Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Pa'bambangngang na Tolo

Kata pa'bambangngang sendiri bisa berarti positif jika diambil arti dasarnya sebagai daya tanggap yang cepat.

Editor: Aldy

Dalam bahasa Indonesia pa'bambangngang na tolo berarti emosional dan bodoh. Ungkapan ini lazim dipakai di Makassar bila ada seseorang yang cepat marah tanpa berpikir panjang.
Alasan marahnya pun seringkali ngawur, tidak rasional, sekadar nekad. Sikap ini tentu tidak sama dengan sikap kesatria gagah berani yang ditunjukkan oleh pejuang Bugis Makassar dalam perang melawan penjajah.
Sejarah mencatat suku bugis makassar terkenal dengan keberaniannya. Meskipun Sultan Hasanuddin telah menyerah dan menandatangani Perjanjian Bongayya 1667, tapi banyak perajurit kesatria dan raja-raja kecil berdaulat di sekitar kerajaan Gowa dengan gagah berani terus melanjutkan perjuangan melawan penjajahan Belanda di seluruh Nusantara.
Karaeng Galesong III,  IV, dan V membantu perjuangan Raja Banten yang kebetulan juga bernama Sultan Hasanuddin, Pangeran Trunojoyo di Jawa Timur, serta raja-raja Mataram di Jawa Tengah. Tidak hanya di Nusantara, dalam sejarah Kerajaan Siam, pada tahun 1770, tercatat juga bagaimana 32 orang kesatria utusan Raja Gowa ke Kerajaan Siam yang hanya berbekal badik, bertempur dengan gagah berani tidak kenal rasa takutdengan 400 tentara Prancis dan Inggris yang telah dilengkapi persenjataan modern.
Memang dalam pappikatu (nasehat orang tua) Bugis Makassar, banyak disampaikan bahwa adalah Siri (malu besar) jika ada pekerjaan yang telah dimulai tidak diselesaikan. Diantaranya ada pepatah: sekali layar terkembang pantang biduk surut ke pantai, sekali badik terhunus, pantang disarungkan kembali sebelum ditusukkan ke lawan. Tapi ada juga pappaseng lain seperti yang dikatakan oleh To Maccaé ri Luwu, dari Lontarak Haji Andi Ninong: "Narekko moloiko roppo-roppo, rewekko mappikkirik" yang artinya: "Jika anda berjalan dan menjumpai semak belukar, kembalilah berpikir"
Ini menunjukkan bahwa sifat militansi gagah berani sangat dipuja dan dipraktekkan dalam sehari-hari oleh kesatria Bugis Makassar, namun demikian, berani tersebut bukanlah tanpa pertimbangan yang matang dengan segala risikonya.
Konsistensi dalam implementasi yang dilakukan dengan gagah berani wajib dilakukan setelah pertimbangan manfaat dan risiko telah diketahui, terukur, dan dapat dikendalikan, bahkan telah disiapkan langkah-langkah mitigasi dan proteksinya.
Jika itu dilakukan maka, bukanlah kategori pa'bambangngang na tolo. Kata pa'bambangngang sendiri bisa berarti positif jika diambil arti dasarnya sebagai daya tanggap yang cepat. Dalam konteks masa kini, kecepatan dalam bertindak sangat menentukan dalam meraih peluang dan memenangkan persaingan. Dalam hal ini berlaku pameo siapa yang cepat dia yang dapat.
Namun kata kedua Tolo (bodoh), seharusnya tidak boleh ditolerir. Karena kebodohan adalah awal dari malapetaka. Semua orang setuju bahwa bodoh bukanlah bakat atau bahkan turunan. Bodoh selalu diawali dengan kemalasan untuk belajar. Padahal, dengan belajar, seseorang akan berubah, dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak bisa menjadi bisa, dari tidak mampu menjadi mampu, dan dari bodoh menjadi cerdas. Seorang yang cerdas bila dilengkapi dengan jiwa "pa'bambangngan" dalam arti berani dan responsif menghadapi situasi, akan menjadikan orang tersebut "warani na macca" yaitu berani dan pintar.
Dengan begitu segala keputusan yang diambilnya adalah keputusan yang telah diolah secara cerdas sehingga ketika dilaksanakan, tidak menimbulkan keraguan sama sekali.
Ada juga istilah Pendekar Bodoh, seperti nama Perusahaan Restoran yang memiliki Restoran D'Cost, restoran makanan laut yang sangat terkenal di Jakarta dengan jaringan yang berkembang dengan sangat cepat.
Namun kondisinya agak berbeda karena kata bodoh di sini disandingkan dengan jiwa kepahalawan dan kebaikan hati. Dari pada jahat dan bodoh mungkin masih lebih baik baik hati meskipun bodoh. Selain itu, ternyata kata bodoh dalam pemahaman pengusaha pemilik restoran itu, hanya bertujuan menarik sensasi strategi pemasaran. Bodoh, dalam pemahaman sang wirausahawan tersebut karena Menjual Harga Kaki Lima Dengan Mutu Bintang Lima.
Secara umum mestinya menjual mutu bintang lima dengan harga bintang lima juga. Jadi, tetap saja sang pemilik restoran tersebut adalah orang cerdas karena melihat suatu ceruk pasar secara kreatif. Sebab ternyata, untuk menghasilkan produk murah mutu tinggi tadi, dia melakukan banyak inovasi dan rajin melakukan penelitian.
Seharusnya sikap Pa'bambangngang na tolo seperti yang mendasari terjadinya tawuran massal, baik yang dilakukan oleh mahasiswa di kampus maupun antar kelompok masyarakat di jalanan,  sudah seharusnya ditinggalkan di Makassar. Karena orang Bugis Makassar memang berani dan militan, tapi bukanlah tanpa perhitungan dan tanpa tujuan yang jelas dan mulia. Karena dengan begitu, mati akan berujung sahid, bukan mati sia-sia seperti sang Pa'bambangngan na Tolo tadi.(*)

Oleh;
Andi Ilham Said
Direktur Utama Yayasan Pendidikan dan Pembinaan Manajemen (PPM)

Sumber: Tribun Timur
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved