Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Berdamai dengan Narkoba dan AIDS

Prevalensi narkoba di Sulsel meningkat dari 2% menjadi 2,2% dalam 2 tahun terakhir, sedangkan penambahan kasus baru HIV positif sebanyak 2-3 kasus

Editor: Anita Kusuma Wardana

Judul tulisan ini sungguh sangat provokatif, namun bagi sebagian orang yang sudah mengabdikan kehidupannya pada dunia sosial napza dan HIV-AIDS, judul ini dianggap sebagai pendekatan mutakhir pencegahan dan penanggulangan.

Mengapa kita harus berdamai? Bukankah narkoba dan HIV-AIDS itu patologis dalam tatanan sosial masyarakat kita? Nah, jika isu ini adalah patologis secara sosial, suatu kebodohan jika harus ditoleransi dengan sikap perdamaian?

Pertanyaan-pertanyaan inilah yang muncul dalam benak mereka-mereka yang memahami narkoba atau napza (narkotika, psikotropika, dan zat addiktif lainnnya) dan HIV-AIDS dalam pijakan moralitas. Kaum moralis selamanya menganggap para penyalahguna narkoba dan pengidap HIV-AIDS melakukan pelanggaran nilai dan norma sosial yang dianut bersama.

Bagi kaum moralis, perilaku beresiko napza dan HIV-AIDS dikategorikan sebagai penyimpangan sosial. Inilah yang menjelaskan munculnya fakta mencengangkan terjadinya peningkatan prevalensi penyalahgunaan narkoba dan peningkatan kasus HIV baru dari waktu ke waktu.

Prevalensi narkoba di Sulsel meningkat dari 2% menjadi 2,2% dalam 2 tahun terakhir, sedangkan penambahan kasus baru HIV positif sebanyak 2-3 kasus dalam sehari. Padahal, program pengendalian terus berlangsung dengan menghabiskan sumber daya yang tidak sedikit. Pengetahuan, sikap, kepercayaan, dan klaim-klaim moralitas yang dilontarkan oleh kaum moralis mengalir secara pelan-pelan namun pasti dalam mengkonstruksi perilaku masyarakat.

Implikasinya, masyarakat mengalami proses pembingkaian dimana penilaian mereka pada umumnya bercorak moralitas ketika berhadapan dengan orang-orang yang terpapar dengan kedua isu ini. Efek dominonya, masyarakat akan mengembangkan perilaku penghindaran, sikap penolakan, persepsi negatif yang menemukan titik kulminasinya pada penilaian yang stereotype dan stigmatisasi serta tindakan diskriminatif.

Ancaman besar

Saat stereotype, stigmatisasi dan diskriminasi berkembang jauh dalam proses interaksi sosial, saat itu juga ancaman besar mengintai. Asumsi ini diperkuat oleh fakta bahwa beberapa keluarga yang salah satu anggota keluarganya menyalahgunakan narkoba cenderung menutupinya dengan alasan malu diketahui oleh tetangga, sanak keluarga, dan teman-teman lainnya. Begitu besar pengaruh label sosial dalam mengkonstruksi tindakan seseorang.

Padahal, seandainya keluarga tersebut, secara terbuka mengakui dan mengambil tindakan segera, penyalahguna narkoba masih dapat dipulihkan dan tetap menjadi manusia yang produktif. Akan tetapi, karena ditutup-tutupi, maka yang terjadi adalah kematian tragis yang secara sosio-medis sesungguhnya masih bisa disembuhkan.

Proses sosial di atas terjadi juga pada kasus HIV dan AIDS. Cukup sering diberitakan di berbagai media tentang penolakan masyarakat terhadap pengidap HIV dan AIDS. Para pengidap mengalami pelanggaran HAM seperti penyangkalan dan penolakan keluarga, diberhentikan dari pekerjaan, dikeluarkan dari sekolah, dan berbagai bentuk kekerasan yang dialami sebagai tindakan yang dikonstruksi oleh term moralitas.

Ketika seseorang pengidap HIV mengalami perlakuan sosial seperti ini, maka tidak mungkin bagi mereka untuk mengembangkan perilaku pengobatan dan perawatan yang rutin sebagaimana yang diharuskan dalam tatalaksana pengobatan kasus HIV dan AIDS. Dampaknya, mereka mengalami kematian pada usia muda.

Secara sosiologis, dampak turunan yang dimunculkan akibat perlakuan masyarakat tersebut bisa lebih berbahaya. Terbuka ruang yang luas bagi para korban yang diperlakukan secara tidak wajar oleh masyarakat untuk memberikan penularan diam-diam (silent epidemic). Motivasi dasarnya adalah balas dendam dan sebagai bentuk kanalisasi frustasi-frustasi sosial yang mereka alami.

Ini berarti bahwa memperlakukan satu orang pengidap secara tidak manusiawi berpotensi menularkan kasus HIV baru di masyarakat.

Artinya pula, masyarakat secara keseluruhan merupakan kontributor ulung penularan. Logika ini tidaklah berlebihan, mengingat sikap-sikap dan perilaku keseharian masyarakat sebagai entitas sosial telah menumbuhkan benih-benih perlawanan sosial dari mereka yang mungkin secara kebetulan dan terpaksa menjadi korban penyalahgunaan narkoba dan AIDS.

Inklusi sosial

Sumber: Tribun Timur
Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Nikah Massal

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved