Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Wajibkah Suami Puaskan Seks Istrinya? Ini Kata al-Qur'an dan Hadis

Pada tafsir Ibnu Katsir: makna sakinah ada tiga: tiga: lita’tafu (saling mengikat hati), tamilu ‘ilaiha (condong kepadanya) dan tadma’inu biha

Editor: Ilham Mangenre
google
ilustrasi 

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mempersaudarakan Salman dan Abu Darda’. Suatu hari Salman mengunjungi Abu Darda’. Ketika itu Salman melihat istri Abu Darda’ yakni Ummu Darda’ dalam kondisi kurang baik.

Salman pun bertanya kepada Ummu Darda, “Kenapa keadaanmu seperti ini?” Ia menjawab, “Saudaramu, Abu Darda’, seakan-akan tidak lagi mempedulikan dunia.” Abu Darda’ kemudian datang. Salman pun membuatkan makanan untuk Abu Darda’.

Salman berkata, “Makanlah”. Abu Darda’ menjawab, “Maaf, saya sedang puasa.” Salman pun berkata, “Aku pun tidak akan makan sampai engkau makan.” Lantas Abu Darda’ memakan makanan tersebut.

Ketika malam hari tiba, Abu Darda’ pergi melaksanakan shalat malam. Melihat itu, Salman mengatakan, “Tidurlah”. Abu Darda’ pun tidur. Namun kemudian ia pergi lagi untuk shalat. Kemudian Salman berkata lagi, “Tidurlah”. Ketika sudah sampai akhir malam, Salman berkata, “Mari kita berdua shalat.”

Lantas Salman berkata lagi pada Abu Darda’, “Sesungguhnya engkau memiliki kewajiban kepada Rabbmu. Engkau juga memiliki kewajiban terhadap dirimu sendiri dan engkau pun punya kewajiban pada keluargamu (melayani istri).

Maka tunaikanlah kewajiban-kewajiban itu secara proporsional.” Abu Darda’ lantas mengadukan Salman pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lantas beliau bersabda, “Salman itu benar” (HR. Bukhari)

Dalam riwayat yang lain disebutkan lebih teknis.

“Jika seseorang di antara kamu berhubungan dengan istrinya, hendaklah ia lakukan dengan penuh kesungguhan. Jika ia menyelesaikan kebutuhannya sebelum istrinya mendapatkan kepuasan, maka janganlah ia buru-buru mencabut hingga istrinya mendapatkan kepuasannya juga.” (HR. Abdur Razaq dan Abu Ya’la, dari Anas)

Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad dan Ibnu Taimiyah berpendapat, suami wajib menggauli istrinya sesuai dengan kemampuan suami dan kecukupan istri.

Sedangkan Ibnul Qayyim Al Jauziyah mengutip pendapat para gurunya yang menguatkan pendapat bahwa suami harus memuaskan istrinya ketika berhubungan, jika memungkinkan, sebagaimana dia wajib memuaskannya dalam memberi makan.

Adapun jika suami sakit atau secara medis terhalang dari kemampuan memenuhi hal itu, maka penyelesaiannya dikembalikan kepada keridhaan masing-masing.

Sebab pada dasarnya, pernikahan adalah ikatan yang dibentuk atas dasar keridhaan.

Begitupun ketika ada masalah dalam rumah tangga, hendaknya saling ridha menjadi solusinya. Wallahu a’lam bish shawab. (Webmuslimah.com)

Halaman 2/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved