Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Mengenali Pemimpin Narsistik

ternyata para pemimpin narsistik memiliki karisma dan visi yang kuat untuk membuat kepemimpinan mereka efektif. Namun sisi negatifnya lebih kompleks..

Editor: Aldy

Narcissus adalah tokoh mitologi Yunani yang dilukiskan sebagai sosok gagah. Ia dicintai begitu banyak ciptaan, terutama lawan jenis, tetapi tidak mencintai siapa-siapa. Bahkan tega mencampakkan Echo, yang cintanya begitu total hingga tergila-gila padanya. Narcissus hanya mencintai dan memuja dirinya sendiri, sambil menikmati kekaguman oranglain pada dirinya. Suatu hari ketika sedang berdiri di tepi kolam yang tenang, ia melihat sosok yang begitu memikat hatinya. Sosok itu bahkan memberi reaksi-reaksi resiprokal pada setiap gerak-geriknya. Ketika Narcissus senyum mesra, dia balas dengan senyum yang sama mesranya. Narcissus sontak jatuh hati, mendekati dan mencemplungkan dirinya untuk merangkul dan mencium sosok itu. Tentu saja sosok itu menghilang, karena itu hanya bayangan dirinya. Narcissus patah hati, berhenti makan-minum hingga mati mengenaskan dalam keputusasaan.
Dalam perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya psikiatri, nama Narcissus kemudian digunakan untuk menjelaskan personality disorder atau kelainan dalam kepribadian yakni narcissism, narcissistic (disederhanakan jadi ‘narsistik’). Penelitian menyimpulkan, dari 100 orang terdapat 1 orang narcissist, banyak diantaranya menjadi pemimpin di berbagai bidang. Itulah sebabnya kajian ilmiah tentang “kepemimpinan narcissistik” menjadi sangat menarik. Salah satu kajian itu adalah karya bersama Seth A.Rosenthal dan Todd L.Pittinsky dalam The Leadership Quarterly 17 (2006) 617–633 berjudul Narcissistic Leadership, yang menjadi sumber utama tulisan ini.
Pemimpin Narcissistik
Rosenthal-Pittinsky mengutip 9 karakteristik personality disorder dari para narcissists sebagai-mana dirumuskan oleh American Psychiatric Association: (1) merasa diri besar dan penting, (2) dikuasai oleh fantasi keberhasilan dan kekuasaan tanpa-batas, (3) percaya pada status “spesial” dirinya, (4) selalu butuh kekaguman yang eksessif, (5) mengharapkan gelar-gelar yang tak masuk akal, (6) eksploitasi interpersonal, (7) tidak punya empati, (8) irihati, serta (9) sikap dan perilaku arrogan. Pribadi narsissistik tidak segan-segan mengeksploitir dan memerlakukan orang lain sebagai alat untuk meraih semua fantasi dan obsesi tersebut.
Kajian lebih mendalam atas para pemimpin kemudian sampai pada beberapa karakteristik pemimpin narsistik, baik positif maupun negatif. Secara eksplisit disebutkan beberapa tiran-narcissist dalam sejarah modern seperti Adolf Hitler, Joseph Stalin, Saddam Hussein, Mao Zedong. Juga pendiri Partai Nazi Amerika, George L.Rockwell, dan pemimpin kultis Jim Jones, pendiri Peoples Temple yang menghebohkan dunia karena upacara bunuh-diri massal bersama 909 pengikutnya di Jonestown, Guyana, 1978.
Sisi positifnya, ternyata para pemimpin narsistik memiliki karisma dan visi yang kuat untuk membuat kepemimpinan mereka efektif. Namun sisi negatifnya lebih kompleks dan eksessif.  [1] Arrogansi: puas dengan diri/pendapat sendiri, angkuh, tidak fleksibel dan berpandangan sempit-picik, sehingga mengabaikan masukan-masukan dari luar. [2] Perasaan inferior: arrogansi dan berbagai perasaan-diri besar ternyata hanya merupakan mekanisme pertahanan-diri (defence mechanism).  Jauh didalam hati mereka ternyata terpatri konsep-diri negatif, terutama rasa hampa, rendah-diri, dan rasa-terancam. Satu kesalahan kecil saja dalam ucapan dan langkah pengikut bahkan mitranya bisa memprovokasi reaksi berlebihan dari sang pemimpin. [3] Kebutuhan tak-terpuaskan akan pengakuan dan superioritas: dalam posisi sebagai penguasa, pemimpin narsistik punya banyak pilihan untuk membuktikan kebolehannya; lihay menggunakan retorika untuk menjelaskan proyek-proyek ‘mercu-suar’ yang sebenarnya bertujuan untuk dapat pengakuan dan pujian, bukan karena dibutuhkan oleh mereka yang dipimpinnya. Menuntut  loyalitas dan pengabdian mutlak para pengikutnya, disertai berbagai ancaman hingga penyingkiran dengan pembunuhan. [4] Hipersensitif dan pemarah: ketika harga-diri serta rasa-diri benar dan besar sendiri (grandiosity) terganggu,  pemimpin narsistik akan bereaksi secara hipersensitif dan marah secara tak-terkendali. Karena mudah merasa terancam dan tersinggung, mereka cenderung memberi respons bermusuhan dan berlebihan kepada mereka yang dianggap sebagai ancaman. [5] Ketiadaan empaty: karena selalu berpusat pada diri sendiri (egosentrik), pemimpin narsistik tidak mampu memahami perasaan dan penderitaan oranglain. [6] Amoralitas: pada saat marah tak terkendali, pemimpin narsistik tidak akan ragu bertindak kejam dan sadis. Tidak hanya pada musuh-musuhnya, melainkan juga pada pendukungnya yang tidak mampu memenuhi tuntutannya. Misalnya, tindakan ‘pembersihan’ Partai Baath oleh Saddam Hussein pada tahun 1979. [7] Paranoia: para pemimpin narsistik juga cakap “menciptakan musuh yang sebenarnya tidak ada”. Meski dikelilingi oleh para penjilat dan pencari-muka, para pemimpin narsistik selalu hati-hati karena takut dan curiga terhadap maksud baik mereka.
Megalomania
Beberapa dari karakteristik diatas mengingatkan kita pada sikap/perilaku beberapa pemimpin pilihan rakyat di berbagai tingkatan. Yang paling mudah ditemukenali adalah megalomania: gila hormat, pujian, sanjungan, kekaguman. Untuk itulah mereka mengejar bahkan “membeli” kekuasaan. Itulah akar-muasal money politics. Setelah terpilih, hanya dua pilihan: “balas budi” dengan menghadiahkan jabatan pada tim sukses, atau “balas dendam” dengan menyingkirkan lawan-lawan politik. Gemar menunjukkan kekuasaan melalui atribut-atribut “wah”: mobil dinas mewah, pakaian dinas mahal, raungan sirene voorijders, pengawal pribadi, semua atas biaya rakyat. Gemar datang terlambat di setiap acara untuk menarik perhatian dan menunjukkan diri sebagai VVIP yang harus ditunggu semua orang; lebih suka menghadiri  acara-acara seremonial serta berpidato dariatas mimbar daripada berkeringat bersama rakyat.
Kita bersyukur, pasangan Jokowi-JK – juga sosok seperti Nurdin Abdullah, Tri Risma Harini, Ahok, Ridwan Kamil – pilihan rakyat di pilpres/pilkada sangat jauh dari ciri-ciri pemimpin narsistik. Mereka tampil dalam kesederhanaan, menggunakan mobil/fasilitas dinas “bekas” dari pendahulu, karena orientasi mereka melayani dan menyejahterahkan rakyat, bukan “mencari diri-sendiri” melalui pencitraan. Semoga kita semakin mampu mengenali dan memilih pemimpin empatik, yang benar-benar pro-rakyat.(*)

Oleh;
Philips Tangdilintin
Sekretaris Dewan Pakar ISKA Sulsel

Sumber: Tribun Timur
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Rusuh

 

Rusuh

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved