Puang Aji
"Kenapa dulu tidak ada Haji Diponegoro, Kiai Haji Mojo, padahal mereka sudah haji? Dulu kiai-kiai enggak ada gelar haji, wong itu ibadah kok.
Labbaikallaahumma labbaik Labbaika laa syarikalah labbaik. Ibadah haji merupakan ibadah unik, berbeda dengan ibadah-ibadah yang lainnya, sebut saja misalnya menunaikan zakat yang cenderung sepi “peminat”. Ibadah haji, walaupun untuk menunaikannya, masyarakat dituntut untuk menunggu bahkan hingga berpuluh-puluh tahun sebelum waktu keberangkatannya. Semangat untuk berhaji tidak akan surut. Bahkan ada yang rela memaksakan diri untuk meminjam uang agar dapat disetorkan kepada bank sebagai setoran ibadah hajinya. Padahal rumah yang ia tinggali pun masih relatif tergolong kurang layak untuk dihuni. Atau bahkan bisa jadi, ia sendiri tidak memiliki persiapan untuk kehidupannya sepulang dari tanah suci kelak, khususnya persiapan finansial.
Menunaikan ibadah haji sepertinya memang memiliki magnet tersendiri bagi umat muslim hingga seakan-akan ‘segalanya’ rela dikorbankan demi berangkat ke tanah haram. Sangat baik sesungguhnya, karena fenomena ini paling tidak menunjukkan bahwa betapa besar antusiasme umat muslim untuk memenuhi panggilan Rabbnya yang merupakan kewajibannya yang paling tidak harus ia tunaikan sekali seumur hidup. Namun, sepertinya ada yang kurang ketika melihat jamaah calon haji yang berangkat dengan menggunakan uang tabungannya, dan ketika pulang ia tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya karena tabungannya selama ini habis untuk membiayai perjalanan hajinya. Ada lagi yang sepulang dari tanah suci tidak mau lagi berbaur dengan masyarakat yang belum ‘haji’ atau bahkan tidak ingin berpaling jika namanya tidak didahului panggilan ‘Puang Aji’. Apakah memang yang seperti ini yang diinginkan oleh agama? Ataukah kita melupakan sesuatu mengenai ibadah yang mampu mengumpulkan jutaan umat muslim dari seluruh dunia pada tempat dan waktu yang bersamaan ini?
Wajib Bagi “Yang Mampu”
“…dan menunaikan ibadah haji “bagi yang mampu”. Demikianlah sabda Nabi saw. mengenai haji. Allah swt. juga berfirman dalam QS. Ali ‘Imraan[3]: 97 yang lebih kurang maknanya adalah … Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Al-Baidhawi dalam tafsirnya Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil mengatakan bahwa yang dimaksud mampu (istitha’ah) dalam ayat diatas adalah mampu dalam arti memiliki bekal dan mampu mengadakan perjalanan. Sedangkan disebutkan oleh Al-Maraghi dalam tafsirnya bahwa kemampuan yang dimaksud adalah termasuk pula kemampuan dalam membiayai perjalanan, melunasi utang, dan tetap mampu memberikan nafkah kepada siapa yang wajib ia nafkahi hingga ia kembali dari berhaji.
Dari uraian tersebut, paling tidak dapat dipahami bahwa kewajiban melaksanakan ibadah haji hanya bagi orang yang mampu fisik dan finansial, yaitu mampu membiayai perjalanannya hingga kembali ke Tanah Air, mampu tetap membiayai kebutuhan hidup orang-orang yang ia tinggalkan yang wajib ia nafkahi semenjak ia pergi hingga kembali lagi dan mampu melunasi utang-utangnya sebelumnya. Sehingga, sepulangnya dari tanah suci itu, kehidupannya bisa menjadi lebih baik karena berkah dari hajinya, atau paling tidak sama kondisinya dengan sebelum ia berhaji. Dan bukan malah kerepotan meminta-minta kesana kemari karena tak ada yang mampu ia makan hanya karena ikut-ikutan ingin bergelar haji atau ingin dipanggil “Puang Aji”.
Strata Sosial
Perlu kita ketahui bahwa ternyata gelar haji merupakan pemberian dari kolonialis. Mengenai hal ini, berikut penulis sajikan uraian mengenai sejarah gelar haji yang penulis kutip dari www.nu.or.id. Arkeolog Islam Nusantara, Agus Sunyoto, menyatakan hal tersebut mulai muncul sejak tahun 1916.
"Kenapa dulu tidak ada Haji Diponegoro, Kiai Haji Mojo, padahal mereka sudah haji? Dulu kiai-kiai enggak ada gelar haji, wong itu ibadah kok. Sejarahnya dimulai dari perlawanan umat Islam terhadap kolonial.
Setiap ada pemberontakan selalu dipelopori guru thariqah, haji, ulama dari pesantren, sudah, tiga itu yang jadi 'biang kerok' pemberontakan kompeni, sampai membuat kompeni kewalahan," Penulis buku “Atlas Wali Songo” itu menambahkan, para kolonialis sampai kebingungan karena setiap ada warga pribumi pulang dari tanah suci Mekkah selalu terjadi pemberontakan.
"Tidak ada pemberontakan yang tidak melibatkan haji, terutama kiai haji dari pesantren-pesantren itu,". Untuk memudahkan pengawasan, pada tahun 1916 penjajah mengeluarkan keputusan Ordonansi Haji yaitu setiap orang yang pulang dari haji wajib menggunakan gelar ‘haji’ supaya gampang diawasi intelijen. Sejak 1916 itulah setiap orang Indonesia yang pulang dari luar negeri diberi gelar haji," ujar Agus.
Dengan demikian,memang sangat tidak wajar ketika kita memaksakan diri menunaikan ibadah haji hanya karena ingin dipanggil ‘Aji’ atau ‘Puang Aji’ sebagai simbol strata sosial yang tinggi. Niat sudah seharusnyalah menjadi hal pertama yang harus dimatangkan sebelum melaksanakan ibadah haji. Bahkan niat dalam melaksanakan ibadah haji ini secara gamblang disebut dalam QS. al-Baqarah [2] :196 Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah...Semoga jamaah haji kita menjadi haji yang mabrur. Amin. Wallahu A’lam Bishshawab.
Oleh;
Darul Ma’arif Asry
Mahasiswa Tafsir Hadis Khusus UIN Alauddin Makassar