Sengketa Pilwali Makassar
Terancam Gugur di Pilkada, Danny Pomanto: Ini Demokrasi yang Tidak Sehat
Putusan MA membuat nasib pencalonan pasangan Danny Pomanto-Indira Mulyasari (DIAmi) berada di ujung tanduk.
Penulis: Fahrizal Syam | Editor: Suryana Anas
Laporan Wartawan Tribun Timur, Fahrizal Syam
TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Calon Wali Kota Makassar petahana, Moh Ramdhan 'Danny' Pomanto mengungkapkan keluh kesahnya usai kasasi KPU Kota Makassar ditolak oleh Mahkamah Agung, Senin (23/4/2018).
Putusan MA membuat nasib pencalonan pasangan Danny Pomanto-Indira Mulyasari (DIAmi) berada di ujung tanduk.
Jika KPU Makassar mengikuti putusan MA, maka dipastikan Pilwali Makassar hanya akan diikuti pasangan Munafri-Arifuddin-Rachmatika Dewi (Appi-Cicu) melawan kotak kosong.
Dalam sebuah wawancara dengan stasiun televisi swasta, sekitar 8 menit Danny menyampaikan semua keluh kesahnya.
Danny menyebut, apa yang terjadi di Pilwali Makassara sebagai bentuk demokrasi yang tidak sehat dan berbahaya.
"Kita ingin menunjukkan demokrasi apa yang ingin kita bangun di Indonesia, tapi kita bisa lihat betapa mudahnya petahanan digugurkan dengan cara bertarung seperti ini. Ini kan demokrasi yang tidak sehat dan berbahaya," kata Danny.
Lanjut Danny, sengketa ini bisa menjadi preseden buruk dalam demokrasi di Indonesia, yangbmenurutnya bisa saja terjadi di daerah lain.
"Orang akan menunggu di persimpangan hukum dalam proses pilkada ini, bukan hanya di piwalkot, bisa juga kabupaten, provinsi, dan jangan-jangan nanti di Pilpres juga seperti itu," tuturnya.
"Karena kita sendiri belum tahu, seperti apa proses yang terjadi, pilkada serentak ini kan baru, ada proses baru, sehingga tafsirannya pun masih simpang siur dan relatif," sambung Danny.
Menurut Danny, ada ketidakadilan yang dirasakan baik bagi pasangan DIAmi, maupun seluruh pendukung dan simlatisannya.
"Kami digugurkan, padahal tidak disidang, ini kan ada asas keadilan yang saya kira semua masyarakat merasakan ketidakadilan hukum di sini, dan saya kira asas hukum salah satunya adalah keadilan. Ini preseden demokrasi buruk bagi Indonesia, bukan hanya Makassar," tegas Danny. (*)