Pengadilan Tangguhkan Penahanan Terdakwa Korupsi SPAM Sulsel, Ini Alasannya
Kaharuddin merupakan salah satu dari tujuh tersangka tindak pidana korupsi pengadaan dan pemasangan pipa PVC SPAM Sulsel.
Penulis: Hasan Basri | Editor: Mahyuddin
Laporan wartawan Tribun Timur, Hasan Basri
TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Mantan Kepala Satuan Satuan Kerja (Satker) Sarana Pengolahan Air Minum (SPAM) Provinsi Sulsel, Kaharuddin, dialihkan penahananya dari status tahanan rutan menjadi tahanan kota.
Kaharuddin merupakan salah satu dari tujuh tersangka tindak pidana korupsi pengadaan dan pemasangan pipa PVC di Satuan Kerja (Satker) Sarana Pengolahan Air Minum (SPAM) Sulsel.
Status tahanan dialihkan setelah Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Makassar mengabulkan permohonan penangguhan penahanan dengan alasan sakit.
"Benar, terdakwa Kaharuddin ditangguhkan penahananya. Penangguhan itu ditetapkan oleh Hakim," kata Kepala Seksi Pidana Khusus Kejari Makassar, Andi Helmi.
Baca: Nilai Dakwaan Keliru, Pengacara Tersangka Korupsi SPAM Ungkap Kejanggalan Ini
Penangguhan itu dikabulkan dengan pertimbangan kondisi terdakwa sedang sakit, sehingga butuh perawatan di Rumah Sakit untuk beberapa hari.
Sekedar diketahui dalam kasus ini, Polda menetapkan tujuh orang tersangka.
Keenam tersangka lainya adalah adalah Kepala Satker , Ferry Natsir, Mukhtar Kadir selaku PPK, Andi Kemal selaku Pejabat Pengadaan, Andi Murniati selaku bendahara.
Kemudian Rahmad Dahlan selaku penandatangan SPM dan Muh Aras selaku Koordinator Penyedia.
Perbuatan tersangka dalam dalam kasus ini, negara mengalami kerugian sebesar Rp 2,4 miliar berdasarkan hasil temuan serta audit dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
Baca: Tidak Cek Fisik, Pegawai SPAM Sulsel Mengaku Tanda Tangan Atas Perintah Kepala Satker
Dalam perkara ini, tim penyidik Polda Sulsel telah menyita uang kerugian negara sebesar Rp 2 miliar dari tangan para tersangka.
Proyek pengadaan dan pemasangan pipa PVC di Satker (SPAM) Sulsel diketahui dikerjakan dengan menggunakan dana Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) sebesar Rp 3,7 miliar.
Modusnya, KPA diduga dengan sengaja melaksanakan pekerjaan peningkatan, pengelolaan serta pengembangan air minum dengan melakukan pengadaan.