Pesan-Pesan Kebencian
menghina, melakukan provokasi, penghasutan, pencemaran nama baik, serta penistaan atas individu, maupun kelompok ‘yang berbeda’ telah menjadi trend
Surat Edaran Kapolri Nomor: SE/6/X/2015 tentang Upaya Penanganan Ujaran Kebencian atau hate speech menjadi topik yang kini ramai dibicarakan di berbagai media cetak, elektronik sampai jejaring sosial. Seperti biasa, sikap publik kembali terbelah menjadi dua. Ada pihak yang mendukung dan ada juga yang menolak.
Bagi para pendukung kebijakan ini, umumnya menyampaikan bahwa sudah sewajarnya pihak kepolisian mengambil sikap yang tegas atas menjamurnya prilaku dan kebiasaan agresif untuk melakukan provokasi, penghasutan, pencemaran nama baik, penghinaan dan penistaan.
Kawan saya yang mendukung edaran Kapolri ini, segera bereaksi dengan menuliskan dalam timeline twitternya: Pak Kapolri ayo bebaskan Indonesia dari pesan-pesan kebencian! Sementara itu, sikap yang jauh berbeda muncul dari kawan saya lainya yang bekerja sebagai seorang jurnalis.
Menurutnya, Surat Edaran Kapolri tersebut adalah sebuah ancaman yang serius bagi profesi yang digeluti. Dengan nada marah, kawan saya itu menuliskan status di-BlackBerry messenger; ‘hate speech sama dengan ancaman kebebasan bersuara, berpendapat, dan berekspresi!
Batasan Kebencian
Dalam hemat saya, langkah Kapolri sudah benar dan justru perlu didukung. Apalagi sebenarnya berbagai payung hukum yang mengatur persoalan menyangkut edaran Kapolri tersebut memang sudah ada. Surat Edaran Kapolri ini, menurut pandangan saya lebih merupakan upaya penegasan kembali.
Pasalnya, hate speech kini telah menjadi wabah di negeri ini. Kebiasaan menghina, melakukan provokasi, penghasutan, pencemaran nama baik, serta penistaan atas individu, maupun kelompok ‘yang berbeda’ telah menjadi trend baru di berbagai arena ruang publik yang kita singgahi.
Coba tengok, akun jejaring sosial yang kita miliki. Berapa banyak sampah hate speech yang beredar baik dengan menggunakan situs berita hate site (situs kebencian), maupun sekadar opini pribadi. Berbagai konten provokasi yang tidak berdasarkan fakta terus direplikasi, mulai dari upaya menyerang agama tertentu, mazhab, sampai menyebarkan berita gossip tentang pribadi seorang artis.
Namun, hendaknya Kapolri perlu pula memberikan telaah yang serius tentang batasan kebencian itu sendiri? Persoalanya, kecurigaan publik yang menolak Surat Edaran Kapolri tersebut juga bukan tanpa dasar. Pasalnya, para penyelenggara negara atas nama hukum sering sekali menjadikan berbagai regulasi yang ada sebagai dalil untuk membungkam suara publik.
Teman saya seorang pengacara, pernah bercerita bagaimana atas nama hukum kliennya seorang ‘pemuda lugu’, mesti masuk bui dan kehilangan pekerjaan hanya karena ‘perbincangan disebuah group jejaring sosial’ yang membahas tentang kinerja seorang bupati yang menurutnya gagal dalam memimpin daerah.
Padahal, menurut hemat saya setelah menelaah konten perbincangan dalam group tersebut, apa yang disampaikan oleh klien teman saya tersebut hanyalah ekspresi dan pendapat publik, yang harusnya didengar sebagai bagian dari ekspresi kebebasan berpendapat dan suara warga atas kinerja pemerintah.
Di sinilah titik soal yang akan menjadikan surat edaran kapolri tersebut akan sangat multi tafsir. Bahkan, cenderung akan berakhir pada ketidakpastian karena batasan antara suara kebebasan publik dan kegiatan hate speech adalah ruang yang sangat abu-abu. Apalagi, jika para penegak hukum mulai dari pihak kepolisian, kejaksaan, kehakiman sampai para saksi ahli yang dihadirkan dalam memutuskan perkara hate speech tidak memahami bagaimana konteks ekspresi kebebasan era ini. Era generasi jejaring sosial sudah hampir dipastikan ketidakpastian hukum akan terjadi.
Etika Publik
Surat Edaran Kapolri tersebut memang tidak hanya membahas ujaran kebencian dalam konteks media massa maupun media sosial, namun juga pada ujaran kebencian di ruang publik lainya. Sekali lagi saya menyampaikan mendukung edaran ini, karena menurut saya ‘suara kebebasan tetap mesti memiliki batas dan etika’.
Kebebasan tidak boleh dimaknai terlepas dari segala kewajiban dan keterikatan atau dilihat sebagai izin atau kesempatan untuk berbuat sesuka hati. Menurut saya, makna kebebasan yang diungkapkan oleh seorang penyair Jerman Friedrich Schiller mungkin paling sesuai untuk menilai sebuah kebebasan; ‘bahwa manusia diciptakan bebas dan ia tetap bebas, sekalipun lahir terbelenggu’.
Karena kebebasan yang kita raih senantiasa pada saat yang sama adalah belenggu itu sendiri. Bahkan semenjak kita lahir, setiap manusia terikat pada berbagai kesepakatan yang membatasi kebebasan yang dimiliki. Persoalanya selama ini, atas nama kebebasan banyak orang yang dengan sewenang-wenang menggunakan dalih kebebasannya yang justru mengebiri kebebasan orang lain.
Dalam ilmu komunikasi, freedom of speech atau ‘kebebasan berbicara’ mengacu pada sebuah hak untuk berbicara secara bebas tanpa adanya tindakan sensor atau pembatasan. Akan tetapi dalam hal ini tidak termasuk untuk menyebarkan kebencian dan teror atas orang lain.
Karena pesan kebencian, pastilah memiliki muatan kesewenang-wenangan yang dalam pendapat saya bisa dilihat dalam empat hal. Pertama, pesan kebencian bukanlah ekspresi dari kehendak bebas namun eksperesi dari sikap menghukumi kebebasan orang lain. Kedua, pesan kebencian senantiasa bermuatan emosional daripada hal-hal yang bersifat rasional.
Ketiga, pesan kebencian tidak memberikan ruang bagi ‘penghargaan atas keberbedaan individu maupun kelompok’. Karena pesan kebencian lebih menekankan upaya pembenaran pendapat dan sikap pribadi. Empat, sebuah pesan kebencian sudah pasti bertentangan dengan demokrasi itu sendiri utamanya bagi penghargaan hak-hak individu.
Empat hal tersebut, bagi saya pribadi menjadi panduan dalam melihat dan menilai bagaimana harusnya sebuah kebebasan berpendapat dijalani. Karena sekali lagi, sebuah kebebasan tetap memiliki belenggu, batas, dan penghargaan atas kebebasan individu dan kelompok lain.
Karena menurut hemat saya, para pendiri bangsa ini, sudah jauh-jauh hari menanamkan nilai-nilai dan prinsip tersebut dalam istilah bhineka tunggal ika berbeda-beda tetapi satu bangsa, satu tanah air dan satu Indonesia!
Namun, kita tentu pula berharap bahwa aparat pemerintah utamanya kepolisian bukan menjadikan edaran hate speech ini sebagai alat untuk mengancam kebebasan berpendapat, berserikat,dan berkumpul yang dimiliki oleh warga negara. Karena jika itu yang akan dilakukan oleh pemerintah melalui surat edaran ini, maka sudah hampir dipastikan ini merupakan sebuah pesan gejolak revolusi!
Oleh:
Rahmad M Arsyad
Pengurus Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia (ISKI) Sulawesi Selatan