Menikmati Buah "Lacci" yang punah di Makassar disantap di Kuala Lumpur
Pernahkah Anda mendengar buah "Lacci" atau biasa juga disebut Buah Bagore?
Penulis: Ridwan Putra | Editor: Muh. Taufik
TRIBUN-TIMUR.COM-Pernahkah Anda mendengar buah "Lacci" atau biasa juga disebut Buah
Bagore? Disebut Lacci oleh orang Makassar dan disebut Bagore oleh oleh
orang Bugis.
Lacci artinya licin atau terpeleset, Bagore artinya diidentikkan sebuah batu yang licin yang dulunya kerap digosok di lantai dan bagorenya menjadi panas lalu disentuhkan di kulit seperti tersentuh wajan yang panas.
Seumur hidup di Makassar, saya tak pernah mengenal dan dengar buah Lacci ini. Lacci ini baru saya tahu dan temukan di pusat jajanan kuliner di Jl Alor, Bukit Bintang, Kuala Lumpur, Malaysia.
Buah ini diperkenalkan dua wartawan senior yang bersama saya berjalan-jalan Alor, Bang Mukhlis dari Harian Fajar dan anko David yang humas PSMTI Sulsel merangkap wartawan Tribun. Tapi ternyata kedua rekan saya itu mengaku tak pernah melihat pohon buah Lacci itu.
Jl Alor adalah salah satu lokasi favorit jajanan kuliner di jantung distrik Bukit Bintang. Lokasinya mirip Pantai Akkarena atau Pare Town di Pantai Senggol Kota Parepare. Tapi yang di Malaysia ini, 10 kali lipat lebih gemerlap dan ramai dari dua tempat di Sulsel tersebut.
Kata dua rekan senior saya itu, saya belum lahir, buah itu sudah punah dan hilang di Makassar. Bentuk buah Lacci ini bentuknya mirip bawang merah, warnanya kecoklatan. Konon, dulunya sekitar tahun 1972 an, buah ini mulai hilang di Makassar. Lacci kerap dijajakan bersama kacang goreng di lorong-lorong atau pemukiman warga Kota Makassar.
Lacci digoreng atau dipanaskan menggunakan pasir agar matang. Setelah matang, kulitnya dikupas dan isinya yang mirip kemiri dimakan. Saya mencoba sekali, tapi lanjut lagi sampai beberapa biji. Rasanya enak, seperti ubi jalar. Di Jl alor, buah gorengan lacci ini dijual warga keturunan Tionghoa. Mentahnya 25 ringgit per kilo, yang masak kami beli Rp 30 Ringgit sekilo.
Dua rekan saya awalnya kaget menemukan buah lacci yang telah punah di Makassar itu dijajakan di keramaian deretan jajajan kuliner di Jl Alor. Mereka tak menyangka, buah yang dulunya sering mereka dapati dan makan di kala keduanya masih remaja itu muncul di negeri jiran, dijajakan di antara deretan kuliner modern dan lebih populer.
Buah gorengan itu kami bawa dan santap di sebuah kafe kopi kecil di pinggir jalan sambil menikmati rokok made in Indonesia masing-masing. Semua orang terlihat cuek di sini, jadi kami pun pede menyantap buah lacci yang telah punah di Makassar itu.(*)
Lacci artinya licin atau terpeleset, Bagore artinya diidentikkan sebuah batu yang licin yang dulunya kerap digosok di lantai dan bagorenya menjadi panas lalu disentuhkan di kulit seperti tersentuh wajan yang panas.
Seumur hidup di Makassar, saya tak pernah mengenal dan dengar buah Lacci ini. Lacci ini baru saya tahu dan temukan di pusat jajanan kuliner di Jl Alor, Bukit Bintang, Kuala Lumpur, Malaysia.
Buah ini diperkenalkan dua wartawan senior yang bersama saya berjalan-jalan Alor, Bang Mukhlis dari Harian Fajar dan anko David yang humas PSMTI Sulsel merangkap wartawan Tribun. Tapi ternyata kedua rekan saya itu mengaku tak pernah melihat pohon buah Lacci itu.
Jl Alor adalah salah satu lokasi favorit jajanan kuliner di jantung distrik Bukit Bintang. Lokasinya mirip Pantai Akkarena atau Pare Town di Pantai Senggol Kota Parepare. Tapi yang di Malaysia ini, 10 kali lipat lebih gemerlap dan ramai dari dua tempat di Sulsel tersebut.
Kata dua rekan senior saya itu, saya belum lahir, buah itu sudah punah dan hilang di Makassar. Bentuk buah Lacci ini bentuknya mirip bawang merah, warnanya kecoklatan. Konon, dulunya sekitar tahun 1972 an, buah ini mulai hilang di Makassar. Lacci kerap dijajakan bersama kacang goreng di lorong-lorong atau pemukiman warga Kota Makassar.
Lacci digoreng atau dipanaskan menggunakan pasir agar matang. Setelah matang, kulitnya dikupas dan isinya yang mirip kemiri dimakan. Saya mencoba sekali, tapi lanjut lagi sampai beberapa biji. Rasanya enak, seperti ubi jalar. Di Jl alor, buah gorengan lacci ini dijual warga keturunan Tionghoa. Mentahnya 25 ringgit per kilo, yang masak kami beli Rp 30 Ringgit sekilo.
Dua rekan saya awalnya kaget menemukan buah lacci yang telah punah di Makassar itu dijajakan di keramaian deretan jajajan kuliner di Jl Alor. Mereka tak menyangka, buah yang dulunya sering mereka dapati dan makan di kala keduanya masih remaja itu muncul di negeri jiran, dijajakan di antara deretan kuliner modern dan lebih populer.
Buah gorengan itu kami bawa dan santap di sebuah kafe kopi kecil di pinggir jalan sambil menikmati rokok made in Indonesia masing-masing. Semua orang terlihat cuek di sini, jadi kami pun pede menyantap buah lacci yang telah punah di Makassar itu.(*)