Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Saatnya Semua Bertindak Cegah HIV dan AIDS

temuan penelitian yang dilakukan oleh PKMK FK UGM (2014) bahwa pembiayaan AIDS masih sangat minim di berbagai daerah.

Editor: Aldy

Kota Makassar, sebagai salah pusat kawasan timur Indonesia, telah mendapat kehormatan sebagai tuan rumah pelaksanaan Pertemuan Nasional AIDS ke-5 yang akan diselenggarakan pada 27 hingga 29 Oktober 2015. Diperkirakan dihadiri lebih 1.000 dari perwakilan pemerintah, organisasi masyarakat sipil, akademisi, praktisi, jaringan populiasi ODHA (Orang Dengan HIV dan AIDS), perusahaan swasta dan media nassa.
Dari lembaga internasional/bilateral akan hadir perwakilan dari UN Agencies, UNAIDS, UNODS, UNFPA, UN Women, WHO, WFP, ILO dan The HIV Cooperation Program for Indonesia (HPCI). Pertemuan nasional ini mengambil tema Saatnya Semua Bertindak. Jika dilihat dari perkembangan epidemi kasus HIV dan AIDS di Indonesia maka sangat tepatlah pemilihan tema tersebut.
Epidemi HIV dan AIDS saat ini sangat mengkuatirkan. Betapa tidak, berdasarkan laporan Kementerian Kesehatan Triwulan IV tahun 2014, tercatat jumlah kumulatif infeksi HIV yang dilaporkan sampai dengan Desember 2014 sebanyak 160.138. Jumlah infeksi HIV tertinggi yaitu di DKI Jakarta (34.641), Jawa Timur (20.761), Jawa Barat (13.938), Bali (10.188) dan Papua (7.365).
Untuk jumlah kumulatif AIDS, tercatat sebanyak 65.790 orang. Persentase kumulatif AIDS tertinggi pada kelompok umur 20-29 tahun (32,2%), 30-39 tahun (29,1%), 40-49 tahun (11,4%), 50-59 tahun (3,7%) dan 15-19 tahun (3,1%) dengan persentase komposisi 54% laki-laki, 30% perempuan serta 16% tidak melaporkan jenis kelamin. Adapun faktor risiko penularan terbanyak melalui heteroseksual (63,5%), penasun (12,8%), perinatal (2,7%) dan homoseksual (2,5%).
Untuk Sulawesi Selatan, hingga Maret 2015, perkembangan kasus HIV dan AIDS secara kumulatif yang terlaporkan sudah menghampiri angka 10 ribu yaitu 9.515 kasus HIV dan AIDS (6.044 kasus HIV dan 3.472 kasus AIDS). Ironisnya, dari 24 kabupaten/kota di Sulawesi Selatan, tidak ada satupun yang bebas dari kasus ini. Semua telah memiliki kasus HIV dan AIDS.
Namun demikian jika dirangking dari 10 besarkasus HIV dan AIDS, yang terbanyak masih di dominasi oleh Kota Makassar sebanyak 7.754 kasus. Kemudian menyusul Parepare 4.852 kasus, Jeneponto 149 kasus, Gowa 124 kasus, Bulukumba 113. Kemudian menyusul lagi Palopo 113 kasus, Sidrap 106 kasus, Wajo 99 kasus, Pinrang 90 kasus, Maros 61 kasus, dan Luwu Timur 52 kasus.
Tujuan Pengendalian
HIV adalah virus yang membunuh sel darah putih (CD 4) di dalam tubuh. Sel darah putih berfungsi membantu melawan infeksi dan penyakit yang masuk ke dalam tubuh. Sedangkan AIDS terjadi setelah virus HIV masuk ke dalam tubuh seseorang dan menghancurkan sistemkekebalan tubuhnya. Ketika sistem kekebalan tubuh seseorang sudah rusak, maka tubuh akan mudah terserang penyakit dan bahkan dapat meninggal dunia.
Orang yang terinfeksi HIV dapat terlihat sehat dan biasanya tidak tahu bahwa dirinya sudah terinfeksi HIV, sehingga dapat menyebarkan virus ini kepada orang lain. Tes HIV adalah salah satu cara untuk mengetahui apakah seseorang sudah terinfeksi HIV. Jika menurunkan jumlah kasus baru HIV, menurunkan angka kematian, menurunkan stigma dan diskriminasi serta meningkatkan kualitas hidup ODHA (Orang dengan HIV dan AIDS) adalah tujuan dari pengendalian kasus HIV dan AIDS maka tujuan tersebut masih jauh dari harapan.
Pemerintah memang telah mengeluarkan berbagai regulasi untuk mencegah dan menanggulangi penyakit tersebut, mulai dari Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, Instruksi Menteri, sampai dengan berbagai Peraturan Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota dan Peraturan Gubernur. Menurut Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) terdapat sekitar 247 kebijakan sampai dengan tahun 2014.
Akan tetapi keberadaan Kebijakan AIDS belum mampu menurunkan epidemi AIDS dan Indonesia merupakan penyumbang 23 % infeksi baru di Asia Pasifik. Hanya kalah dari India yang menyumbang 38 % seperti dilansir oleh laporan UNAIDS.
Namun sayangnya, kasus HIV dan AIDS masih meningkat kasusnya. Artinya tindakan Pemerintah mengeluarkan berbagai regulasi, belum berhasil meredam kasus tersebut. Masih Ada kesenjangan antara produk regulasi penanggulangan AIDS dengan implementasinya di lapangan.
Menurut M Suharni, secara normatif upaya penanggulangan AIDS di Indonesia sudah memiliki banyak kebijakan baik di tingkat pusat maupun di daerah. Seperti disinyalir oleh Prichet (2014) masalah utama yang dihadapi oleh negara berkembang seperti Indonesia adalah kapasitas mengimplementasikan kebijakan bukan pada memproduksi kebijakan.
Regulasi upaya penanggulangan AIDS di tingkat pusat dan daerah sudah ada dalam bentuk perda, SK bupati, dan Renstra. Bagaimana konsekwensi dari adanya kebijakan tersebut? Idealnya dengan adanya kebijakan tersebut upaya penanggulangan AIDS, pemerintah memiliki tanggungjawab untuk mengoperasionalisasikan dan menjalankan mandat secara konsisten. Secara nyata tanggungjawabnya adalah memberikan pengalokasian pembiayaan untuk penanggulangan AIDS secara memadai.
Dalam praktik, seperti temuan penelitian yang dilakukan oleh PKMK FK UGM (2014) bahwa pembiayaan AIDS masih sangat minim di berbagai daerah. Belum ada komitmen yang jelas dari pemerintah dan ada keengganan untuk memprioritaskan penanggulangan AIDS. Hal tersebut dipengaruhi oleh konteks sosial, budaya dan politik di Indonesia yang masih kuat menstigmatisasi HIV dan AIDS.
Sehingga upaya penanggulangan AIDS oleh berbagai SKPD maupun kelompok masyarakat luas masih mendapatkan tantangan yang besar. Salah satunya adalah disebabkan oleh lemahnya pemahaman pemerintah daerah terhadap isu AIDS sebagai masalah kompleks yang perlu ditangani secara multisektoral. Akibatnya, pemangku kepentingan strategis yang mempunyai kekuasaan atau otoritas politik yang tinggi belum menunjukkan dukungannya.
Berdasarkan kenyataan di atas, maka saatnyalah semua pihak diharapkan bertindak mencegah HIV dan AIDS dengan berbagai pendekatan. Di antaranya, petama, melakukan gerakan sensitisasi kepada para pemangku kepentingan seperti kepala daerah, DPRD dan bappeda agar mereka mempunyai komitmen dan kepemilikan terhadap upaya penanggulangan AIDS di wilayahnya. Saat ini, walaupun telah hampir semua provinsi dan kabupaten/kota telah memiliki KPA (Komisi Penanggulangan AIDS), namun sebagian besar hanya sekedar nama. Tidak jelas apa programnya dan berapa anggaran yang telah disiapkan. Bahkan beberapa KPA kabupaten/kota yang tidak jelas siapa pengurusnya dan di mana kantornya.
Kedua, peran serta yang konkrit dari institusi pendidikan umum dan pesantren, termasuk majelis taklim dengan berbagai program dan kegiatannya untuk mencegah dan menanggulangi HIV dan AIDS. Ketiga, peran serta dunia usaha dan industri, mulai dari hulu hingga hilir dengan berbagai kegiatan sosialisasi/penyadaran tentang bahaya HIV/AIDS dan cara mencegahnya, terutama usaha dalam bidang tempat hiburan malam dan wisata. Keempat, mengintensifkan kampanye pencegahan HIV dan AIDS di wilayah yang beresiko tinggi terhadap penularan HIV dan AIDS, seperti lokalisasi prostitusi, pekerja anak, anak jalanan dan daerah pertambangan secara massif, terstruktur dan berkesinambungan. Kelima, melakukan gerakan desa dan kelurahan peduli AIDS. Dan terutama keenam, perlindungan rumah tangga terhadap bahaya HIV dan AIDS. Selamat atas pelaksanaan Pernas AIDS V.(*)

Oleh :
Baharuddin Solongi
Koord. Bidang Advokasi Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi Sulawesi Selatan

Sumber: Tribun Timur
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Financial Wellness

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved