau untuk mengamankan kepentingan politik dan kepentingan bisnis dari para pendukung. Uang di satu sisi telah menggantikan kehebatan orasi, kekuatan visi, serta ketulusan para politisi bersih yang bertarung hanya bermodal pengabdian dan gagasan mumpuni. pejabat publik yang terpilih pun akan jauh dari kepentingan dan kehendak masyarakat. Keberpihakan pada kroni dan kelompok elit-bisnis akan terlihat dari proses pengambilan keputusan dan berbagai produk kebijakan yang di tempuh, janji politik yang di sampaikan ketika kampanye berlangsung dan sederet kontrak politik dengan rakyat yang telah di buat terabaikan, sehingga yang terlihat hanyalah, bagi-bagi kekuasaan antar sesama mereka dalam poros koalisi yang hanya membawa kepentingan pribadi dan golongan. Akhirnya yang terjadi adalah disconnect electoral, dan pemilihan kepala daerah serentak 2015 yang akan dilaksanakan beberapa hari lagi mungkin saja tidak akan membawa kondisi demokrasi yang lebih baik tapi justru akan semakin mengembangbiakkan golongan penerima uang tunai pada pilkada. Kondisi ini jelas tragedy besar bagi demokrasi kita….

Oleh:
Endang Sari
Dosen Ilmu Politik Universitas Hasanuddin/ Peneliti IDEC

Sumber: Tribun Timur
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved