Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Jebakan Jurnal Internasional Abal-abal

Mendeteksi jurnal abal-abal sangat mudah dilakukan di search engine paling populer saat ini, Google

Editor: Aldy

Dalam beberapa tahun terakhir, beredar issue jurnal abal-abal. Dunia akademik dihebohkan dengan dimuatnya artikel di African Journal of Agricultural Research, Volume 7, issue 28, Juli 2012 yang penulis kedua dan ketiganya adalah dua selebritis Indonesia. Penulis pertamanya tak terlacak identitasnya alias penulis palsu. Penulis iseng artikel menghebohkan ini mencantumkan Institute of  Dangdut sebagai lembaga penelitian yang menaunginya dan Jalan Tersesat, No.100, Jakarta 10000, Indonesia sebagai alamatnya. Dunia akademik sentak tercengang, tentu dengan beragam respon. Seorang pustakawan penelitian ternama di Amerika Serikat meresponnya dengan menulis artikel tentang jurnal pemangsa dengan judul: "Predatory Publishers are Corrupting Open Access" yang diterbitkan di jurnal Nature,Volume  489, issue 179, September 2012.
Ini adalah salah satu bukti amburadulnya jurnal online walaupun di websitenya tercantum kalimat manis bahwa artikel yang masuk akan dikirim ke reviewer dan dinilai oleh dewan editor. Kalimat yang paling banyak menarik minat penulis di jurnal abal-abal, misalnya "jurnal ini diindex scopus, proquest, ebsco, ISI web of knowledge, dll", padahal jurnal abal-abalpun dapat diindex di web pengindex. Namun demikian, web pengindex ini akan menolak melanjutkan index  jurnal yang terbukti abal-abal sehingga tidak heran kalau kita biasa menemukan artikel di scopus yang mencantumkan informasi bahwa jurnal ini discontinued indexnya.
Jurnal abal-abal menjadi peluang bisnis menggiurkan bagi para mafia publikasi dan malapetaka bagi calon professor. Bagi mafia publikasi, mereka cukup dengan menyewa web space dan bisa langsung membuat ratusan jurnal online. Mereka mendeteksi email yang terpublikasi di internet kemudian mengirimkan pesan dengan menawarkan publikasi yang cepat plus proses yang sangat sederhana. Celakanya, jurnal abal-abal ini menjadi malapetaka bagi Doktor yang kebelet mencapai gelar professor. Mereka menjadi tumbal karena hasil penelitiannya yang dipublikasikan di jurnal abal-abal ini tidak dinilai oleh DIKTI sebagai syarat pemenuhan kenaikan pangkat/ jabatan Guru Besar/Lektor Kepala.
Kondisi ini dipicu oleh ketatnya persaingan publikasi di jurnal ternama. Publikasi di jurnal ilmiah terkenal yang memiliki reputasi bagus menyita waktu 4 sampai 6 bulan proses review, kemudian secara resmi dipubikasikan 3 sampai 6 bulan berikutnya. Namun demikian, jurnal yang sampai pada tahap ini hanya sebagian kecil dari ribuan artikel lainnya yang antri sehingga tidak jarang penulis yang kecewa. Baru seminggu artikelnya disubmit, langsung ada balasan bahwa dengan sangat menyesal, editor jurnal tidak bisa melanjutkan proses review karena ketatnya persaingan dengan artikel lainnya yang antri.
Bagi para penulis yang stress artikelnya ditolak mentah-mentah di jurnal ternama, akhirnya memilih alternatif lain yang jauh lebih mudah. Artikel yang sudah ditolak mentah-mentah di jurnal ternama akhirnya dikirim ke jurnal online abal-abal, seminggu berikutnya ada email baru di inbox bahwa artikel akan dipublikasikan setelah membayar sejumlah uang. Aneh bin ajaib, para penulis artikel ini diminta mengirim uang ke negara lain, bukan ke alamat website. Yang lebih konyol lagi, setelah para penulis ini terjebak, mereka diminta menjadi reviewer. Tidak tanggung-tanggung, reviewer ini bergelar Doktor , bahkan banyak yang Professor. Mereka tidak sadar bahwa pencantuman namanya hanya sebagai pelaris. Contoh lain yang sungguh luar biasa adalah artikel dikirim di pagi hari dan pengirimnya langsung mendapat pemberitahuan sore harinya bahwa tulisannya segera akan dipubikasikan setelah publication fee terkirim dan diterima oleh editor.
Artikel di jurnal ilmiah tidak bisa sekadar asli kalimat dan paragraphnya, namun juga harus memiliki novelty yang memberi kontribusi signifikan terhadap perkembangan ilmu pengetahuan. Tentu saja, unsur lain, seperti penggunaan referensi di literature review, research method, research design, data collection dan data analisisnya bukan akal-akalan. Apalagi, kalau ada jurnal yang mempublikasikan artikel yang sangat jelas unsur manipulasinya berupa pemalsuan biodata penulis dari artikel yang dimuat sebulan sebelumnya di jurnal lain.

Mendeteksi Jurnal Internasional Abal-abal
Isu jurnal abal-abal menghebohkan dan menggemparkan kehidupan akademik di seluruh penjuru dunia mendorong seorang Jeffrey Bealls, pustakawan senior di Unversity of Colorado, Denver , Amerika Serikat yang meluangkan waktunya membuat daftar penerbit dan jurnal pemangsa. Jeffreey Bealls adalah seorang pakar dalam bidang metadata, full-text searching, and information retrieval. Jeffrey Bealls telah menulis lebih dari 70 judul artikel terkait dengan bidang keahlianya sejak tahun 2001. Karya ilmiahnya dapat diakses di Google Scholar.
Black-list versi Jeffrey Bealls ini menjadi perbincangan tak berujung pangkal bagi pengelola jurnal yang masuk daftar pemangsa. Black list ini menjadi tamparan keras bagi pengelola jurnal tipu-tipu dan menjadi shock terapi bagi para penerbit nakal. Para ilmuwan, jangan hanya mengklaim diri sebagai orang pintar tetapi memilih publikasi di jurnal yang telah melakukan usaha pembodohan massal terhadap kaum intelektual.   
Mendeteksi jurnal abal-abal sangat mudah dilakukan di search engine paling populer saat ini, Google, cukup dengan mengetik "predatory open access publishers". Secara otomatis, daftar penerbit dan jurnal abal-abal yang disusun oleh Jeffrey Bealls muncul di laman pertama.  Daftar ini menjadi rujukan banyak Lembaga Penelitian dan Institusi Pendidikan untuk menentukan diterima tidaknya dokumen kelengkapan berkas bagi guru, dosen dan peneliti yang mengajukan permohonan perbaikan nasib. Tidak bisa dipungkiri bahwa banyak guru, dosen dan peneliti yang tidak tahu menahu black list ini sehingga mereka terjebak di jurnal abal-abal. Walaupun artikel mereka ditulis berdasarkan hasil penelitian dan tidak plagiat, karyanya tetap manjadi batu sandungan mencapai gelar tertinggi dalam dunia akademik akibat kecorobohan memilih jurnal.
Tidak semua jurnal abal-abal masuk dalam daftar hitam jurnal pemangsa versi Jeffrey Bealls. Cara lain mendeteksi jurnal abal-abal seperti ini adalah dengan mendeteksi link jurnalnya. Perhatikan Editorial Boardnya, banyak jurnal abal-abal tidak mencantumkan satupun nama di Editorial Boardnya. Ada juga yang memasang nama beberapa pakar di Editorial Boardnya tanpa persetujuan dengan pihak yang telah diklaim sebagai dewan editor. Jurnal abal-abal lainnya tetap mencantumkan nama editor tetapi hanya sekadar nama dan gelar, tidak jelas apa keahliannya, gelar akademiknya entah dari mana, Institusi Pendidikan yang menaunginya tidak jelas dan sejumlah kejanggalan lainnya.

Memilih Jurnal Internasional Asli
Sebelum mengirim artikel ke jurnal, terlebih dahulu tentukan ekspektasi apakah anda akan mengirim artikel ke jurnal kelas satu, kelas dua atau jurnal yang tidak pernah naik kelas. Pilihan jurnal akan menentukan tenggat waktu review dan tingkat kekritisan reviewer.  Artikel yang dikirim ke jurnal ternama akan diproses oleh admin untuk selanjutnya diseleksi awal oleh Managing Editor. Setelah itu, proses berikutnya dilanjutkan dengan review oleh Controlling Editor. Setelah ada restu dari Controlling Editor (expert), Editor in Chief kemudian mengirim artikel kepada dua Blind Reviewer tanpa mencantumkan nama penulis artikel demi objektifitas hasil review.  Prosedur ini menjadi standar baku bagi jurnal ternama. Alhasil,  mengirim artikel ke jurnal ini memerlukan kesabaran ekstra  karena setelah menuggu sekian lama, artikel dikembalikan ke penulis untuk direvisi. Selanjutnya, penulis artikel mengirim artikel yang sudah direvisi ke editor. Hasil revisi ini kemudian direview lagi, penulis yang beruntung akan menerima notifikasi bahwa artkelnya akan diterbitkan. Mulai dari saat mengirim artikel sampai benar-benar dipublikasikan secara online biasanya memakan waktu sekitar 1 tahun.  Bandingkan dengan jurnal abal-abal, hanya dalam waktu seminggu artikel sudah terbit.
Cara paling sederhana menentukan kualitas jurnal adalah dengan memilih jurnal yang diterbitkan oleh penerbit yang sudah mapan, seperti Elsevier, Jstor, Sage, Taylor&Francis Group, Emerald, Springer, dll. Jurnal yang diterbitkan oleh penerbit tersebut dapat diklasifikasikan berdasarkan Impact Factornya. Impact factor dikembangkan oleh Thomson Reuters yang mengevaluasi frekuensi rata-rata artikel dalam suatu jurnal dikutip dalam artikel di jurnal ternama lainnya. Semakin tinggi Impact Factornya, diasumsikan semakin tinggi pula kualitas jurnal. Kondisi ini mendorong munculnya kongkalikong untuk mendongkrak Impact Factor dengan membuat sindikat saling mengutip. Ibarat liga sepak bola di luar negeri yang kongkalikong dalam pengaturan skor demi mendapatkan tiket bermain di liga champion.

Peran Dosen Pembimbing
Ironis, dosen seharusnya berberpan sebagai filter untuk mencegah mahasiswanya publikasi di jurnal abal-abal, namun kenyataan membuktikan, justru dosenlah yang lebih banyak terjebak.
Bagaimanapun, dosen dituntut lebih intensif mengakses informasi ketimbang mahasiswanya. Mengapa demikian? Jawabnya, karena dosen pembimbing berperan sebagai pembimbing mahasiswa dalam penelusuran referensi yang sesua dengan topik penelitian, mengumpulkan data dan menganalisis data. Denga demikian, dosen pembimbing yang bertanggungjawab seperti ini berhak menjadi penulis kedua dalam artikel penelitian yang ditulis mahasiswa bimbingannya yang nantinya akan dipublikasikan di jurnal nasional atau Internsional asli. Dosen pembimbing dituntut tidak acuh tak acuh dalam melaksanakan tanggungjawabnya. Dosen pembimbing harus menunjukkan keseriusannya ketika membimbing proses penulisan karya ilmiah mahasiswa.
Menteri Pendidikan dalam beberapa kali kesempatan memaparkan bahwa kewajiban publikasi ilmiah bagi mahasiswa merupakan upaya membangun karakter yang bertanggungjawab. Tentu saja dosen pembimbing sebagai penulis kedua di artikel ilmiah mahasiswanya tidak akan gegabah memilih jurnal jadi-jadian karena jelas akan merugikan dirinya sendiri kalau ternyata tidak hati-hati memilih jurnal tempat publikasi.
Pemerintah bahu membahu dengan para ilmuwan Indonesia yang masih memiliki integritas akademik merespon prahara jurnal abal-abal dengan aksi nyata.  Aksi ini diwujudkan melalui Indonesian Citation Index (ICI), proyek kerjasama Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi (DIKTI) dengan ITB dan Indonesian Publication Index (IPI). Akademisi Indonesia berharap, baik ICI maupun IPI sebagai pangkalan data tingkat nasional dapat terus bekerja sama sehingga mampu mendorong budaya penelitian dan membenahi kualitas jurnal terbitan Indonesia. Semoga!

Oleh;
Andi Anto Patak, S.Pd., M.Pd.
Dosen Tetap Fakultas Bahasa dan Sastra, Universitas Negeri Makassar
Lanjut Studi Program Doktor Unversiti Teknologi Malaysia

Sumber: Tribun Timur
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Nikah Massal

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved