Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Ini Ruginya Kalau Abaikan Ibadah Gerhana Bulan

Gerhana adalah sebuah kejadian besar yang banyak dianggap remeh manusia.

Editor: Ilham Mangenre
TRIBUN TIMUR/SANOVRA JR
Gerhana bulan saat diabadikan di Makassar, Sulawesi Selatan, Sabtu (4/4/2015) malam. 

Sedangkan Nabi Shallallahu `alaihi wa Sallam sangat menekankan tentang kejadian ini, kemudian tidak ada dosa sama sekali tatkala orang lain mulai berani meninggalkannya.

Maka, pendapat ini perlu ditilik ulang, bagaimana bisa dikatakan sesuatu yang menakutkan kemudian dengan sengaja kita meninggalkannya? Bahkan seolah hanya kejadian biasa saja? Dimanakah rasa takut?

Dengan demikian, pendapat yang mengatakan wajib, memiliki argumen sangat kuat. Sehingga jika ada manusia yang melihat gerhana matahari atau bulan, lalu tidak peduli sama sekali, masing-masing sibuk dengan dagangannya, masing-masing sibuk dengan hal sia-sia, sibuk di ladang; semua itu dikhawatirkan menjadi sebab turunnya adzab Allah, yang kita diperintahkan untuk mewaspdainya.

Maka pendapat yang mengatakan wajib memiliki argumen lebih kuat daripada yang mengatakan sunnah.

Dan Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin pun menyatakan, "Jika kita mengatakan hukumnya wajib, maka yang nampak wajibnya adalah wajib kifayah."

Adapun shalat gerhana bulan, terdapat dua pendapat yang berbeda dari kalangan ulama.

Pendapat pertama. Sunnah muakkadah, dan dilakukan secara berjama'ah seperti halnya shalat gerhana matahari. Demikian ini pendapat Imam asy- Syâfi'i, Ahmad, Dawud Ibnu Hazm. Dan pendapat senada juga datang dari `Atha, Hasan, an-Nakha`i, Ishâq dan riwayat dari Ibnu `Abbas Radhiallahu'anhu.

Dalil mereka:

"Sesungguhnya matahari dan bulan adalah bukti tanda-tanda kekuasaan Allah. Sesungguhnya, keduanya tidak mengalami gerhana karena kematian seseorang, dan tidak pula karena hidupnya seseorang. Oleh karena itu, bila kalian melihatnya, maka berdoalah kepada Allah dan shalatlah sampai terang kembali." (Muttafqun `alaihi).

Pendapat kedua. Tidak dilakukan secara berjama'ah. Demikian ini pendapat Imam Abu Hanifah dan Mâlik.

Dalilnya, bahwa pada umumnya, pelaksanaan shalat gerhana bulan pada malam hari lebih berat dari pada pelaksanaannya saat siang hari. Sementara itu belum ada riwayat yang menyebutkan bahwa Nabi Shallallahu `alaihi wa Sallam menunaikannya secara berjama'ah, padahal kejadian gerhana bulan lebih sering dari pada kejadian gerhana matahari.

Manakah pendapat yang kuat? Dalam hal ini, ialah pendapat pertama, karena Nabi Shallallahu `alaihi wa Sallam memerintahkan kepada umatnya untuk menunaikan keduanya tanpa ada pengecualian antara yang satu dengan lainnya (gerhana matahari dan bulan).

Sebagaimana di dalam hadits disebutkan, "Maka Rasulullah Shallallahu `alaihi wa Sallam keluar menuju masjid, kemudian beliau berdiri, selanjutnya bertakbir dan sahabat berdiri dalam shaf di belakangya." (Muttafaqun `alaihi)

Ibnu Qudamah Rahimahullah juga berkata, "Sunnah yang diajarkan, ialah menunaikan shalat gerhana berjama'ah di masjid sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu `alaihi wa Sallam, walaupun boleh juga dilakukan sendiri-sendiri.

Namun pelaksanaannya dengan berjama'ah lebih afdhal (lebih baik). Karena yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu `alaihi wa Sallam ialah dengan berjama'ah. Sehingga, dengan demikian, sunnah yang telah diajarkan ialah menunaikannya di masjid."

Halaman 2/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved