Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Hate Speech di Kampanye Pilkada

terkait dengan penghinaan dalam kegiatan kampanye terhadap seseorang, SARA, golongan, calon kepala daerah; termasuk pengahasutan, fitnah,

Editor: Aldy

Pasca terbitnya ‘legilasi semu’ oleh Kapolri SE/6/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian (hate speech) sebagaian kalangan lalu menilai bahwa surat edaran tersebut juga akan “menyasar” segala tindak perbuatan kebencian yang dilakukan pada saat kampanye Pilkada.
Pendapat tersebut tidaklah sesungguhnya “salah total”, hanya saja yang perlu menjadi perhatian bagi kepolisian atas instrumen hukum adminitrasi negara yang bersegi satu itu, adalah: ujaran kebencian yang dilakukan seseorang dalam masa kampanye bukanlah tindak perbuatan yang dapat dikualifikasi baik sebagai delik penghinaan dalam KUHP maupun klasifikasi delik penghinaan berdasarkan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Sebagaimana penderivasian ujaran kebencian yang terdapat dalam Surat Edaran a quo, bahwa setelah langkah preventif dilakukan oleh pihak kepolisian dalam penanganan pelaku ujaran kebencian, untuk selanjutnya dapat diproses hukum dengan cara represif berdasarkan beberapa ketentuan penghinaan terkait dalam KUHP dan UU ITE.
Delik Pemilihan
Dalam “piramida hukum” perundang-undangan, surat edaran (circuleir) sebagai salah satu produk dari peraturan kebijakan (beleidsregeel) tidaklah termasuk dalam hierarki peraturan perundang-undangan. Hanya saja, peraturan kebijakan dalam tatanannya sering dianggap sebagai pantulan bayangan/cermin dari regeling/undang-undang yang bersifat umum-abstrak.
SE hate speech yang telah diterbitkan oleh Kapolri, salah satu “pantulan bayangan,” “induk” atau ‘genusnya’ berasal dari Pasal 20 UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Konvensi Internasional Hak-hak Sipil dan Politik: ”pelarangan atas propaganda perang serta tindakan yang menganjurkan kebencian atas dasar Kebangsaan, ras atau agama yang merupakan hasutan untuk melakukan tindak diskriminasi, permusuhan atau kekerasan.”
Pasal a quo tidak memiliki muatan ancaman pidana, sehingganya melalui SE hate speech kemudian dikonstruksi dalam beberapa penggolongan delik penghinaan.
Dan satu hal yang menjadi alpa untuk dimuat ulang dalam ketentuan surat edaran a quo adalah penegakan hukum (baca: penindakan) atas tindak perbuatan yang menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, Calon Gubernur, Calon Bupati, Calon Wali Kota, dan/atau Partai Politik. Termasuk pula perbuatan yang dilakukaan saat kampanye berupa menghasut, memfitnah, mengadu domba partai politik, perseorangan, dan/atau kelompok masyarakat (Vide: Pasal 69 huruf b dan c UU Pilkada).
Kendatipun terdapat perbedaan mendasar berdasarkan bestaandelnya antara penistaan (smaad), fitnah (laster), pernyataan kebencian/permusuhan (uiting geven) dengan ujaran kebencian (hate speech). Yang pada intinya ujaran kebencian cenderung pada akibat hukum terjadinya ‘diskriminasi, permusuhan atau kekerasan’ sehingga menyulut kerusuhan dan konflik sosial. Tetapi segala bentuk tindakan tersebut (menista, fitnah, menghasut, melakukan penganjuran/ujaran kebencian yang selanjutnya dapat menyebabkan terjadi kekerasan sosial, maka beberapa pasal terkait memang menjadi relevan keberadaannya termuat ulang dalam Surat Edaran hate speech tersebut.
Dalam konteks itu, terkait dengan penghinaan dalam kegiatan kampanye terhadap seseorang, SARA, golongan, calon kepala daerah; termasuk pengahasutan, fitnah, tindakan mengadu domba; yang biasa digolongkan sebagai black campaign relevansinya dengan Surat Edaran hate space tetap menjadi penting. Sebab sebagian unsur dalam delik pemilihan a quo selain termuat dalam “hate space” juga dalam surat edaran a quo, terhadap segala tindakan penghinaannya juga termasuk yang dilakukan pada saat orasi kampanye.
Peran Kepolisian
Sehingganya tidaklah menjadi alasan, sebab tidak adanya pemuatan delik pemilihan (black campaign), lalu peran kepolisian menjadi tidak ada guna-gunanya berdasarkan surat edaran tersebut.
Kiranya upaya hukum “restorative justice” atas terjadinya “black campaign” yang dilakukan oleh Pasangan Calon Kepala Daerah/Tim Kampanye, pihak Kepolisian berdasarkan kewenangannya yang juga sebagai Penyidik tindak pidana pemilihan dapat mengambil langka preventif agar tindak perbuatan yang tergolong sebagai black campaign itu, agar tidak sampai meyebar dalam wilayah kerusuhan antar pendukung atau simpatisan Pasangan Calon Kepala Daerah.
Hanya saja pengecualiannya berdasarkan delik pemilihan (black campaign), adanya upaya preventif yang dilakukan oleh Kepolisian, tidak menjadi alasan bagi kepolisian sebagai penyidik tindak pidana pemilihan untuk menghentikan “proses hukum” dari tindak perbuatan tersebut.
Upaya preventif yang dilakukan oleh Kepolisian, minimal untuk mencegah terjadnya “konflik” yang akan muncul antar pendukung. Tetapi untuk persoalan delik pemilihannya tetap diproses berdasarkan hukum acara tindak pidana pemilihan yang telah disediakan berdasarkan UU Pilkada.
Penghinaan, fitnah, penghasutan terhadap seseorang, Sara, golongan, Pasangan Calon, Partai Politik dan/atau kelompok masyarakat dalam jadwal kampanye yang telah ditentukan, pun kalau persitiwa hukum/tindak perbuatan itu dianggap sebagai bahagian dari ujaran kebencian selanjutnya dianggap bisa memicu terjadinya konflik sosial, konstruksi hukumnya tidak dapat dianggap sebagai delik penghinaan baik berdasarkan KUHP maupun UU ITE.
Terhadap tindak perbuatan tersebut merupakan delik pemilihan yang menundukan diri dalam UU Pilkada. Lex specialist sistematis-nya berada dalam UU Pilkada, sebagai bagian dari delik pemilihan yang diatur berdasarkan Pasal 69 huruf b dan huruf c UU Pilkada junto Pasal 187 ayat 2 UU Pilkada. Bahwa delik pemilihan ini sebagai tindakan yang dilarang berdasarkan UU a quo dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama 18 (delapan belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp600.000.00 (enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp6.000.000.00 (enam juta rupiah).
Yang dibutuhkan sekarang, apalagi kalau bukan profesionalime Kepolisian, dengan cerdas-cerdasnya dalam struktur kelembagaannya untuk terlibat dalam penanganan tindak pidana pemilihan (black campaign) Kepala Daerah ini. Bahwa manakalah ada perbuatan yang termasuk bahagian dari ujaran kebencian dalam orasi kampanye pemilihan kepala daerah, jauh-jauh hari agar segara melakukan juga deteksi dini (aware detection) terhadap segala peristiwa yang rentan, pada terpicunya kerusuhan antar pendukung Calon Kepala Daerah.*

Oleh:
Damang Averroes Al-Khawarizmi
Mahasiswa PPs Hukum UMI & Owner negarahukum.com

Sumber: Tribun Timur
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Rusuh

 

Rusuh

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved