Berdamai dengan Narkoba dan AIDS
Prevalensi narkoba di Sulsel meningkat dari 2% menjadi 2,2% dalam 2 tahun terakhir, sedangkan penambahan kasus baru HIV positif sebanyak 2-3 kasus
Dengan menggunakan logika tersebut, maka bangunan interaksi antara korban dan masyarakat hendaknya mewujud dalam bentuk inklusi sosial. Syarat dasarnya, masyarakat harus memiliki pemahaman tuntas mengenai epidemi dan sikap empatik yang menggiring terciptanya toleransi terhadap mereka-mereka yang telah menjadi korban, sehingga tercipta kondisi penerimaan sosial secara totalitas tanpa syarat.
Kebijaksanaan fundamental ini dengan mudah diwujudkan, manakala kita memahami bahwa kerugian yang dialami oleh masyarakat tentulah lebih ringan dibandingkan dengan kerugian korban dan keluarganya. Sebuah pandangan perilaku yang berlandaskan pilihan rasional dan berdimensi estetik.
Ternyata konsep berdamai dengan narkoba dan AIDS memiliki kekuatan luar biasa dalam mengubah jalannya epidemi. Merangkul para korban lebih efektif mengkonstruksi perilaku aman dibandingkan pemosisikan pelaku sebagai devian; merawat dan mengobati korban lebih manusiawi dibandingkan dengan tindakan yang berorientasi pada efek jera seperti pemenjaraan; modifikasi faktor resiko lebih rasional dibandingkan menghilangkannya sama sekali.
Ringkasnya, pendekatan selama ini perlu dikoreksi secara kritis dengan menempatkan terminologi “berdamai” sebagai properti konseptual dalam merencanakan, menyusun, dan menerapkan program pencegahan dan penanggulangan dimasa mendatang, bukankah damai itu indah? Selamat Hari AIDS Se-Dunia. Semoga momentum ini menggiring perenungan untuk menemukan sisi terdalam kesadaran sosial manusia. (*)
Oleh:
Arlin Adam
Dekan FKM Universitas Pejuang RI