Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

MTR dan AMF 2015

Perang antar kelompok, geng motor, peluru nyasar atau penembakan misterius adalah kasus yang kerap menghiasi halaman depan koran lokal Makassar.

Editor: Aldy

Suatu sore pada bulan Ramadan, Wali Kota Makassar Danny Pomanto hadir pada jamuan buka puasa di salah satu kelurahan. Kebetulan hari itu juga tepat sehari sebelum pemilihan presiden. Saat didaulat untuk memberikan sambutan, Danny memilih untuk membahas mengenai program andalannya yakni MTR alias Makassarta Tidak Rantasa. Ia juga menyempatkan untuk mengimbau masyarakat agar tidak golput esok hari. Danny mengatakan bahwa bukan hanya membuang sampah sembarangan yang , tapi tidak mencoblos pun adalah perbuatan .

Entah sadar atau tidak, saat melontarkan kalimat tersebut, Danny telah memperluas makna dari kata rantasa'. Dalam bahasa Makassar, kata rantasa' dapat diterjemahkan menjadi jorok atau kotor. Kata ini biasanya merujuk pada objek seperti sampah ataupun ucapan yang kurang pantas. Lingkungan yang kotor dapat disebut rantasa. Ucapan kasar dan menghina seseorang pun dapat disebut rantasa'. Artinya kata rantasa tidak hanya berkaitan dengan benda mati tapi juga berkaitan dengan sifat atau perilaku.

Namun, dalam konteks kalimat yang diutarakan oleh Danny, golput tampaknya tidak termasuk dalam dua kategori diatas. Golput jelas bukan sampah. Tapi apakah golput juga merupakan perilaku yang tidak pantas? Pernyataan ini masih dapat diperdebatkan. Tapi bukan masalah golputnya yang menjadi poin. Tapi soal luasnya makna kata rantasa. Kata ini rupanya cukup fleksibel dan dapat digunakan dalam beberapa konteks permasalahan.

Tak aman

Sebagai warga kota metropolitan di mana denyut aktifitasnya hampir 24 jam, keamanan adalah prioritas. Apalagi Wali Kota Makassar sudah ‘berani’ mengundang para wali kota dari seluruh Asia Tenggara dalam Asean Mayors Forum. Lewat tema ‘Come and See ‘, para tamu ini kelak akan membawa kesan mereka tentang Makassar kembali ke negaranya. Bila saja selama mereka disini kesan rantasa yang diperoleh, maka citra itulah yang akan melekat di benak warga negara mereka.

Perang antar kelompok, geng motor, peluru nyasar atau penembakan misterius adalah kasus yang kerap menghiasi halaman depan koran lokal Makassar. Maraknya kasus-kasus tersebut menggeser berita unjuk rasa berujung ricuh yang selama ini lekat sebagai 'citra' Makassar. Akibat maraknya kasus semacam itu, kita pun menjadi khawatir untuk bepergian terutama pada malam hari. Kita mungkin senantiasa was-was saat mengendarai motor atau mobil bila melintas di jalanan. Sebab bahaya diserang kawanan geng motor atau terkena peluru nyasar bisa terjadi kapan dan dimana saja.

Meminjam istilah rantasa ala wali kota, rasa-rasanya kondisi kota Makassar saat ini sudah dapat dikatakan rantasa. Ya, kota yang punya semboyan menuju kota dunia ini sudah tak nyaman dan aman lagi bagi penduduknya. Sudah tidak memberikan rasa tenteram sebagaimana kota impian berskala dunia. Kota ini sudah rantasa dalam hal keamanan dan ketentraman. Sungguh suatu yang ironi, sebab Makassar kerap disebut sebagai salah satu kota yang paling aman dan nyaman untuk ditinggali di Indonesia.

Meskipun hal ini sudah sampai pada taraf menghawatirkan, pihak-pihak yang semestinya bertanggung jawab akan hal ini belum juga memperlihatkan usahanya. Setidaknya hingga saat ini kasus-kasus di atas masih kerap terjadi. Artinya dapat disimpulkan bahwa sekalipun ada usaha, tetap belum maksimal dan berefek. Maka tak mengherankan bila beberapa waktu lalu muncul usulan agar tentara turun tangan menangani geng motor. Boleh jadi ini merupakan bentuk keputusasaan masyarakat terhadap kinerja penegak hukum.

Langkah Preventif

Di berbagai sudut jalan di kota Makassar, sampai di lorong-lorong sempit, dapat dengan mudah dijumpai spanduk bertuliskan "Berantas Geng Motor". Mungkin ini salah satu bentuk usaha untuk membuat kawanan geng motor gentar dan berpikir ulang untuk berbuat jahat. Namun pada kenyataannya, geng motor tetap saja merajalela. Sebagai masyarakat awam, tentu kita bisa mengajukan pertanyaan, sesulit itukah polisi mencegah aksi geng motor? Sesusah itukah polisi mengidentifikasi mereka? Atau seberat itukah memberantas mereka? Lalu kemana data intelijen mereka? Apa gunanya operasi rutin yang dilakukan pada malam hari itu?

Begitu pula dengan perang antarkelompok. Meskipun sudah berkali-kali diimbau, tetap saja perang terjadi. Saking seringnya, kita mungkin sudah dapat membuat peta, wilayah mana saja di Makassar ini yang tergolong rawan. Bahkan sampai-sampai muncul istilah 'daerah Texas', merujuk ke salah satu negara bagian Amerika Serikat yang sering terjadi perkelahian antar cowboy di masa lalu. Bila masyarakat saja sudah bisa memetakan, maka mustahil bila penegak hukum tak tahu. Tapi mengapa seolah tak ada langkah preventif untuk itu? Maka wajar rasanya bila masyarakat kemudian menganggap bahwa aparat penegak hukum dan Pemerintah Kota Makassar tak punya usaha lebih untuk menyelesaikan masalah tersebut.

Bila hal ini terus dibiarkan, bisa jadi pada suatu masa, masyarakat akan jenuh dan kemudian kehilangan kepercayaan kepada penegak hukum dan pemerintah. Bila ini terjadi, maka kelak yang akan berlaku adalah tindakan anarkis dan hukum rimba. Masyarakat akan 'menyelesaikan' sendiri masalah-masalah mereka. Ujung-ujungnya kemudian adalah masalah baru yang menjadi lingkaran setan. Oleh karena itu, pihak-pihak yang semestinya bertanggungjawab harus secepatnya mencari solusi terbaik agar kota Anging Mammiri ini tidak tambah rantasa.

Oleh;
Abdul Rahman
Alumni penerbitan kampus Identitas-Universitas Hasanuddin

Sumber: Tribun Timur
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved